Jawaban Sepertiga Malam [Re-p...

By Syafalyaaa_27

65.8K 5.2K 1.6K

[Ar-Rasyid Family1] [PROSES REVISI] Tentang harapan yang kutaruh pada manusia, kemudian Allah jatuhkan hingga... More

prolog
{1} Pertemuan buruk
{2} Menyebalkan Atau Baik Hati?
{3} Kunjungan
{4} Gadis Bermata Bening
{5} Perasaan aneh
{6} kode
{7} Ungkapan
{8} Rapuh
{9} (bukan) jodoh pilihan Allah
{10} Tatapan Perpisahan
{11} La Tahzan!
{12} Sang penulis
{13} Kok ketemu lagi?
{14} Penolong
{15} Pdkt
{16} Bertemu
{17} Pilihan
{18} Kabar
{19} Tulip putih
{20} Pertemuan dua keluarga
{21} Sah!
{22} Versi terbaik
{23} Healing
{25} Gara-gara kucing
{26} Malioboro dan mimpinya
{27} Pertemuan
{28} Gus Aqmal dan rasa cemburu
{29} Siapa dia?

{24} Lucu

1.3K 143 31
By Syafalyaaa_27

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-
.
.
.

"Jangan berhenti memperbaiki diri, kadang manusia itu terlalu lalai dan merasa sombong. Sudah bisa melakukan hal ini, malas untuk belajar lagi. Sudah bisa melakukan hal itu, malas untuk mencari ilmu lagi. Padahal, ilmu itu luas, bukan hanya satu dua ilmu yang ada di dunia. Lihatlah imam-imam besar yang tidak berhenti mencari ilmu hingga akhir hayatnya. Maka dari itu, Rasullullah pernah berkata dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi Tholabul 'ilmi faridhotun 'alaa kulli muslimin wal muslimat  menuntut ilmu niku wajib bagi setiap muslim dan muslimah ..."

"... Lalu kapan saja kewajiban menuntut ilmu niku, Gus? Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilal Lahdi, Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat. Ketika baru lahir, bayi yang wajahnya masih merah, istilahe wong jowo bayi Abang, ingkang tesih nangis oek oek niku, kalih bapake, Abie, ayahe, papane, di adzani. Nah, disitu lah Manusia memulai menuntut ilmu. Ketika sang ayah membisikkan adzan pada telinga kanan dan iqomah pada telinga kiri..."

*Istilahnya orang Jawa bayi merah, yang masih nangis oek oek itu sama bapaknya, abinya, ayahnya, papanya di adzani.

"... Lalu, maksudnya menuntut ilmu hingga ke liang lahat niku pripun? Yaitu ketika jenazah ditalqin, ditalqin bagaimana? Ditalqin, mengko yen malaikat takon man robbuka, sopo pengeranmu, mongko jawaben Gusti Allah pengeranku. Mengko yen malaikat takon man dinuka, opo agamamu, mongko jawaben, Islam agamaku. Dan seterusnya. Ketika itu adalah akhir dari menuntut ilmu. Tapi panjenengan sedoyo mbotensah khawatir, ada tiga amalan yang pahalanya tidak akan terputus walaupun panjenengan sampun sedo. Apa itu? Yang pertama, amal jariyah kemudian ilmu yang bermanfaat dan yang terakhir doa anak shol—"

*Nanti kalau malaikat tanya, man robbuka, siapa tahunmu, maka jawablah, Gusti Allah Tuhanku. Nanti kalau malaikat tanya, man dinuka, apa agamamu, maka jawablah, Islam agamaku.

"Assalamualaikum." Reflek aku menjatuhkan handphone yang masih menyala, arah pandangku tertuju pada Gus Aqmal yang baru memasuki kamar.

Dia mendekatiku, ketika hendak duduk, dia mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur dalam keadaan menyala. Keningnya menyerngit. "Ini kayak ...." Dia tak melanjutkan ucapannya, lalu dia melihat dengan seksama video yang terputar pada benda pipih beradiasi itu.

"Loh?" Gus Aqmal menatapku seolah tengah mengintrogasi.

"Kenapa? Saya cuma lihat video, loh, Gus. Gak macem-macem."

"Dapat dari mana?"

Aku hanya menyengir, membuat wajah Gus Aqmal semakin dongkol.

"Itu video lama ketika saya menggantikan Abah mengisi pengajian di Grobogan."

"Keren loh, Gus. Di video itu njenengan lebih muda, ganteng, gagah, pokoknya idaman," ceplosku dibalas tatapan tajamnya.

"Memangnya sekarang saya nggak muda, ganteng, gagah?"

Aku berusaha menahan tawa, lucu sekali melihat wajah Gus yang digadang-gadang sebagai pengganti posisi Abah, yang katanya dingin dan cuek. Halah pret, cuek dilihat dari mananya? Dari lubang sedotan?

"Saya gak bilang gitu, njenengan yang bilang sendiri."

Gus Aqmal berdecak sebal, ia kembali meletakkan handphoneku di atas kasur. Lantas dia sedikit mendekat supaya duduk kami bersebelahan.

