PROMISE 2

By hafidzah1312

52.6K 6.7K 734

"Inikah caramu menghukum ku?Jika iya, kau benar-benar berhasil melakukannya." "Mengapa kau tak mengatakannya... More

Flashback
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32 ( Flashback)
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36 (End)
CERITA BARU
NEW STORY

Part 14

1.2K 176 16
By hafidzah1312

"Tapi aku tak akan mengulang kesalahan yang sama."

Jennie tersenyum tipis. Meski hatinya masih menyimpan amarah atas ucapan dan sikap Wendy, dirinya masih bisa berpikir jernih untuk tidak menambah masalah dengan tidak berbaikan dengan Wendy.

"Akar mula kemarahanmu juga karna kami. Aku dan keluargaku tetap bersalah." lanjut Jennie.

Wendy masih mencerna ucapan Jennie. Ia memang tidak terlalu dekat dengan gadis bermata kucing itu. Tapi beberapa hal yang Wendy tau tentang Jennie, gadis itu tak mudah memaafkan orang lain.

"Jadi maksudmu..."

"Mari berbaikan." potong Jennie.

Wendy mengerjapkan matanya beberapa kali. Semudah itu Jennie yang notabenenya kasar bersedia memaafkan kesalahannya. Bahkan kemarin saat keluarga Hwang berkali-kali memohon maaf padanya tak pernah ia pedulikan.

Jennie mengulurkan tangannya pada Wendy. Namun gadis di hadapannya itu tak kunjung membalas uluran tangannya.

"Kau ini, tanganku pegal jika kau hanya manatapnya terus." kesal Jennie.

Dengan ragu Wendy meraih uluran tangan Jennie.
"Kau tidak marah padaku?"

"Apa kau ingin aku marah?" Jennie balik bertanya masih dengan wajah kesalnya.

Wendy tersenyum, ia bernafas lega. Jika saja sejak dulu ia bisa mengendalikan emosinya, mungkin semua tak akan serumit ini. Ia menyesali perbuatannya pada keluarga Jennie.

"Demi apa mereka saling melempar senyum?" ucap gadis berponi yang berdiri tak jauh dari tempat duduk dua orang di hadapannya.

"Bisakah aku menamparmu, kurasa kita berada di mimpi yang sama." sahut gadis yang berdiri di sebelahnya.

Plak

"Aww..., apa yang kau lakukan?"

"Untuk memastikan, katamu tadi ini mimpikan?"

Chaeyoung mendengus kesal, ia mengusap lengannya yang baru saja merasakan panas akibat ulah adiknya.

"Tidak dengan memukulku bodoh."

Rasanya ingin sekali Chaeyoung membalas ulah adiknya. Tapi belum sempat ia lakukan, Lisa sudah menariknya lebih dulu untuk segera menjauh dari kantin.

"Kakak berisik sekali. Kak Jennie akan marah jika tau kita menguping." ucap Lisa dengan terus menarik tangan kakaknya.

"Bukankah sejak tadi kita memang menguping."

Lisa membawa sang kakak menuju salah satu bangku taman kampus. Keduanya baru saja menyelesaikan kelas mereka. Niat awal ingin sekedar mengisi perut dengan pergi ke kantin, tapi tidak jadi setelah melihat pemandangan yang membuat mereka hampir tak percaya.

Bagi Chaeyoung dan Lisa tak ada bedanya antara pendidikan di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka pun bisa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus baru mereka.

"Apa menurutmu mereka sudah berbaikan?" tanya Chaeyoung setelah keduanya duduk.

"Aku tidak yakin, tapi baguslah jika mereka berdamai. Mungkin akan jadi awal baik untuk hubungan kita dengan keluarga Kim. Kakak tau kan seberapa dekat keluarga kita dengan mereka dulu. Jauh sebelum kita tau Yeri."

Ya, Chaeyoung mengingatnya. Kedua orang tua mereka adalah teman semasa muda kedua orang tua Yeri. Bahkan pertemanan mereka masih terjalin baik meski sudah berkeluarga. Namun siapa sangka hubungan baik itu bisa saja goyah karna kesalahpahaman masing-masing.

'Yahh semoga kami bisa benar-benar berdamai.' Batin Chaeyoung.

"Lalu mengapa kau menarikku kemari? Bukankah tadi kau mengajakku makan siang? Kau tau cacing-cacing di perutku sudah berdemo."

Lisa memutar bola matanya jengah, kakaknya itu benar-benar tidak bisa sedikit saja melupakan makanan.

"Beri tahu cacingmu untuk makan di rumah saja."

