Karena sedang cuti bersama, seharian Vanilla menghabiskan waktunya untuk menonton tanpa berminat keluar dari kamar. Padahal hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi entah mengapa Vanilla malah ingin hari ini berlalu dengan cepat.
Diliriknya jam yang menggantung di dinding. Masih pukul tiga sore. Vanilla bingung hendak melakukan aktifitas apa. Ia bosan, tapi otaknya sedang tidak ingin berpikir panjang.
Vanilla menghela napas. Akhirnya ia memutuskan untuk bermain game puzzle di ponselnya.
Tak ada notifikasi pesan atau pun telpon masuk. Terakhir Vanilla berkomunikasi dengan Dava, mungkin sekitar satu minggu yang lalu. Dava sedang di sibukkan oleh urusan kantor dan sedang dalam perjalanan bisnis ke luar daerah.
Negative thinking? Tentu saja tidak. Vanilla bukan tipikal orang yang harus selalu menerima kabar dari kekasihnya. Toh, mereka bukan anak SMP yang harus saling berkabar hampir dua puluh empat jam. Yang penting Vanilla tahu apa yang sedang Dava lakukan. Vanilla sepenuhnya percaya pada Dava.
"Vanilla..." Panggilan itu mengalihkan perhatian Vanilla.
Pintu terbuka, menampilkan sosok jason yang mengenakan kaos tanpa lengan dan juga celana boxer hitam kesayangannya. "Ngapain?" tanya Jason mengintip dari balik pintu.
"Main game," jawab Vanilla cuek.
Jason masuk ke dalam kamar Vanilla dan menghempaskan diri ke atas kasur, hingga Vanilla ikut terpental. Untung saja ponselnya tidak terlempar.
"Hari ini lo ulang tahun," ucap Jason sembari membuka sosial medianya, "Mau kado apa?"
"Gak mau apa-apa."
"Yakin?" Vanilla membalas dengan gumaman pelan.
Jason menyimpan ponselnya, lalu menggeliat dan melingkarkan tangannya di pingging Vanilla yang sama sekali tak bereaksi apa-apa.
"Bangunin gue jam lima ya," ucapnya berniat untuk tidur sembari memeluk Vanilla.
Vanilla tak menyahut, ia fokus menyelesaikan gamenya yang nyaris kalah. Untungnya masih bisa Vanilla selamatkan dan berakhir dengan kemenangan.
Karena tak suka bermain game terlalu lama, Vanilla memutuskan untuk menyudahinya. Ia melirik ke arah Jason yang terlihat seperti beruang sedang hibernasi.
"Jason..." panggil Vanilla pelan lalu diam untuk waktu yang lama. Vanilla memastikan bahwa Jason sudah tertidur pulas dan tidak akan mendengar ocehannya.
"Kata orang, kalau kita buat keinginan di hari ulang tahun, keinginan kita bakal di kabulin? Kalau iya, gue mau minta sama Tuhan untuk mengembalikan semua ingatan gue."
"Sejujurnya gue merasa asing dan merasa hampa. Di satu sisi gue senang, di sisi lain gue sedih sekaligus ragu. Gue ragu sama diri gue sendiri, apa gue orang yang pantas untuk dapat kasih sayang dari kalian semua, atau malah gue orang yang menghancurkan masa lalu gue sendiri?"
"Jujur, gue ragu kalau lo dan Kak Rey, Mami dan Papi, sayang sama gue. Bahkan gue ragu kalau gue ini Vanilla. Gue juga ragu sama perasaan gue ke Dava. Apa gue beneran sayang sama dia, atau malah itu cuma sugesti gue doang?"
"Gue gak ingat apa-apa. Tentang lo dan semua orang, gue gak ingat. Lo tahu rasanya gimana? Ibarat lo ada di sebuah ruangan kosong yang di keliling kaca tanpa jalan keluar."
"Kenapa gue harus tahu fakta sebenarnya kalau gue ini Vanilla? Andai itu gak terjadi, mungkin gue bisa merasa bahagia hidup sebagai Vennelica yang hilang ingatan. Gue gak perlu mikir segala macam hal tentang Dava, lo, dan semua orang yang terlibat di masa lalu gue."
"Gue bingung, gue gak tahu harus bersikap seperti apa. Gue gak mau bahagia diatas penderitaan orang lain, tapi isi kepala gue bilang, gue harus memperjuangkan kebahagian gue. Kalau gue terus-terusan ngalah, gue gak akan pernah bisa bahagia karena gue gak bisa dapat apa yang gue mau. Sekali pun orang itu punya niat jahat, seharusnya gue gak perlu membalas kejahatan itu dengan kejahatan yang lebih kejam. Tapi gue ngelakuin itu. Gue tahu gue salah dan gue merasa bersalah, tapi lagi-lagi isi kepala gue bilang hal yang gue lakuin itu benar."
