"Gila, gila, butek otak gue, butek!" Zahra berdialog. "Ini sekolah gila kali ya, masih hari senin udah dikasih pelajaran matematika. Puyeng deh gue."
"Daripada ngitung jawaban soal matematika, mending ngitungin duit deh gue jujur," ujar Zahra lagi. Selepas melaksanakan ujian matematika, gadis itu terus saja berceloteh menyuarakan keluhannya tentang hari senin dan pelajaran matematika nya.
"Stt! udah, lupain yang udah berlalu," kata Tasya. Dia melipat kertas bekas coretan hitungannya menjadi sebuah pesawat kertas untuk kemudian diterbangkan hingga jatuh entah ke mana.
"Bakso kayaknya enak nih," ujar Tasya setelah melemparkan pesawat kertasnya sembarangan. "Kalian mau pada makan apa?"
"Gue bakso pake sambel pedes. Minumnya es teh beuh mantep! Biar otak gue fresh," kata Zahra.
"Gue mau ke Mbak Tuti deh, beli seblak," ujar Reina.
"Berarti beli apa dulu nih?" tanya Tasya.
"Kalian beli bakso aja, gue Mbak Tuti, biar cepet," ujar Reina.
"Ya udah gue sama Zahra beli bakso berarti ya. Lo nggak apa-apa sendiri, Rein?" kata Tasya. Reina menganggukan kepala. "Nanti pc pc aja kali ya kalau ada yang udah," kata Tasya lagi.
"Sip!" ujar Reina.
Setelah itu, Zahra dan Tasya melenggang pergi menuju tempat penjual bakso. Sedang Reina pergi ke warungnya Mbak Tuti untuk membeli seblak. Sudah lama sekali dia menginginkan makanan pedas itu.
"Mbak!" panggil Reina pada seorang wanita berumur sekitar 30 tahunan yang sedang melayani pembeli.
"Kaya biasa ya, satu aja," kata Reina.
"Oke siap Neng!" ujar Mbak Tuti. Wanita itu hapal betul menu seblak favorit Reina. Wajar saja karena kelas 10 Reina sering jajan seblak nya Mbak Tuti, bahkan dia sudah menjadi pelanggan tetap Mbak Tuti hingga saat ini.
Setelah itu, Reina duduk di bangku yang kosong. Dia menunggu pesanannya selesai dibuat sembari memainkan ponsel. Saat sedang scroll beranda Instagram, tiba-tiba ada satu pesan masuk ke WhatsApp Reina.
Ting!
Reina melirik notifikasi dari pop up bar. Nama Alaric tertera di sana. Gadis itu mengkerut kan kening. Sesaat setelahnya dia baru memutuskan untuk membuka pesan itu.
Kak Al: Sepulang sekolah saya jemput
Reina: Tumben?
Kak Al: Disuruh bunda main ke rumah
Reina tersenyum kecut. Ia salah telah menaruh harap banyak pada Alaric, karena nyatanya tidak ada satu pun yang bisa diharapkan dari lelaki itu
* * *
Setibanya waktu pulang sekolah, Reina melangkahkan kakinya menuju gerbang. Mata Reina mengedar ke sana ke mari mencari keberadaan mobil Alaric. Namun, setelah sekian lama matanya mengedar dia tidak kunjung menemukan Alaric.
Reina mengecek ponselnya. Ia langsung menghubungi nomor Alaric.
Reina: Kak, jadi jemput?
Lama Reina menunggu karena Alaric tak kunjung membalas pesannya. Padahal tanda ceklis dua terlihat jelas di sana.
Satu persatu siswa mulai meninggalkan SMA Starlight. Reina resah. Apalagi langit terlihat kelabu, sebentar lagi hujan pasti akan turun.
Reina menatap room chatt nya dengan Alaric. Tanpa pikir panjang, gadis itu pun langsung mendial nomornya. Berdering. Namun Alaric tak mengangkat panggilan Reina.
Reina bersecak kesal. Dia kembali memanggil nomor Alaric. Hingga tiga kali percobaan, barulah cowok itu mengangkatnya.
"Halo? Kenapa?" tanya Alaric di seberang sana.
"Jadi jemput nggak?!"
"Jemput?" tanya Alaric heran. "Ah, maaf, saya lupa. Kamu ke rumah bunda sendiri bisa kan? Saya lagi ada urusan."
Reina menggeram kesal di tempatnya. Gadis itu langsung mematikan sambungan telfonnya sepihak. Kalau tidak bisa kenapa tidak memberitahunya sedari tadi? Sungguh menyebalkan! Jadi utuk apa Reina menunggu Alaric selama ini?
Mengotak-atik ponselnya, Reina memilih untuk memesan ojek online. Saat sedang mencari, tiba-tiba satu notif pesan masuk dari Alaric.
