SanuLora (InsyaAllah, Rindu i...

By zerry_izka

289K 25K 6.5K

[CERITA KE 2] šŸ’ž kategori : baper somvlak Kepincut Gelora, gadis berhijab yang sudah sangat lama menginginkan... More

Yuta'arufan!
Keping 1 : Ustad Teknik Sipil itu Ternyata...
Keping 2 : H-1 Sebelum Upacara Penerimaan
Keping 3 : Asal Usul Sanul
Keping 4 : Ujian Ngampus Lora
Keping 5 : Gus Ganteng
Keping 6 : Apa? Gus Ganteng Tidur dengan Perempuan?
Keping 7 : Uma Mau Lora
Keping 8 : Sidang
Keping 9 : Membujuk Lora
Keping 10 : Selamanya Saja
Keping 11 : Besan to Besan
Keping 12 : Fix! Jumat Malam Harus Sah
Keping 13 : New Life is New Katastrope
Keping 14 : Ahlan Wa Sahlan, ya Zawjati
Keping 15 : Saya akan Temani Kamu
Keping 16 : Tahajud Pertama Lora
Keping 17 : Kapten Mulai Oleng
Keping 18 : Godaan Jiwa
Keping 19 : Pertunjukan Mevah
Keping 20 : Bersanding
Keping 21 : Terbongkarlah Sudah
Keping 22 : Interogasi Dadakan
Keping 23 : Jangan Coba Tikung Saya
Keping 24 : Kenapa?
Keping 25 : Lora Beraksi
Keping 26 : I Wanna be Your Girl (1)
Keping 27 : I Wanna be Your Girl (2)
Keping 28 : Bang Sanul, Maaf
Keping 29 : Bocah Saya Kelewatan
Keping 30 : Kelinci atau Merak Putih? (1)
Keping 31 : Kelinci Atau Merak Putih (2)
Keping 32 : Gencet Lebih Greget
Keping 33 : Dua Hati Satu Dara
Keping 34 : Dipencarian Rasa
Keping 35 : Buka Saja Dulu, Sisanya Biar Allah yang Atur
Keping 36 : Uji Nyali
Keping 37 : Di Ujung Tanduk
Keping 38 : Gagal atau Nyaris?
Keping 39 : Terima Kasih, Lora
Keping 40 : Karena Kamu Penting, Lebih Penting
Keping 41 : Biarkan Seperti ini Sebentar, Lora
Keping 43 : She Belongs to Me (1)
Keping 44 : She Belongs to Me (2)
Keping 45 : Kecikal vs Singus
Keping 46.A : Memincut 'Kepincut'
Keping 46.B : Berebut 'Kepincut'
Keping 46.C : Pilihan 'Kepincut'
Keping 46.D : Pemilik 'Kepincut'
Keping 47 : Urusan Perasaan
Keping 48 : Tidak Hanya Kamu, Saya pun Begitu
Keping 49 : Badum ... Badum
Keping 50 : Lakukan Karena Allah
Keping 51 : Bertahanlah Hati
Keping 52 : Grebek Halal
Keping 53 : Tidak Apa Jika Tidak Baik-baik Saja, Lora
Keping 54 : Saya akan Buktikan, Lora
Keping 55 : Semua Karena Allah 'kan Bang?
Keping 56 : Kamu Percaya Saya Percaya Kamu
Keping 57 : Siapa Bilang Penyempurna itu Harus Sempurna?
Keping 58 : Ternyata Begini Rasanya
Keping 59 : Menyibak Tabir
Keping 60.A : Bukan Lagi Rahasia
Keping 60.B : Gus Siapalah Itu?
Keping 61 : Suami Lora itu Sesuatu
Keping 62.A : Bang Sanul Lora Cuman Buat Lora
Keping 62.B : Ada Kesepakatan Ada Harga
Keping 63 : Gandanya Kita
Keping 64.A : InsyaAllah Rindu Ini Halal (1)
Keping 64.B : InsyaAllah Rindu ini Halal (2)
Keping 65.A Shakanura Fawwaza Ibram (1)
Keping 65.B : Shakanura Fawwaza Ibram (2)
AYAH, SHAKA, BUNDA DAN SURGA

Keping 42 : Kenakalan Kelinci

3.6K 353 112
By zerry_izka

(Kasmaran)

Pun aku merasakan, getaranmu

Mencintaiku sepertiku mencintaimu

Sungguh kasmaran aku

Kepadamu

.

-uma membuat chap ini dengan resep 20% senyum2 sendiri dan 80% malu, terserah teman2 yang baca gimana. kekeke-

-kita rehat sejenak dari yang tegang2 ya-

-di sini santai dulu, kapan2 baru nanjak lagi-

-cinta dan sayang dari uma untuk kesetiaan teman2 masih mau berkunjung-

.