Dia melirikku. "Kanaya?"

"Iya, Gus?"

"Kamu kan sudah di Semarang, kuliah kamu bagaimana? Mau tetap lanjut di Surabaya? Saya tidak ingin kamu berhenti mencari ilmu hanya karena kamu menikah dengan saya. Jika kamu ingin tetap kuliah di Surabaya, insyaallah setiap satu Minggu sekali saya akan ke sana. Bagaimanapun juga di sini saya ada amanah yang harus dijalankan. Selain jadi pengurus pesantren, saya juga ada jam perkuliahan."

Aku terdiam, aku hampir lupa jika aku masih ada kewajiban menuntut ilmu. Sangking sibuknya mengurus acara pernikahan hingga lupa akan kuliahku yang terbengkalai. Bukan terbengkalai sebenarnya karena aku mengambil cuti.

"Saya ikut bagaimana baiknya saja, kalau njenengan wira-wiri Semarang Surabaya mending saya pindah ke Semarang. Tidak masalah saya ulangi dari semester awal, daripada njenengan repot nanti." Gus Aqmal mengangguk singkat. Ia mulai memegang tanganku, menggenggamnya hangat.

"Maaf, ya? Jika menikah dengan saya kamu harus pindah universitas. Tapi saya akan usahakan cari universitas yang terbaik dan kamu tidak perlu mengulang lagi. Nanti saya bicarakan dengan dosen yang saya kenal. Semoga saja ada. Kamu tidak perlu khawatir, biar saya yang urus," ujarnya menenangkan.

"Iya, Gus. Kalaupun harus mengulang saya gak masalah."

"Sudah kamu tenang saja, biar saya yang urus." 

-o0o-

Siang ini aku tengah membantu Ummi membuat makan siang. Sudah wacana dari lama dan baru sekarang bisa terwujudkan. Memang dasarnya Manusia itu sok sibuk.

"Ini udah matang kan, Nay?"

Aku mengambil sedikit kuah opor yang masih panas itu, lalu mencicipinya.

"Gimana?" tanya Ummi dengan mata berbinar.

"Alhamdulillah. Enak banget, Mi." Aku mengacungkan jempol membuat Ummi tertawa.

"Kamu ini bisa aja nyenengin ummi." Aku ikut tertawa, tapi memang kenyataannya opor buatan ummi sangat enak. Bahkan sudah terkenal di kalangan pesantren.

Sambil membereskan peralatan dapur, Ummi sedikit membahas masa kecil Gus Aqmal yang terbilang cukup lucu. Aku tidak berhenti tertawa mendengarnya.

"Aqmal dulu kalau mewarnai, pasti warna hitam."

"Loh, kenapa kok gitu, Mi?"

"Ndak tau, tapi kalau ditanya sama Abah, le kok semua warnanya hitam tho? Pasti dia jawabnya, kan gosong, Bah, jadi warnanya hitam." Aku tertawa membayangkan bagaimana sosok Gus Aqmal kecil. Pasti begitu menggemaskan.

"Lalu kalau disuruh ngaji sama kakeknya, dulu zamannya MI, dia pasti ngumpet di bawah kasur. Ada saja alasannya biar gak ngaji. Yang perutnya sakit, sakit kepala, masuk angin, ngantuk sampai alasan laper dibawa-bawa," jelas Ummi.

Aku tertawa lagi. "Alasan utamanya apa kok Gus Aqmal gak mau ngaji?"

"Gak bisa maknai Pegon." Ummi sudah tertawa kencang, mungkin beliau sedang bernostalgia.

"Astaghfirullah, bisa-bisanya loh."

"Kayaknya ummi masih nyimpen kitabnya dulu, pas MI. Ada di lemari depan." Aku terkejut, wah keren, jika masih ada kitabnya maka harus diabadikan.

"Bener, Mi? Masih ada?" tanyaku antusias.

"Iya, masih. Mau lihat?" Aku mengangguk cepat, setelahnya Ummi mulai membawaku menuju lemari di ruang tamu yang dikhususkan untuk kitab-kitab.

Beliau mulai mengeluarkan beberapa kitab guna mencari kitab milik Gus Aqmal. Aku pun turut membantu mencari karena kitab di dalam lemari begitu banyak. Hingga aku menemukan kitab tipis berjudul "Safinatunnajah"

"Ini, Mi?" Tanyaku sambil menunjukkan kitab yang sudah agak kusam.

"Nah, iya ini. Coba kamu buka. Lucu kok Aqmal kalau maknai."

Aku dan Ummi mulai membuka halaman demi halaman yang ada pada kitab itu. Tak bisa dipungkiri, aku beberapa kali tertawa hingga mengeluarkan air mata. Sungguh menggemaskan isi terjemahan di kitab ini. Jika para santri tau, pasti mereka tidak akan berhenti untuk tertawa.

"Ya Allah, Mi. Ini beneran Gus Aqmal?"