Kak Al: Maaf. Pesan ojol aja ya?
Kak Al: Mau saya pesankan?
Reina hanya membacanya. Persetan, dia tak berniat untuk membalas pesan itu. Rasanya dia sudah terlanjur kesal dengan sikap Alaric.
Tidak lama kemudian, ojek online pesanan Reina datang.
"Reina ya?"
Reina menganggukkan kepala, "iya, Mas."
Pengemudi ojek online itu tampak menyerahkan helm berwarna hijau kepada Reina. "Sesuai titik ya, Mbak," ujarnya.
Setelah itu, Reina naik ke atas boncengan motor. Tidak lama kemudian, motor pun melaju bersamaan dengan rintik air hujan yang mulai turun membasahi bumi.
* * *
Reina tiba di rumah Alaric. Gadis itu turun dari motor dengan keadaan seragam setengah basahnya. Memang hanya hujan gerimis, tapi tetap saja mampu membuat baju Reina basah.
Setelah membayar ongkos ojek online-nya, Reina melangkah memasuki gerbang Rumah Alaric. Kehadirannya langsung di sambut oleh Mang Ujang yang tengah berjaga di pos.
"Eh, Neng Reina," sapa Mang Ujang. Reina hanya tersenyum membalas sapaannya.
"Hujan-hujanan, Neng?" tanya Mang Ujang melihat kondisi Reina. "Kenapa nggak bilang ke saya kalau mau ke sini? Nanti kan bisa saya jemput."
Reina tersenyum kikuk. "Nggak apa-apa Mang. Nanti ngerepotin lagi," ujar Reina. "Bunda ada di dalem kan?" tanyanya kemudian.
"Ada, ada, masuk aja ke dalem Neng Rein," balas Mang Ujang.
"Kalau gitu, Reina pamit ke dalem ya Mang," kata Reina.
"Iya, sok Neng silahkan."
Reina melangkah menuju teras rumah Alaric. Dia mengetuk pintu dann tak lama kemudian, pintu pun terbuka, menampilkan sosok Gina dengan pakaian khas rumahannya.
"Siapa?" tanya Gina sembari membuka pintu. Dia belum melihat keberadaan Reina. Reina menampakan diri ke hadapan Gina. Membuat wanita paruh baya itu seketika terkejut.
"Loh? Reina? Kok basah-basah gini sayang?" tanyanya khawatir. Reina menggerakkan tangannya untuk mencium punggung tangan Gina.
"Iya tadi kehujanan, Bunda," jawab Reina.
Gina mengkerut kan keningnya, "kehujanan?" tanyanya. Kepalanya celingukan. Mencari sosok Alaric.
"Kamu ke sini sama siapa? Alaric nya kok nggak ada?" tanya Gina lagi.
"Eh, iya Bunda. Kak Al tadi bilang katanya nggak bisa jemput lagi ada kerjaan. Mungkin kerjaannya nggak bisa ditunda," ujar Reina. "Reina tadi ke sini naik ojek online."
"Duh, anak itu kebiasaan," kata Gina, "padahal kamu bilang aja sama Bunda, nanti Bunda suruh Mang Ujang buat jemput kamu di sekolah. Biar kamu nggak hujan-hujanan kaya gini," ujar Gina.
"Bunda jadi nggak enak nih," ucap Gina lagi.
"Eh kok jadi nggak enak Bunda? Nggak apa-apa kok lagian Reina cuman kebasahan sedikit," kata Reina.
"Ya Bunda tetep jadi nggak enak. Gara-gara Bunda yang nyuruh kamu ke sini, kamu jadi hujan-hujanan gini kan."
"Nggak apa-apa kok Bunda. Lagian Reina seneng kok main ke rumah Bunda," ujar Reina.
"Eh, kok jadi ngobrol di sini? Ayo masuk yu. Kamu ganti baju dulu ya? biar nggak masuk angin. Kayaknya baju Cika ada yang cukup di kamu," ujar Gina. Sembari menggiring Reina masuk ke dalam rumah.
* * *
Selepas makan siang di rumah Gina, Reina menemani Cika menonton film di kamar Cika.
"Reina masih di sini?"
"Iya, bareng adik kamu tuh di kamar. Abang kenapa nggak jemput Reina tadi?"
"Al lupa. Kesibukan ngerjain tugas."
"Ck, kebiasaan. Lain kali jangan gitu. Bunda jadi gak enak sama Reina."
"Iya maaf Bun."
"Ya udah, Bunda mau tidur siang ngantuk banget. Kamu kalau mau makan, makan aja. Bunda masak sup ayam di bawah."
Samar-samar Reina dapat mendengar pecakapan itu. Bukannya menguping, tapi memang suaranya terdengar sampai ke kamar Cika.