Happy reading

.................

Mobil itu sunyi sejenak. Dua orang yang di dalamnya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kalaulah kini ada pedagang tahu bulat yang lewat untuk menjajakan makanannya, atau tukang sate keliling yang mampir di dekat jendela mobil itu menyapa calon pembelinya, maka dapat dipastikan mereka akan lari terbirit-birit meninggalkan gerobak mereka, terkejut melihat rupa dua orang yang sedang duduk di kursi depan mobil itu.

Satu mukanya merah tak tanggung-tanggung bak kain pengumpan ngamuk banteng dan satunya lagi pucat putih seolah sudah meninggal dari kemarin. Mereka duduk berdua tanpa suara dengan warna wajah seperti itu, cukup menggambarkan betapa cintanya mereka pada pertiwi. Merah Putih.

Tadinya Ikhsan masih bisa bersikap sok dingin dengan mata tajam yang mengancam, tapi setelah menyaksikan betapa cemasnya wajah Lora, entah mengapa si tampan juga ikut cemas. Seolah menjadi perompak yang telah merenggut paksa masa depan gadis sanderaannya.

"Lora..." Ikhsan memaksa pita suaranya bergetar.

Si lesung pipi masih bertahan dalam diamnya, dengan wajah pucat yang tak karuan macam ayam pop yang diletakkan di atas piring hitam.

Ikhsan memiringkan tubuhnya ke arah Lora, menggigit bibir bawahnya sambil memikirkan kata-kata yang lebih enak untuk didengar, yang tanpa ancaman pastinya.

Tapi tanpa si tampan sangka, Lora juga ikut menghadapkan tubuhnya utuh pada Ikhsan, mengeluarkan kalimat pertamanya usai diam cukup lama dengan suara tertahan, "maksud Bang Sanul nyium Lora apaan? Lora bukan bocah tempat pelampiasan Bang!"

Mendengar kalimat dingin sang gadis, Ikhsan merasakan pembuluh darahnya bergejolak mulai dari ujung kaki hingga Ujung Kulon. Lah!

Si tampan bingung seketika dengan maksud kalimat Lora.

"Bang Sanul melewati batas. Terlalu lancang!" Lora menyambung kekesalannya usai berhasil menenangkan hatinya. Karena jujur, berbicara menatap Ikhsan seperti ini setelah kejadian tadi sungguh berat bagi Lora.

"Tidak ada pelampiasan, Lora." Ikhsan menimpali cepat usai paham ke arah mana sang dara berbicara.

"Bohong!" Lora memutar bola matanya jengah, menahan air yang tertampung di sana agar tak menetes keluar. "Lora bukan bocah yang tak mengerti keadaan Bang."

Ikhsan menautkan alisnya rapat. Berusaha mencari cara agar bisa meluruskan sangka Lora.

Namun, belum sempat si tampan mengeluarkan kalimat-kalimat metamfetaminnya yang bisa membuat siapa saja yang mendengar candu dan ketergantungan, Lora... dengan telapak tangan dingin dan bergetar telah lebih dulu menahan pipi Ikhsan. Kiri dan kanan. Mencengkramnya erat.

Tentu saja Ikhsan membelalak. Ia tak menyangka Lora akan seberani itu menyerangnya dengan tiba-tiba. Bayi kelincinya berubah bar-bar hanya dalam hitungan menit.

Tapi Lora tak peduli seperti apa pun tatapan terkejut Ikhsan menyapa wajahnya kini. Dengan penuh dendam membara, si lesung pipi melakukan hal yang sama, balas melekatkan bibirnya di atas bibir Ikhsan. Menambah durasinya sedikit lebih lama dari Ikhsan. Melakukannya dengan mata terbuka lebar, menguarkan aura permusuhan yang nyata. Menantang Ikhsan di depan pintu kematiannya.

Lima detik berlalu, Lora mencabut wajahnya, menarik jauh dari wajah Ikhsan, kemudian bersuara dingin, "melakukannya tanpa perasaan hanya akan meninggalkan luka, Bang! Jangan pernah ulangi lagi. Semoga Bang Sanul paham apa yang Lora rasa. Bukan hanya Bang Sanul yang bisa."

Usai kalimatnya utuh tersampaikan, dengan kasar Lora membawa tubuhnya keluar dari mobil, tapi tidak untuk masuk ke rumah bambu. Melainkan berlarian mencari Amira, tertatih menuju rumah besar yang ada di dekat mesjid.