"Atau ini sifat asli gue yang sebenarnya? Gue hilang ingatan karen diri gue sendiri? Gue yang membunuh Kevin, gue yang membuat Vanessa menderita, gue yang membuat semuanya hancur berantakan, gue yang buat Dava pergi--"
"VANILLA STOP IT!" Bentakan itu mengejutkan Vanilla dan otomatis membuat kalimatnya menggantung begitu saja.
"Gue gak mau dengar satu kata pun yang menyalahkan diri lo sendiri!" Nada bicara Jason penuh penekanan, menandakan bahwa ia tidak suka dengan hal-hal yang di katakan Vanilla.
Vanilla hanya bisa diam, mengunci bibirnya rapat-rapat. Vanilla pikir Jason benar tertidur, maka dari itu ia benar mengeluarkan seluruh hal yang ada di pikirannya.
"Stop blaming yourself, Vanilla." Perkataan Jason melunak, dengan tatapan sendunya kearah Vanilla. "Siapapun lo, gimana pun kelakuan lo, dan apapun yang pernah terjadi di masa lalu lo, gak akan pernah merubah fakta bahwa gue dan Kak Rey adalah kakak lo. Sampai kapan pun, bahkan sampai gue mati sekali pun, gue tetap kakak lo, orang yang sayang sama lo. Jadi jangan berpikir bahwa kasih sayang yang gue dan yang lainnya kasih ke lo itu palsu."
"Gue gak berpikiran---"
Jason memberikan tatapan peringatan agar Vanilla tidak melanjutkan perkataannya. "Mending sekarang lo mandi, prepare, karena sebentar lagi kita mau pergi." Jason turun dari kasur Vanilla dan melangkah keluar kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Yang di lakukan Vanilla hanya menghela napas kasar. Vanilla tidak bermaksud untuk menyalahkan diri sendiri atau seperti yang di maksud Jason. Vanilla hanya mencoba mengutarakan berbagai macam hal yang memenuhi pikirannya beberapa waktu belakangan ini.
*****
Setelah selesai Ibadah bersama, seluruh keluarga Gustavo langsung pergi menuju sebuah restoran hotel bintang lima yang sebelumnya sudah di pesan oleh Rey. Rencananya mereka akan merayakan ulang tahun Vanilla dan Vanessa dengan makan malam bersama.
Dua puluh lima menit kemudian, mereka sudah duduk manis di meja makan panjang yang memang di persiapkan untuk perayaan malam ini. Sudah lama sekali, dua keluarga ini tidak mengadakan makan malam bersama.
Sebenarnya Vanilla menolak untuk dirayakan. Terlalu berlebihan pikir Vanilla. Namun Vanilla tidak bisa membantah, karena semua orang setuju untuk makan malam bersama. Jadi dengan teramat sangat terpaksa, Vanilla ikut. Toh, malam ini si kembar adalah bintangnya.
"Loh, Dava mana?" tanya Britney yang duduk di hadapan Vanilla.
Jason menyahuti, "ini makan malam keluarga, dan dia belum resmi jadi bagian dari keluarga kita. Jadi, untuk apa dia di sini?" Britney hanya menganggukkan kepala dan tidak lagi bersuara.
Sepertinya Jason ikutan sensi karena tahu bahwa Vanilla dan Dava tidak berhubungan selama beberapa waktu belakangan. Ditambah lagi dengan seluruh cerita Vanilla sore tadi. Hilang sudah mood Jason.
"Happy birthday, sist." Vanilla terkejut karena Vanessa yang tiba-tiba memeluknya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Vanilla hanya mengembangkan senyum terpaksa tanpa berniat mengucapkan kalimat yang sama.
"Gue punya kado buat lo," ucapnya lalu menyodorka sebuah kotak berwarna hitam dengan pita merah sebagai hiasannya.
Vanilla jadi merasa tak enak hati karena ia tak menyiapkan apa-apa. "Sorry, tapi gue gak siapin kado apa-apa untuk lo," ucapnya meminta maaf.
"It's okay. Gue memang sengaja mau ngasih lo hadiah sejak lo kembali, tapi baru gue kasih sekarang."
Vanilla kembali mengembangkan senyum di sudut bibirnya. Seharusnya Vanilla merasa bahagia, tapi ia malah merasa canggung dan asing. Andai saja ingatannya tidak hilang, mungkin ia akan lebih excited dari pada yang lain.
"Zero mana?" tanya Arsen Gustavo saat menyadari ada yang belum hadir.
"Berangkat ke lokasi karena ada proyek disana. Baru berangkat kemarin," jawab Fahri Bhatmantyo.
Mendengar nama Zero, Vanilla langsung ingat bahwa ia memiliki sebuah kado dari Zero yang belum ia buka hingga sekarang. Mungkin setelah kembali ke rumah, ia akan membukanya bersama dengan kado pemberian Vanessa.