Tak lama dari itu, tiba-tiba pintu kamar Cika terbuka. Menampilkan sosok Alaric dengan penampilan casual nya. Cika dan Reina spontan menoleh ke arah pintu. Mengabaikan sejenak tayangan film di laptop.
"Ngapain, Bang?" tanya Cika acuh. Karena setelahnya atensi gadis itu beralih kembali pada tontonannya.
"Udah belajar?" tanya Alaric pada Cika.
"Nanti," jawab Cika tanpa mengalihkan pandangannya. Alaric berdecak di tempatnya. Cowok itu melangkah mendekat ke arah Cika. Kemudian tangannya langsung bergerak menutup laptop yang berada di hadapan Cika.
"Belajar! Jangan nonton terus. Minggu depan kamu ujian," ujar Alaric sembari mengambil laptop warna silver milik Cika.
Cika berdecak kesal. Ia menatap tajam Alaric. Kehadiran Abangnya ternyata sangat mengganggu waktu santainya. Lagian ujian itu masih minggu depan, santai aja kali.
"Apaan sih, Bang? Siniin nggak laptopnya?" kata Cika sinis. "Itu lagi seru tahu, bentar lagi tamat."
"Nggak. Mulai dari sekarang sampe nanti selesai ujian nggak ada acara nonton-nonton," ujar Alaric tegas.
"Ish! Apaan sih ah, Bang Al nggak seru. Siiniin nggak?!"
"Atau mau Abang laporin ke Ayah? supaya nggak dikasih laptop lagi," ujar Alaric memberikan sedikit Ancaman bagi Cika. Cika memberengut kesal. Jika sudah menyangkut Ayahnya maka gadis itu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Alaric tidak menanggapi Cika lagi. Atensinya kini beralih pada Reina yang sedari tadi hanya diam.
"Reina, ikut saya!" ujar Alaric.
Reina mendongak. Dia mendapati Alaric yang ternyata sedang menatap ke arahnya. Cowok itu mengkode Reina untuk segera keluar dengan dagunya.
"Kemana?" tanya Reina.
"Ayo!" ujar Alaric lagi. Dia langsung berlalu dari kamar Cika begitu saja.
Reina bergerak turun dari atas kasur. Hendak pergi mengikuti jejak Alaric. Namun pergerakannya tiba-tiba ditahan oleh tangan Cika.
"Kak?" panggil Cika. Reina menoleh. Dia menaikan sebelah alisnya dan menatap Cika dengan pandangan penuh tanya.
"Kak Reina, bantuin Cika ya?" pinta Cika, "bantuin bujuk Abang supaya laptop Cika dibalikin," ujar Cika lagi. Gadis itu memasang raut wajah memohonnya.
"Kalau Kak Reina berhasil, nanti Cika traktir jajan deh," ujar Cika lagi. Kali ini dia tampak sangat serius memohon kepada Reina.
"Nanti Kakak coba ya," ujar Reina dengan senyuman menghias wajahnya. Tidak. Dia melakukan ini bukan karena tawaran menggiurkan Cika yang akan mentraktirnya, tapi ini murni keinginannya sendiri. Baginya, belajar itu perlu, tapi tidak mesti setiap waktu, karena otak juga perlu rileksasi. Ya mungkin salah satu caranya dengan menonton.
* * *
Reina mengikuti langkah Alaric yang ternyata lelaki itu hanya membawanya menuju ruang makan. Setibanya di ruang makan, Alaric mengambil piring dan mulai makan sendiri seolah mengabaikan kehadiran Reina didekatnya.
Reina mendengus pelan. Jadi untuk apa Alaric menyuruh Reina mengikutinya? Menonton Alaric makan begitu? yang benar saja.
"Kak, Kakak nyuruh aku ngikutin Kak Al buat apa? liatin makan?" tanya Reina. Alaric mendongakan kepala. Dia menatap Reina dengan satu alis terangkatnya.
"Kamu kalau mau makan silahkan." Reina menggeleng, dia sudah makan bersama dengan Gina dan Cika tadi.
"Kalau nggak ada hal penting mending aku ke kamar Cika deh. Aku bisa ngobrol sama dia daripada di sini cuman diem ngeliatin Kak Al makan."
"Diem di sini," ujar Alaric bernada dingin. Membuat tubuh Reina meremang. Reina terdiam. Dia akhirnya mengurungkan niatnya dan memilih tetap duduk di hadapan Alaric sembari memainkan ponsel, yang nyatanya tidak ada hal menarik sama sekali di sana.
Lima belas menit berlalu. Alaric telah menyelesaikan makan siangnya. Cowok itu tampak pergi ke dapur untuk menyimpan piring kotornya di washtafel. Tak lama kemudian, dia pun datang kembali menghampiri Reina.