Setelah kepergian Lora, Ikhsan melepaskan napasnya keras-keras. Merasa marah dan kesal pada dirinya sendiri. Si tampan menghantamkan dahinya beberapa kali ke stir mobil yang ada di depannya... dengan rembesan air yang terjun bebas dari matanya. Ya, air mata. Bukankan sedari dulu Ikhsan itu gampang marah tapi lebih gampang menangis? Hanya saja tak banyak yang tahu kalau ternyata hati Gus Ganteng selembut itu, seolah kalimat dinginnya tak sinkron sama sekali dengan perasaannya.

Ikhsan beristighfar sebanyak yang ia bisa. Melepaskan seluruh sesak yang ada di dadanya. Memohon ampun pada Allah, Penguasa seluruh kehidupan dan kematian Yang Maha Pengampun.

Lora menyangka dirinya hanya pelarian? Tentu saja si lesung pipi tak salah. Bukankan prasangka seperti itu wajar? Perempuan mana di belahan bumi ini yang akan baik-baik saja setelah dicium seorang pria yang sedang merasa sedih dan kecewa atas ulah perempuan lain?

Ikhsan lagi-lagi melepaskan napasnya kasar ke langit-langit mobil. Masih bertahan duduk di depan kemudi dengan jemari yang mulai terasa dingin. Bertambah-tambah banyak pikiran Gus Ganteng itu kini. Bertubi masalah timbul atas kecerobohannya sendiri.

Ikhsan mungkin merasa bersyukur ada Lora di sampingnya saat ini, meminjamkannya bahu yang bisa dijadikannya tempat bersandar usai menghadapi Arini.

Tapi Ikhsan juga tak seharusnya melebihi batasan itu. Ia tak pernah jujur dengan perasaannya pada Lora. Bukan, bukan karena ia suka atau tak suka, cinta atau tidak cinta. Ini tidak sesederhana itu, tapi tetap saja... mencium seseorang yang telah halal sekalipun, jika tak pernah didahului dengan kalimat pengantar, mantra, nyanyian mesra, atau apapunlah itu namanya... pasti akan berbuah luka. Dan Lora ada diposisi itu sekarang. Diserang tanpa dijelaskan kedudukannya. Dipepet tanpa dikabari statusnya. Benar-benar seolah menjadi boneka pelarian saja, agar Ikhsan tak terlalu merasa kecewa atas apa yang telah Arini lakukan.

Jika saja Ikhsan mengawali tindakannya dengan sebuah kalimat sederhana seperti buka hatimu sedikit untuk saya Lora, belajarlah menjalani pernikahan ini sungguh-sungguh, atau lihat saya sebagai 'lelaki' Lora, bukan 'kakak'. Bisa jadi Lora tak akan semarah sekarang. Bisa jadi Lora paham dengan keadaan.

Memang benar apa yang tetua dulu sampaikan, untuk mengatakan 'saya cinta kamu', 'kamu segalanya bagi saya'. 'sepertinya saya menyukaimu', bukanlah perkara gampang. Ia tak sesederhana teriakan pedagang pisang goreng yang bersemangat menjajakan dagangannya, "pisang goreng anget-anget, murah Bund... cuma dua ribuan Bund... mari merapat." Tapi sekali saja kalimat berat semacam itu bisa tersampaikan dengan tulus, jangankan hati, Everest pun pasti akan runtuh karenanya.

Hanya saja, mana mungkin Ikhsan bisa berkata demikian pada Lora, toh pikirannya kini benar-benar kacau. Soal rasanya pada Lora, bukankah Gus Ganteng masih mencari tahunya? On progress kalau kata kids jaman nau. Jadi akan sangat gegabah sekali jika ia menyampaikan sesuatu yang ia saja tak pasti akan hal itu.

Ikhsan mengangkat tangan kanannya, meletakkannya sambil bergetar di bibirnya. Memegang bibir merah itu dengan menahan sesak di dada. Ia terbayang betapa marahnya tatapan Lora, sedihnya pandangan itu, kesalnya wajah sang gadis saat bibir mereka bertaut. Semua-muanya melekat erat di pelupuk si tampan.

"Maaf Lora... maafkan saya."

...

Lora sampai di rumah Amira dan langsung berteriak tanpa mengucapkan salam, "Umaaaaaa.... Uma di mana?"

Dengan tangan yang masih memegang kain lipatan, Amira menyongsong pemilik suara keluar. Mendapati itu adalah Lora yang terlihat sangat kacau, sang bunda langsung menghampiri dara cantik itu dan bertanya panik, "astaghfirullah, kamu kenapa Lora?"

Lora tak menjawab, ia membuka sepatunya dan langsung menghambur ke tubuh Amira. Memeluk ibu itu erat sambil menangis.

Amira heran setengah matang, ibu baby face itu tak punya pilihan lain selain balas memeluk sang dara. Tak nyinyir bertanya.