Acara di mulai dengan Arsen Gustavo yang sedikit memberi kata-kata untuk Vanilla dan Vanessa yang sedang berulang tahun, dilanjut dengan Fahri Bharmantyo yang ingin kedua keluarga ini tetap menjadi keluarga hingga keturunan selanjutnya. Yang lain pun ikut memberi sepatah dua patah kata, lalu mulai makan malam tanpa bersuara.
Setelah makan malam selesai, mereka boleh kembali berbincang.
Dari membicarakan perusahaan, pernikahan Vanessa dan Antonio, Ferrio yang memutuskan untuk pindah dan menetap di Indonesia, Jason yang semakin menggila karena putus dari Michelle, hingga bertanya kapan Vanilla dan Dava melangkah ke jenjang pernikahan.
Hal itu membuat Vanilla hanya bisa tersenyum masam. Kepastian saja Vanilla belum dapat, bagaimana mau melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Ponsel Vanilla yang berada di dalam tas bergetar. Segera ia mengecek dan mendapati sebuah pesan dari Dava.
Bisa ketemu sebentar? I have something for you :)
Setelah lebih dari seminggu tidak mengirim pesan, akhirnya Vanilla mendapatkan kembali pesan dari Dava.
30 menit lagi.
Aku masih makan malam bareng keluarga.
Vanilla memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu pura-pura tersenyum dan tertawa mendengar pembicaraan keluarganya. Padahal ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang di bahas.
Waktu terasa semakin lama. Sesekali Vanilla melirik jam di pergelangan tangannya. Ia ingin acara malam ini segera berakhir. Sudah lama Vanilla tidak bertemu Dava, dan rasanya ia merindukan laki-laki itu dan ingin secepatnya bertemu.
*****
Tanpa Vanilla sangka-sangka, ternyata Dava menunggunya di parkiran hotel. Untung saja Vanilla sudah menyiapkan seribu satu alibi agar bisa pulang bersama Dava.
"Gimana makan malamnya?" tanya Dava sembari menyetir tanpa kehilangan fokus pada jalanan yang sedang mereka lalu.
"Bosan," jawab Vanilla singkat.
Dava tertawa pelan, "bosan karena gak ada gue kan disana?" ucapnya mengerling, langsung mendapatkan tatapan menggelikan dari Vanilla.
"I know you miss me, babe."
"Kata siapa?"
Dava langsung meminggirkan mobilnya dan berhenti. "Kata ku barusan," ujarnya menatap dalam mata Vanilla.
Vanilla terpaku. Pandangannya tidak lepas dari tatapan mata Dava hingga membuat jantungnya berdetak tak karuan. Cowok bermata hazel di hadapannya ini terlihat sangat tampan dengan penampilannya yang sedikit acak-acakan.
Kentara sekali bahwa Dava sedang kelelahan. Tapi Dava menyembunyikannya di balikan senyuman yang tak pernah luntur saat ia memandangi Vanilla.
"Happy birthday, love." Dava mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya ke hadapan Vanilla.
Vanilla memandangi kotak beludru biru yang disodorkan Dava. "Apa ini?" tanya nya penasaran.
Dava kembali tersenyum. Ia membuka kotak tersebut hingga sesuatu yang berkilau terlihat. "Mau kan nikah sama aku?" ucapnya penuh harap begitu mengejutkan Vanilla.
"Selama ini kamu selalu minta kepastian, dan selama itu juga aku ragu untuk kasih kepastian. Tapi sekarang, aku mau buktikan semua perkataanku. There is no doubt to make you mine, Vanilla."
Vanilla mengigit bibir bawahnya. Ia senang dengat pernyataan Dava, namun entah mengapa Vanilla tidak begitu percaya. Seolah masih ada hal yang mengganjal di hati Vanilla.
"How about her? Kalian masih punya sesuatu yang harus di selesaikan."
"I don't fucking care about her, Vanilla. Satu-satunya orang yang aku mau cuma kamu, gak ada yang lain."
Tiba-tiba saja mata Vanilla terasa panas dan berair, seolah ia ingin menangis. Bukan menangis bahagia, melainkan menangis seolah ada hal yang menyedihkan terjadi.
Vanilla menarik napas dalam-dalam. Ia tidak boleh menangis. Sebisa mungkin Vanilla harus terlihat bahagia. Ya, Vanilla bahagia karena Dava memberikannya kepastian.
Dava memasangkan cincin tersebut ke jari Vanilla, lalu tersenyum seraya berkata, "your gonna be my queen, my wife, and my life." Vanilla langsung memeluk Dava. Menumpahkan beberapa tetes air mata yang tidak di lihat oleh Dava.
Ini yang Vanilla inginkan. Kepastian dan pernyataan bahwa Dava mencintainya. Dava ingin menjadikan Vanilla wanita satu-satunya yang Dava cintai. Bukan Soraya atau pun wanita lain.
*****
Sabtu, 06 Februari 2021