The Hidden Truth :
"Terkadang, kita hanya butuh di dengar."
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Pipiku baru saja terjamah dua tangan cowok. Bagaimana jika aku menikahi dua jiwa yang masih satu darah? Evan dan Mero. Sekarang, aku bingung ingin memilih siapa walaupun keduanya belum menyatakan apapun padaku.
Aku masih dalam pikiranku yang tidak pernah berekspektasi akan terjadi hal seperti ini, tiba-tiba tangan Evan di arahkan ke depan dua mataku.
Ia mencengkram kedua bahuku. "Verin, sadar!" teriaknya ketakutan.
Aku yang mendengar teriakannya juga ketakutan. "Ini gue, kenapa? Kenapa?"
Evan terlihat mulai tenang. "Gue kira lo kesurupan! Gue enggak pernah nanganin orang kesurupan soalnya, malah gue sendirian di rumah," katanya.
Apa wajahku seseram itu?
Aku berdecak. "Kan lo tinggal baca ayat kursi," balasku.
Asal tau saja, pikiranku bukan berada di sini, ia memutar suara motor Mero yang semakin terdengar jauh, tangannya yang menampar lembut pipiku, bisikkannya yang terdengar seperti suara surga, tatapan yang mengingatkanku akan sesuatu yang pernah kulupakan.
"Kayaknya lo butuh istirahat, deh, Rin. Daritadi pikiran lo kayaknya bukan di sini," balas Evan. "Gue anter lo pulang, ya?"
Wow! Dari mana Evan bisa membaca pikiranku? Apa dia belajar ilmu hitam atau sejenisnya? Tidak berusaha menaikkan rasa percaya diri, tapi apa dia memerhatikan hal dalam diriku?
Apa Evan menyukaiku?
"Lo cantik, Verin." Tiba-tiba aku teringat perkataan Mero beberapa puluh menit yang lalu.
==
"Pergi lo," usir Mero santai, namun tatapannya tajam. Mero mulai berjalan mendekat dan berbicara ke telinga Darel. "Lo ganggu dia lagi, abis lo sama gue."
Dan itu adalah kalimat terindah yang pernah kudengar.
==
"Rin," katanya di tengah hujan lebat. Ia menatapku seakan aku satu-satunya manusia di dunia ini. "Lo capek nggak?"
"Capek kenapa?"
"Kalau ngebohongin perasaan sendiri," balas Mero.
Setiap aku jalan bersama Evan, atau kapanpun ada Evan, selalu saja ada Mero. Aku bergegas memakai jas hujan dari Mero, namun sebelum aku sempat memakainya, Mero berkata,
"Rin, Evan sepupu gue. Rumah kita juga deketan. Lo pikir, kenapa gue harus ke sini? Harusnya gue se arah bareng Evan?"
==
Mataku terbelalak melihat Aldy dan temannya melayang karena ditonjok oleh Mero.
"Gece pergi!" suruh Mero padaku. "Lo kenapa diem aja? Lo bahaya kalau di sin—"
Aku langsung mendorong Mero karena dari belakang, Aldy mengeluarkan clurit untuk membacok Mero.
"Elo tuh yang enggak aman. Mending, lo pergi aja!"
Mendengarku, Mero tertawa sekilas sebelum menarikku untuk lari juga. Aku tidak tau kenapa, tapi aku lari bersamanya.
==
Barusan, flash back percakapanku dengan Mero terputar seperti kepingan film pendek.
Jika kamu di antara dua, pilih yang membuatmu tidak perlu bertanya ... apa dia memang mencintaiku? Karena, kalau memang iya, apa kamu harus bertanya?
Sekarang, perkataan Aura memutar di kepalaku. Sial, mengapa aku tidak menyadari ini semua?
Aku selalu bertanya apakah Evan menyukaiku, menunggunya membalas pesanku, dan berusaha keras dekat dengannya. Tanpa aku sadar, ada orang yang bisa sepuluh kali lebih romantis dari Evan; sepupunya sendiri!
Mengapa Mero tidak menyatakan perasaannya langsung ke padaku? Bukankah itu hal mudah?
Evan menyereting jaketnya, beranjak ke arahku. "Yuk," ajaknya ke luar.
Saat di motor, aku teringat akan Mero yang juga beberapa kali mengantarku pulang. "Rin, lo ada masalah apa, sih?" tanya Evan di jalan.
"Nggak, kok. Gue cuman lagi bingung aja," balasku.
"Bingung kenapa?" tanya Evan. Mengapa ia harus begitu perhatian? Karena inilah aku suka menyalah artikan segala ucapannya.
Apakah aku harus jujur kalau aku sedang bingung untuk memilih Evan atau Mero? Tentu tidak!
"Kalau nggak mau cerita juga nggak kenapa-kenapa, sih," kata Evan, karena aku diam untuk beberapa saat. "Nggak semua harus diungkapin."
Sekarang, rasanya aku benar-benar ingin memeluknya!
==
Aku membaringkan tubuhku di kasur, saat pulang Mama tidak marah sama sekali malah menyodorkanku makan malam.
Mama tersenyum aneh dan mengelus-elus rambutku. "Cie, anak mama udah pacaran," katanya.
Aku melirik Vero dengan tatapan setajam yang kubisa sampai mataku terlihat hanya segaris.
Ia cengar-cengir sambil menunjukkan foto di supermarket tadi, itu aku dan Mero, dengan Evan di sebelahnya. Seperti cinta segitiga dan aku sedang diperebutkan. Secantik apa aku?
"Vero!!" Aku membentaknya.
"Kenapasih, Verin?" tanya Mama yang masih tersenyum bahagia. Bisa-bisanya Mama bukan memarahiku pacaran namun malah mendukung?!
Aku tidak tau apa yang Mama pikirkan, apa karena aku tidak pernah berknteraksi dengan cowok di depan Mama, ia menganggapku menyukai sesama jenis?
Mungkin, yang Mama pikirkan adalah kejombloanku sudah sangat lama, sama seperti mencicil rumah. Maka, saat cicilan itu sudah lunas, ia merasa sangat bahagia.
"Enggak, Ma, itu temen aku di sekolah!" jawabku. Walaupun dalam hati aku berharap bisa lebih.
Yah, kira-kira begitulah. Sekarang, rasanya aku tidak butuh mimpi indah karena malam ini sudah terasa seperti itu, bedanya sekarang mulai terasa rumit.
Aku mengambil handphone-ku dan melihat profile Mero. Kurasa, Mero menyukaiku. "Apa begitu, Mero?" tanyaku pada diriku sendiri.
[btw foto itu Mero dan Evan, ya! Aku pernah blg Mero tuh bayangin Adipati, tp skrg Cha Eun Wo aja krn aku #timsuho
Cha eun wo = Mero
Hero Tiffin = Evan
t-tp keknya kebalik ya🤣🤣🤣vibesnya hero itu hardin brandal gt cocoknya sm Mero
Kl Cha eunwo vibesnya Evan udh cocok bgt kalem!
Ok jd, Evan itu Eun Wo Mero itu Hero, gmn?
Cocokan sapesi? Atau sekalian kuborong Bright dan Louise Patridge?
Rasanya semua cogan w mau main masuk2in aj ke cast WKWKW]