Lima menit bertahan dengan posisi yang sama, akhirnya Lora melepaskan pelukannya. Di sanalah Amira baru bertanya lembut, "ada apa denganmu Nak? Apa yang terjadi?"

"Bang Sanul Umaaaa." Lora merespon cepat.

"Ikhsan? Kenapa dengan Ikhsan? Dia muntah?" Amira menyela ucapan Lora.

Lora menggeleng pelan.

"Terus kenapa? Dia mencret?" Amira bertanya lagi, "Eh, kalau iya, muntaber dong anak Uma."

Lora tersenyum dalam tangisnya. Ia tahu, Amira kini sedang berusaha menghiburnya walau Amira tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Bang Sanul Uma... Bang Sanu jahat, dia buka segel Lora tanpa mantra." Lora berkata dengan deraian air mata yang tak bisa berhenti meski ia sudah berusaha untuk menghentikannya, "Lora sakit Uma. Sakiiiit."

Usai Lora berkata seperti itu, Amira menautkan alisnya. Sang Bunda merasa ingin menjerit tapi tak bisa, segel? Mantra? Sakit? Apa-apaan itu?

"Lora malam ini numpang tidur di sini ya Uma. Lora masih belum bisa liat Bang Sanul. Takut. Boleh Uma?" Lora meminta Amira untuk mengabulkan keinginannya dengan wajah memelas.

"Apa pun yang membuat hatimu tenang Nak." Amira merespon ramah, memegang pelan kepala belakang gadis imut itu. "Apa perlu nanti Uma kick Ikhsan sampai lehernya keceklek?"

"Jangan Uma, jangan sakitin Bang Sanul." Lora menjawab cepat. "Bang Sanul jangan diapa-apain ya Uma, ijinin Lora tidur di sini aja itu udah cukup kok."

Usai kesepakatan terjalin, Amira langsung menghubungi Abah Latif untuk menyuruh Abah Latif tidur di asrama para ustad. Numpang. Karena di sini sedang ada Lora.

Bukan, Amira bukan sedang lebai. Ia hanya ingin menjaga nama baik suami dan anak laki-lakinya. Ini pesantren, dan gonjang-ganjing selalu lebih deras berputar di sini dari pada dunia di luar sana. Mungkin karena saking inginnya menjaga. Bukankah setan selalu mencari celah dari manusia-manusia yang lengah? Selagi bisa dijaga, kenapa harus ditunda-tunda dan dianggap remeh? Seperti kata Ikhsan, fitnah itu mengintai dari mana saja.

Di sela aktivitasnya menyiapkan baju untuk Lora, Amira menasihati gadis itu bahwa tak baik jika tak bertegur sapa dengan suami, walau sedang menghadapi masalah sebesar apa pun. Solusi penyelesaian hanya bisa didapatkan kalau keduanya saling berkomunikasi dengan kepala dingin, menunjukkan effort untuk sama-sama ingin memperbaiki.

Lora menerima nasihat itu dengan wajah penuh penghargaan, lalu menjelaskan pada Amira kalau dia dengan Ikhsan baik-baik saja. Ia hanya butuh waktu untuk berjarak sebentar. Mencoba menguatkan perasaan. Meredakan kesal.

Amira tak curiga dengan apa yang terjadi setelah mendengar penjelasan Lora. Malam ini Lora tidur di rumahnya? Tentu saja itu menyenangkan. Sang Bunda jadi punya waktu untuk melepas rindunya pada Sania.

Tapi permintaan Lora pada Amira tak sampai di sana. Si lesung pipi juga meminta Amira untuk mengizinkannya berangkat kuliah dengan supir pribadi sang Bunda. Lalu menginap untuk dua sampai tiga hari lagi, tapi dengan janji bahwa ia tetap bertegur sapa dengan Ikhsan, minimal chattingan.

Awalnya Amira keberatan dengan permintaan susulan Lora. Tapi setelah sang gadis meyakinkan kalau ia dan Ikhsan benar-benar sedang tidak bertengkar, mau tak mau Amira memberikan izin walau sedikit mulai curiga.

Lora kembali ke rumah bambu untuk mengambil baju dan perlengkapan kuliahnya saat Ikhsan berangkat shalat subuh ke mesjid. Dan selalu menjawab singkat pesan yang Ikhsan kirim padanya sambil melarang si tampan datang berkunjung ke rumah besar.

Bukan Lora namanya kalau berhenti mengerjai Ikhsan 'kan? Demi melepaskan rasa kesalnya, si lesung pipi kembali menjadi bocah. Membalaskan semua amarahnya pada sang senior tampan tak kira-kira.

.