"Ayo!" ajak Alaric. Reina mendongak dari ponselnya. Ia menatap Alaric dengan kening mengkerut nya. Kemana lagi? tanyanya dalam hati.
"Saya antar pulang. Kamu harus belajar. Besok masih ujian kan?" kata Alaric. Tanpa menunggu jawaban dari Reina. Alaric mengambil kunci mobilnya, lalu melenggang pergi. Reina gelagapan. Ia sedikit berlari untuk mengejar Alaric.
"Eh, Kak, pamit dulu sama Bunda," ujar Reina.
"Nggak usah, Bunda lagi tidur," ucap Alaric.
Reina mengangguk paham. Gadis itu menyambar tas ranselnya yang tergeletak di ruang tamu, lalu berjalan menyusul Alaric yang kini sudah duduk manis di hadapan kemudinya.
* * *
Di sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang mendominasi. Alaric dan Reina lebih banyak diam tanpa ada seorang pun yang berniat mengeluarkan suaranya.
"Kak?" Reina akhirnya menyerah. Dia tak sanggup berlama-lama ada salam kondisi seperti ini. Alaric menoleh sekilas.
"Kenapa?" tanyanya.
"Itu, Kak Al nggak ada niatan buat ngembaliin laptopnya Cika apa?" tanya Reina.
Alaric mengkerutkan keningnya. "Disogok berapa kamu sama Cika?" tanyanya pedas.
"Eh?" Reina mengerjap.
"Siapa yang disogok?" tanya Reina. "Aku cuman kasihan sama Cika. Kadang hidup itu nggak perlu terlalu di bawa serius, Kak. Ya kita emang harus belajar, tapi nonton film sebagai salah satu alat untuk me-refresh otak juga perlu dilakukan," ujar Reina.
"Kamu nggak usah ikut campur," ujar Alaric.
"Aku cuman ngasih saran," kata Reina sedikit memelankan suaranya. Alaric menghela napasnya panjang.
"Sekarang saya tanya sama kamu. Selagi kemarin kamu tinggal di rumah saya, berapa kali dalam sehari kamu ngeliat Cika nonton mantengin hp atau laptopnya?" tanya Alaric. Reina tampak berfikir. Jika diingat-ingat bahkan dari pagi sampai malam Cika selalu stay dengan streamingannya.
"Nggak terhitung kan?" tebak Alaric. "Itu yang saya nggak mau. Cika itu udah candu. Tiap hari bahkan tiap jam dia selalu fokus sama tontonannya. Kalau dibiarin terus-terusan dia bisa lupa sama dunianya. Cika itu udah kelas sembilan. Udah seharusnya dia lebih serius buat belajar," ujar Alaric.
"Saya ngelakuin ini juga demi kebaikan Cika," ujar Alaric lagi. Reina diam, memilih tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengan perbincangan Alaric. Reina telah salah menilai, ternyata bersama Alaric dengan kesunyiannya jauh lebih baik.
"Gimana persiapan kamu masuk FK?" tanya Alairc tiba-tiba. Sebenarnya Reina sama sekali jarang membuka buku pemberian Alaric tempo hari itu. Gadis itu menggigiti jari kukunya dengan mata yang menatap keluar jendela mobil.
"Kak?" panggil Reina pada Alaric. "Salah nggak sih kalau kita ngikutin kemauan orang tua?" tanyanya lagi. Alaric mengkerut kan keningnya.
"Enggak. Justru bagus lah," jawabnya.
"Berarti aku nggak salah dong kalau nurutin kemauan Papa buat masuk FK? Meskipun itu bukan passion aku?" tanya Reina. Alaric menatap Reina sekilas. Setelahnya hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut cowok itu.
"Terkadang ada beberapa hal yang perlu kita tolak," ujar Alaric.
"Tapi aku nggak bisa nolak Kak. Papa itu orangnya keras."
"Hm?" Alaric tampak berfikir. "Kenapa kamu nggak coba putar arah aja?" Kening Reina mengkerut. Mencerna ucapan dari Alaric.
"Coba buat suka sama dunia kedokteran," jelas Alaric seolah mengerti arti kerutan di kening Reina.
"Emangnya bisa ya Kak?" tanya Reina. Alaric mengedikkan kedua bahunya.
"Coba aja. Mulai dari hal-hal kecil. Dunia kedokteran juga seru kok."
Reina diam. Otak kecilnya tampak memikirkan sesuatu. Apa dia harus mencoba menyukai dunia kedokteran? Mempelajari semua yang ada di dalamnya? Apa Ia harus menuruti kemauan Romi untuk membuat pria paruh baya itu bahagia? Ah, kepalanya terasa pecah ketika memikirkan semua itu.
- Bersambung -