"Lha iya, tho. Siapa lagi kalau bukan Aqmal, orang anak e Ummi yang laki-laki cuma dia."

"Kok kayak gak percaya, ya? Tapi wajar sih, Mi. Soalnya masih kecil, mungkin dulu jenuh harus dipaksa ini itu." Beliau mengiyakan.

"Iya, ummi juga sadar kalau waktu kecilnya dituntut banyak hal sama Abah dan Ummi. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan yang memaksa. Itu pun demi kebaikan Aqmal sendiri."

Benar kata ummi, bahwasanya orang tua tetap ingin menjadikan anaknya orang yang sukses dan berguna. Maka dari itu, anaknya harus digembleng sejak dini, supaya terbiasa. Tidak seperti anak zaman sekarang yang selalu dimanja, apapun keinginannya dituruti, jika salah hanya dibiarkan saja. Itu malah merusak generasi muda yang akan datang. Tapi kembali lagi pada pribadi masing-masing, jika bisa mengubah mindset maka kelak akan menjadi manusia yang benar-benar Manusia.

-o0o-

"Gus."

"Hm?"

"Saya punya sesuatu, mau lihat gak?"

Dia menoleh sambil mengerutkan keningnya. "Apa?"

"Sini dulu, jangan di atas. Kita lesehan di bawah saja."

Dia menurut, segera saja dia membereskan berkas-berkas yang ia bawa lalu segera duduk di bawah berhadapan denganku.

"Gus janji dulu, jangan marah." Aku menyodorkan jari kelingkingku padanya, dan diterima oleh Gus Aqmal.

"Iya," jawabnya.

Aku segera mengambil handphoneku, lantas membuka aplikasi galeri. Men-scroll mencari gambar yang aku maksud, hingga aku menemukannya.

"Ini."

Satu detik ... Dua detik ... Tiga detik ... Hingga ...

"Astaghfirullah, Kanaya Aulia Najma! Kamu dapat dari mana foto ini?"

Aku ngakak di tempat, berbeda dengan Gus Aqmal yang wajahnya sudah kemerah-merahan.

"Ya Allah, Nay. Saya malu ingat itu, udah jangan disimpan. Hapus aja gambarnya. Sini saya hapuskan." Dia berusaha meraih handphoneku namun tidak semudah itu, aku memegang erat handphoneku dan membawanya berlari menghindar.

Dan terciptalah adegan berlarian seperti film Bollywood.

"Kanaya, bawa sini!" Suara teriakan Gus Aqmal tak aku gubris, aku tetap berlari sambil terus tertawa.

"Awas aja kamu, Nay. Kalau sampai ketangkap bakal saya kasih hukuman!"

Aku menjulurkan lidah sambil menatapnya. "Wlek, gak takut!"

"Ututu lucu banget, Al mubarokatu sholawaatu artinya ndak tau," godaku sambil membaca isi foto itu.

Gus Aqmal mendesis, dia berjalan mendekat hingga akhirnya dia bisa menangkapku.

"Mau kemana lagi, sayang? Bawa sini hpnya!" Aku menggeleng di bawah dekapannya. Aku tetap mempertahankan ponselku supaya tidak jatuh di tangan Gus Aqmal.

"Gak boleh, Gus. Ini harus diabadikan. Jangan dihapus."

Gus Aqmal menggeleng sambil mengeluarkan seringai yang terlihat begitu jahat. "bawa sini, atau?"

"Atau apa?"

"Atau ..." Gus Aqmal mulai menggelitiki tubuhku hingga aku terduduk di atas karpet bulu. "Saya gelitiki sampai kamu kasih hp kamu."

"Astaghfirullah, hahaha, udah Gus. Hahaha Gus, ini hahaha geli!"

"Bawa sini hpnya!"

"Gak hahah gak mau!"

"Kanaya!"

"Aduh Gus, udah capek hahaha. Udah udah."

Gus Aqmal mengakhiri aksinya, dia menatapku menyebabkan tatapan kami terkunci. Jeda beberapa detik, hingga akhirnya kami tertawa bersama, entah apa yang ditertawakan karena dengan melihat mata satu sama lain semua terlihat begitu menggelikan.

-o0o-

kanayaaa__

1.004 suka
kanayaaa__ Gus e pada masanya 🙆🏻‍♀️♥️

Lihat semua 60 komentar

alfi_arrasyid astaghfirullah mas Aqmal😭

pondok_nurulhuda Wah, Gus Aqmal😂

alumninurulhuda ternyata Gus e pernah mengalami masa ini🤣

aqmal_arrasyid Kanaya! Hapus!

****
”Anggap saja saya gila, namun ketika melihat iris matamu, maka saya seperti melihat iris mata bidadari.”

~Muhammad Aqmal Ar Rasyid~

~~~~~~
Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

6.4M 504K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
4.9M 297K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
386K 21.9K 86
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...
182K 5K 35
Anisa putri al azizah wanita cantik , manja, bar bar ,cerewet dan baik. Anisa terpaksa menikah karena ke inginan eyang dan omah nya ____ Kalian penas...