-Selasa-

Telepon pintar Ikhsan bergetar saat si tampan baru selesai kuliah. Karena yang menghubunginya adalah nomor baru, Ikhsan mengangkatnya dengan ragu.

"Benar ini dengan Bapak Ikhsan?" Suara penelepon menyapa ramah.

Ikhsan tertegun sejenak, lalu balik menjawab lebih ramah, "iya, ini benar dengan Ikhsan."

"Kami dari kepolisian kota menghubungi Bapak untuk bisa datang segera ke kantor." Suara penelepon itu kembali mengudara.

Deg! Ikhsan membatu. Tubuhnya kaku seketika.

"Silakan datang secepatnya ya Pak." Si penelepon meminta Ikhsan dengan sopan.

"Kenapa saya harus datang ke sana, Pak?" Ikhsan balik bertanya. Ia benar-benar bingung.

"Bapak diminta untuk menjadi jaminan atas kasus terbaliknya gerobak es krim milik pelapor." Suara penelepon semakin menjurus ke nada serius.

"Jaminan? Jaminan apa Pak? Gerobak es krim?" Ikhsan bertanya panik.

"Bapak kenal dengan Adek Kepincut? Dia mengatakan kepada kami kalau Bapak akan menjadi jaminannya atas kasus perusakan gerobak. Jika Bapak tak bersedia tak apa, kita akan proses kasus ini dengan hukuman kurungan penjara tiga bulan untuk Adek Kepincut." Sang penelepon berkata tegas tanpa mengulang kata-katanya.

Ikhsan tak perlu lagi memastikan apa pun. Dengan langkah seperti kepak naga mengamuk, si tampan menuju kantor polisi.

.

-Rabu-

Sore hari yang indah untuk menghabiskan istirahat sejenak dari lelahnya aktivitas kampus. Walau Lora tak ada di rumah bambu kini, Ikhsan tak terlalu mempermasalahkannya karena Loranya ada di rumah besar, tempat yang sama nyamannya dengan rumah bambu.

Hanya saja belum sempat si tampan puas bersantai, panggilan telepon masuk ke ponselnya. Nomor baru lagi.

"Kami dari restoran sepat saji Ayam Berkokok ingin meminta saudara untuk segera datang ke gerai kami melunasi semua tunggakan yang telah dibuat." Suara pelayan perempuan menelepon dengan nada agak ngegas dari seberag sana.

"Tapi saya tak memesan makanan apa pun di restoran Ibu." Ikhsan berusaha menjawab ramah sang penelepon.

"Di bon ini tertulis bahwa semua tagihan diberatkan pada Tuan Singus, dan nomor ini diberikan kepada kami untuk dihubungi." Si penelepon jeda sejenak, lalu kembali menyambung kalimatnya, "tidakkah itu Anda, Tuan?"

Jleb! Ikhsan tahu ini ulah siapa, maka tanpa membiarkan si penelepon menunggu jawabannya lama, Ikhsan langsung membalas, "iya itu saya, oke saya akan ke restoran Ibu sekarang."

.

-Kamis-

Malam hari usai balik dari mesjid setelah mengajar bahasa Arab, Ikhsan mengganti pakaiannya, hendak beristirahat. Sementara Lora masih ada di rumah besar, terlalu susah untuk kembali dibawa pulang walau Ikhsan sudah berjanji tak akan ungkit kejadian usil Lora.

Hanya saja belum sempat sang senior membaringkan tubuhnya, pintu rumah bambu diketuk.

Ikhsan sangat senang, mungkin Lora berubah pikiran dan memutuskan untuk pulang dengan sendirinya. Maka bergegaslah si tampan membuka pintu.

Namun mendapati yang berdiri di depannya adalah orang lain, bukan Lora, Ikhsan lemas seketika.

"Kami pengantar pesanan atas nama Nona Kecikal, benar ini rumahnya?" Pemuda yang berdiri di depan Ikhsan bertanya sopan.

Ikhsan menarik napasnya dalam. Ia tahu apa maksudnya ini, tapi Ikhsan tak punya pilihan lain selain menjawab "benar, ini rumahnya."

"Kalau begitu silakan tanda tangani bukti ini atas sampainya barang dan bayar semua biayanya, Dek." Pemuda yang berdiri di depan Ikhsan menyodorkan kertas bukti dengan ramah pada Ikhsan.

Ikhsan mengambil kertas itu dan terbelalak saat melihat biaya yang harus dikeluarkannya, "a-apa yang dipesan hingga sebanyak ini uangnya, Bang?"

"Nanti akan kami masukkan ke rumah." Si pengantar barang menjawab cepat.

Ikhsan tak bisa menolak, ia sudah tanda tangan, terpaksa harus bayar biayanya.