Lagi-lagi Chaeyoung di buat kesal oleh adiknya. Ia sudah merasa lapar sejak tadi.

"Kak, bagaimana dengan rumah kita di Seoul?" tanya Lisa seraya memainkan ponsel di tangannya.

"Kak Jisoo masih akan kembali ke sana, Mama Papa juga."

"Benarkah? Lalu jika mereka ke sana, kita sendirian?" kini Lisa bertanya dengan menoleh ke arah kakak ketiganya.

"Kenapa? Kau takut?" tanya Chaeyoung tersenyum remeh. Ia tau adiknya itu seorang penakut. Gadis itu beralih mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Lisa mengembungkan kedua pipinya mendengar ucapan sang kakak. Hal itu tentu membuat siapa saja akan gemas melihat Lisa.

"Tak perlu mamasang wajah seperti itu." ucap Chaeyoung tanpa mengalihkan fokusnya pada benda canggih di tangannya itu.

Lisa mendengus, ia menatap sekeliling taman. Cukup ramai, tempat yang cocok untuk menghilangkan stress setelah bergelut dengan materi dari dosen.

Lisa melirik sang kakak yang terlihat fokus pada layar ponsel. Terkadang kakaknya itu tersenyum seolah baru saja mendapat pesan membahagiakan. Lisa yang penasaran pun sedikit menggeser duduknya untuk bisa melihat layar ponsel kakaknya.

"Woahh kau kencan dengannya!"

Chaeyoung sontak menyembunyikan ponselnya, ia mendelik pada Lisa yang dengan tidak sopan mengintip isi pesan di ponselnya.

"Hey, siapa yang menyuruhmu mengintip? Dasar tidak sopan!"

Chaeyoung mendorong kening Lisa untuk menjauh darinya. Adiknya itu benar-benar menyebalkan hari ini.

Gadis berponi itu tersenyum menyelidik pada kakaknya.

"Kau bilang dia cupu, tapi sekarang kau senyum-senyum seperti orang gila mendapat pesan darinya."

Lisa semakin menggoda kakak ketiganya, ia tertawa melihat wajah kesal kakaknya itu. Tak di sangka seorang Chaeyoung sedang jatuh cinta sekarang.

"Diamlah atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sepatuku."

Kakak yang sadis

.....

Satu bulan berjalan seolah waktu berputar begitu cepat. Tidak banyak berubah, Yeri belum juga mengingat kebersamaannya dengan keluarga Kim. Selama itu pula Tiffany dan keluarganya terus berada di samping Yeri, menemani Yeri menjalani terapi guna bisa kembali berjalan normal. Irene juga tak pernah absen untuk datang berkunjung ke rumah sakit, meski dirinya hanya bisa melihat Yeri dari jauh.

Seperti saat ini, Irene menatap Yeri dari balik kaca pembatas. Putri bungsunya itu sedang berlatih berjalan. Ditemani seorang perawat juga Dokter, dan tentunya ada Tiffany di sana. Irene menyunggingkan senyum melihat bagaimana perjuangan putrinya untuk bisa kembali normal. Ia bersyukur Yeri bersemangat untuk sembuh.

Irene perlahan ikut masuk ruangan, berdiri sedikit jauh dari Yeri. Ia tidak ingin Yeri tau dan kembali menolak kehadirannya.

"Sedikit lagi Yeri, pelan-pelan." ucap seorang Dokter yang mendampingi Yeri.

Terlihat jelas peluh mengalir di dahi Yeri. Gadis itu terlihat mengeluarkan segala tenaganya. Ketika ia hampir sampai di tempat Tiffany berdiri, Yeri merasa sudah sangat lelah. Tubuhnya bergetar hingga ia terlihat kehilangan keseimbangan.

Bruk

Yeri memejamkan matanya, bersiap jika kemungkinan tubuhnya akan mencium kerasnya lantai. Sesaat matanya terpejam, ia merasakan dekapan hangat seseorang. Perlahan Yeri membuka matanya, menatap kedua lengan yang melingkar di tubuhnya. Yeri mendongak, tatapan keduanya bertemu.

Dapat Yeri lihat wanita itu tersenyum padanya. Perasaan apa ini? Ia seperti tidak asing dengan mata dan senyuman wanita yang saat ini masih mendekapnya. Sebuah ketulusan terlihat jelas di wajah wanita itu.

"Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?"

Yeri tidak menjawab, pikirannya entah kemana. Yeri jelas tau bagaimana perlakuan wanita itu padanya, tentu hanya perlakuan buruk yang Yeri ingat. Tapi mengapa saat ini yang Yeri lihat adalah ketulusan. Bukan tatapan ketidakpedulian.