Maka usai transaksi tersepakati, si pengantar barang dan tiga rekannya mengeluarkan barang pesanan dari dalam mobil, dua belas boneka singa berbagai ukuran dan dua belas boneka kelinci berbagai bentuk.

Ikhsan hanya tertawa pahit melihat boneka-boneka itu tersusun tinggi di ruang tengah rumah bambunya. Lemah sudah ginjal si tampan.

.

-Jumat-

Kali ini tanpa memandang situasi, usai shalat Jumat, Ikhsan mendapat panggilan dari unit gawat darurat rumah sakit hewan yang ada di dekat kampus.

"Anda kami harapkan segera datang kemari karena seseorang mengirimkan kami kotak berisi boneka tikus yag ditusuk jarum dan nomor ini untuk dihubungi." Suara telepon dari seorang pemuda di seberang sana sangat tegas tanpa basa-basi.

"Tapi apa urusannya dengan saya?" Ikhsan merespon bingung dengan nada suara yang sulit diterjemahkan.

"Setelah kotak ini datang kami kehilangan sampel kerangka kelinci gurun kami. Jika bukan Anda, siapa lagi yang kami curigai? Segera datang untuk bertanggung jawab. Kembalikan sampel itu kepada kami." Si penelepon berkata tak ramah sedikit pun.

Ikhsan tahu ini ulah siapa. Maka tanpa membuang waktu, sang Gus berangkat untuk menyelesaikan urusannya. Menelepon Lora menanyai di mana si lesung pipi menaruh barang curiannya.

.

Ikhsan tahu ini tak akan mudah. Hampir seminggu ini, usai kejadian absurd malam itu di dalam mobil, Lora seolah membalas dendam dengan cara yang bertubi-tubi.

Tapi bagaimana pun lelahnya si tampan, mau tak mau ia harus menyelesaikan satu persatu kekacauan yang Lora buat. Dengan lapang hati. Tak marah satu kalimat pun pada si cantik. Sadar diri, Lora begini juga karena tingkahnya.

Ikhsan benar-benar mengurus seorang bayi kini. Dan bayinya membuat semuanya benar-benar menjadi rumit. Tapi ia akan tetap berusaha menjadi suami yang baik. Setidaknya begitu.

Hanya saja makin kemari rumah bambu terasa makin asing bagi Ikhsan. Padahal sudah bertahun-tahun dia tinggali rumah itu. Benarkah Gus Ganteng sedang merindu kelinci gradak-gruduknya?

Ikhsan menyusun boneka yang Lora pesan tempo lalu dengan rapi di sudut ruang tengah. Memasangkan singa dan kelinci sebanyak dua belas pasang, lalu tersenyum menatap boneka-boneka itu sambil bergumam pelan "saya tak pernah merasa sebodoh ini sebelumnya Lora. Semua karena kamu."

Tapi makin ditatap boneka kelinci itu, makin tak tenang hati si tampan. Maka ia mencoba mencari kesibukan, membersihkan rumah. Kebetulan kegiatan tak terlalu padat Sabtu ini.

Sedang asyik mengepel, tiba-tiba saja Ikhsan terpeleset dan kepalanya terbentur ke sudut pintu kamar, berdarah sedikit.

Si tampan cepat mengambil obat dan mengurus luka kecilnya itu. Namun saat bercermin melihat luka kecil pada dahinya, Ikhsan seolah mendapat ide cemerlang untuk membawa Lora yang kebetulan ada di rumah Amira kembali pulang.

Dengan perban seadanya, Ikhsan melilit lingkar kepalanya, meneteskan obat merah sedikit pada bagian luar perban itu. Mengusutkan rambutnya, menguyukan pandangan matanya, memplaster tulang pipinya dengan plaster kulit dan meneteskan segaris obat merah disudut bibirnya. Lalu... memoto dirinya dan mengirimi Lora foto itu dengan pesan singkat, "kamu bertanggung jawab atas semua ini, Lora".

Saat ini Lora sedang membantu Amira memotong kentang di dapur. Namun tiba-tiba nada notifikasi pesan masuk ponsel si gadis terdengar, tanpa curiga Lora langsung mengambil ponselnya dari dalam saku dan membukanya. Mendapati yang mengiriminya pesan adalah sang suami, Lora segera membacanya.

Usai membaca dan melihat foto Ikhsan yang kini terpampang di layar ponselnya, Lora langsung berdiri cemas.

"Uma, Lora balik ke rumah bambu ya." Lora bersuara pelan sambil menahan getaran pada lututnya.

Foto Ikhsan sama sekali tak terlihat main-main.

"Kenapa emang? Kok mendadak?" Amira bertanya sambil terus menggoreng ikan.

"Sesuatu terjadi pada Bang Ikhsan, Ma. Tapi Lora harus memastikannya dulu." Lora gelisah sudah, serasa ingin pinjam pintu kemana saja Doraemon atau membegal sapu terbangnya Harry Potter agar segera sampai ke tempat Ikhsan.

Gadis berlesung pipi itu tak cemas dibuat-buat. Lihatlah foto Ikhsan tadi, bagaimana mungkin si tampan baik-baik saja dengan wajah hancur seperti itu?

"Ya sudah, pakai aja kerudung Uma yang ada di dekat pintu." Amira berkata datar dan membiarkan Lora pergi.

Tanpa membuang waktu, Lora langsung melesat keluar dari rumah besar sambil memakai kerudung ibu mertua. Kerudung itu kusut disegala sisi, tapi ia tak peduli. Jangankan untuk membenarkan kerudung, memakai sandal pun Lora tidak. Ia datang ke rumah besar dengan sepatu, bertali pula, dan itu pasti akan memperlama waktunya.

Maka Lora memutuskan menerobos hangatnya kerikil jalan setapak dengan kaki halusnya tanpa alas. Ikhsan, di otaknya kini hanya ada Ikhsan. Apa yang terjadi pada Ikhsan hingga keadaannya separah itu?

Tak pedulilah si lesung pipi dengan talapak kakinya yang terseret, berdebu, bahkan kuku kakinya yang mendadak lusuh. Lora berjalan setengah berlari. Jika dia bertemu dengan santri, Lora hanya mengangguk pelan sambil terus berjalan kencang tanpa peduli ditatap aneh. Nyonya Muda mereka siang-siang begini seperti sedang menggelar pertunjukan debus.

Sesampainya di rumah bambu Lora langsung masuk menerobos tanpa salam, berteriak kalap, "Bang Sanul, jangan man-main Bang! Jangan main-main, di mana Bang Sanul?"

Ikhsan yang mendengar suara nyaring itu segera keluar dari dalam kamar sambil menahan tawanya. Gadis cantiknya pulang. Benar-benar berdiri di hadapannya kini.

Tapi Lora, saat melihat Ikhsan berpenampilan sama dengan yang ada di foto langsung mendekat pada sang senior dan bertanya panik, "apa yang terjadi sama Bang Sanul ha? Kenapa bisa begini muka Bang Sanul?"

"Kamu khawatir?" Ikhsan bertanya manja, lupa kalau dia adalah singa, malah berperan sok jadi kelinci.

Lora mengangguk cepat, lalu mengangkat tangannya hendak memegang wajah Ikhsan. Hanya saja gadis berlesung pipi itu tak tahu, Ikhsan baru saja mengepel, jadi lantai agak licin. Tak fokusnya Lora membawa malapetaka pada dirinya.

Jika tadi Ikhsan yang terpelesat hingga membuat kepalanya terbentur, kini giliran Lora yang nyaris terpeleset. Ya, nyaris. Karena Ikhsan telah lebih dulu menangkap pinggang gadis itu sebelum tubuh sang gadis menyapa lantai. Memegang si pemilik pinggang erat. Benar-benar erat.

Keadaan ini sungguh sangat aneh bagi keduanya. Tapi mau bagaimana lagi. Meski malu, menyelamatkan diri dari malunya terpeleset jauh lebih penting.

Sayangnya, lantai rumah itu seolah telah dirasuki arwah pendukung pasangan ini, dengan tak tahu malu malah membawa Ikhsan ikut oleng. Alhasil keduanya jadi terjatuh. Aturannya tadi hanya satu orang yang jatuh menghantam lantai. Tapi kini, karena Ikhsan sok gaya-gayaan mau menyelamatkan Lora, malah menjadi dua orang yang terkapar.

Ikhsan tergeletak di sebelah Lora. Mereka hening sejenak untuk kemudian tertawa lepas. Sama-sama malu soalnya. Sama-sama sial.

Tapi momen itu tak berlangsung lama, karena dengan posisi Lora yang tergeletak di lantai seperti itu, Ikhsan segera mendekatkan tubuhnya pada sang gadis dan melingkupi Lora dengan dua lengannya. Mengurung Lora dari atas. Tak lagi peduli apakah setelah ini Lora akan membencinya seumur hidup atau mencincang-cincangnya sampai halus. Ikhsan sudah kadung ingin menatap wajah gadis itu.

"Bang..." Lora yang berada di bawah lingkupan Ikhsan bersuara serak. Meremang dengan posisi mereka saat ini.

Ikhsan tak bersuara, matanya tajam menatap sang gadis.