"Sayang, apa ada yang sakit?" kini giliran Tiffany yang menghampiri.

Mendengar ucapan Mamanya seolah menyadarkan Yeri dari lamunan. Yeri langsung beralih pada Tiffany, melepas perlahan dekapan seseorang yang sudah menolongnya saat ia akan jatuh tadi.

Tanpa Yeri sadari sikapnya sudah pasti akan melukai hati Ibu kandungnya.

"Ma, aku lelah." ucap Yeri lirih.

"Ya sudah, kita lanjut besok lagi ya." ucap Tiffany yang di balas anggukkan oleh Yeri.

Tiffany sempat menatap pada Irene, ia merasa iba dengan sahabatnya itu. Pasti hatinya kembali terluka.

Irene terdiam menatap dua orang di hadapannya yang perlahan menjauh. Air matanya terlihat mengalir, tapi dengan cepat ia menghapusnya. Baru saja ia bisa kembali mendekap putri bungsunya, berharap tidak lagi mendapat penolakan. Namun kenyataannya putrinya itu masih tetap menghindarinya. Irene memejamkan matanya, harus bagaimana lagi ia berusaha agar bisa meraih Yeri kembali.

Drrtt Drrtt

Irene menatap layar ponselnya, ia terlihat menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh terdengar seperti baru saja menangis.

"Iya sayang."

"Mom, kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu sejak tadi."

Irene menepuk keningnya, ia lupa menjemput Joy. Terdengar jelas gerutuan putri ketiganya itu di seberang telepon.

"Maaf sayang, Mommy jemput sekarang ya. Jangan pergi kemanapun, tunggu Mommy sampai." ucap Irene seraya memutuskan panggilannya. Ia pun segera beranjak meninggalkan rumah sakit. Bisa-bisanya ia lupa menjeput Joy di bandara.

......

"Mommy gimana sih, apa Mommy lupa jika aku pulang hari ini." gerutu Joy.

Gadis itu baru saja kembali pulang dari Seoul. Ya, Joy tetap melanjutkan pendidikannya di sana. Tidak masalah meski ia harus kembali bolak-balik Jakarta-Seoul demi bisa melihat adiknya.

Sebenarnya tadi ia sudah menelpon kedua kakaknya, tapi keduanya sama-sama sedang ada jam kuliah. Jika menghubungi Daddynya sudah pasti sedang sibuk dengan tumpukan berkas kantor. Biasanya ia akan menelpon Jisoo, tapi sepertinya ia tidak mungkin melakukan itu.

Joy memilih duduk di kursi tunggu. Ia kembali membuka layar ponselnya. Melihat koleksi foto di galeri ponselnya. Ia tersenyum melihat beberapa foto dirinya bersama Yeri. Entah kapan ia bisa kembali melakukan semua hal bersama Yeri. Sekarang jangankan untuk dekat, melihat dirinya saja Yeri tidak ingin.

"Huh, aku benar-benar merindukanmu." ucapnya seraya mengusap layar ponsel yang menampilkan wajah Yeri.

Ia merindukan Yeri. Tapi ia sendiri belum pernah menunjukkan dirinya di hadapan Yeri. Mengetahui kenyataan jika Yeri tak mengingat kenangan manis dengannya, bahkan dengan keluarganya yang lain. Berkali-kali kedua orang tuanya mendapat penolakan dari Yeri. Rasanya ia belum siap jika harus di perlukan sama seperti keluarganya yang lain. Ia tidak ingin ketika ia datang dan Yeri menolaknya. Menganggapnya sama seperti beberapa tahun lalu.

"Aku ini kakakmu Kim Yerim. Kau adik durhaka karna tidak mengingat kebaikanku." ucapnya lalu tersenyum. Setidaknya Yeri masih baik-baik saja sampai saat ini.

Joy kecewa?
Tentu. Tapi gadis itu bisa sedikit berpikir dewasa untuk menyikapi masalah yang tengah menimpa keluarganya. Mungkin ini teguran, atau bahkan hukuman. Ini semua tidak seberapa di bandingkan dengan perlakuannya dulu pada Yeri.

"Baiklah, aku akan menemuimu besok. Tunggu kakak Yerim."

Ucapnya lalu menyimpan kembali ponselnya saat melihat sang Ibu datang menjemputnya.

.

.

.

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
14.3K 1.8K 31
"Ya, kau tidak punya mata? Lihat, buku ku jadi kotor!" Sosok yang sedang membersihkan seragamnya tersentak kaget mendengar pekikan tersebut. Matanya...
20.7K 2.7K 21
Baca aja dulu siapa tau suka
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...