"Bang, Lora duduk aja ya?" Lora berusaha bernegosiasi sebelum Ikhsan dengar suara jantungnya yang kini mengalahkan bedug mushalla.

Ikhsan makin merapatkan kekangan lengannya, bahkan menurunkan sedikit tubuhnya. Menampakkan pada Lora kalau ia tak mau bekerja sama dengan baik.

Namun tanpa Lora sangka, didetik ke dua puluh dalam posisi mereka yang absurd seperti itu, Ikhsan bersuara berat dengan tetesan air mata, "saya rindu, Lora. Saya rasa... saya merindukanmu."

Deg! Lora yang mendengar kalimat itu keluar dari pria tampan yang ada di atasnya lengkap dengan tetesan air mata, tak lagi tahu harus mengapa, kepalanya berdenging hebat saat ini.

Dengan penuh kesadaran diri si gadis menjulurkan tangannya ke wajah Ikhsan, lembut mengusap air mata yang ada di sana tanpa suara.

Mereka masih bertahan dengan posisi yang sama. Satu melingkupi yang satu. Dan yang dilingkupi di bawah tubuh yang melingkupi mengangkat tangannya untuk mengusap air mata pada si pelingkup.

Hanya saja dalam hitungan detik, Amira muncul. Tak tahu kondisi apa yang kini sedang terjadi pada anak-menantunya langsung masuk ke rumah, "Ikhsan... Lora... ada aaa ASTAGHFIRULLAH!"

Amira terkejut. Apa yang dilihatnya kini adalah pemandangan yang tak harus dilihatnya. Maka dengan cepat si ibu sadar diri, langsung membalik tubuhnya dan berjalan menjauh.

Tidak hanya Amira, Lora pun terkejut sebenarnya. Tapi sayangnya Ikhsan tidak. Dan itu membuat Ikhsan masih fokus menahan Lora di bawah kekangannya.

"Uma..." Lora memanggil Amira dengan nada yang dipaksakannya terdengar normal.

"Biarkan saja Lora, Uma paham." Ikhsan menyela aktivitas Lora dengan segera.

"Tapi Bang..." Lora berusaha mencari cara agar segera lepas dari kekangan Ikhsan.

"Uma sudah pergi, Uma pasti mengerti kita, kamu jangan khawatir, Uma bukan anak kecil Lora." Ikhsan berkata datar, mencegah Lora dari niatnya untuk kabur.

"Tapi Bang..." Lora mengulangi kata-kata yang sama, tak tahu lagi harus apa soalnya.

"Kamu tenang saja. Berikan saya waktu untuk menyetor rindu." Ikhsan berkata jujur sambil menatap lurus gadis yang ada di bawahnya.

"Haa?" Lora membelalak ngerih.

"Saya sedang menyetor rindu Lora, kamu diam sajalah." Ikhsan mengulangi kata-katanya, kali ini terdengar lebih hangat.

Mereka berdua saling tatap dalam posisi yang ... ah sudahlah tak perlu diulang menjelaskannya, hanya akan membuat hati pejuang kehalalan meringis ngilu.

Tapi tak lama, Ikhsan kembali merendahkan wajahnya sambil terus menatap Lora, lalu berbisik pelan, "untuk kali ini, bisakah kamu lihat saya sebagai lelaki, Lora? Bukan kakak."

Glup! Siapa pun tolong pesankan ambulan untuk Lora.

.

.

TBC

25/12/20

.

-sudahlah, uma nggak kuat lagi. Tolong belikan uma pelampung-

-semoga, siapa pun yang membaca tulisan ini, yang sudah berumah tangga, Allah jaga keharmonisan keluarganya. Terkadang, beromantis-romantis itu penting teman, walau hanya seangin, minimal lewat doa-

-semoga suka dengan tulisan ini-

Sehat selalu ya teman-

WO AI NI

.

-zerryizka-

IG : @zerryizka

(more spoiler or gaje2nya SanuLora, untuk lebih akrab dengan uma, silakan acak aja instastory uma)

Continue Reading

You'll Also Like

790K 60.8K 80
"Jodoh itu cerminan diri. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun sebaliknya" sebuah kutipan yang aku ingat dari ucapan Pak Anwar. Benarkah? L...
353K 23.4K 53
Alangkah baiknya follow akun penulis terlebih dahulu sebelum membaca, karena itu adalah sebuah penghargaan bagi kami. [ Romance-Religi ] (TAMAT DAN L...
HOT GIRL 1821 By 555

General Fiction

227K 834 4
21+++ āš ļø warning āš ļø
316K 19.2K 45
-A Spiritual Romance Story- Ketika dua hati yang tak begitu mengenal di ikatkan dalam tali pernikahan yang sakral . Hanya melakukan proses ta'aruf be...