Aku menyimpan belanjaanku di kamar, serta martabak pemberian A Naka di meja makan. Aku memanggil Naura dan Sasa, barang kali mereka belum makan malam, meskipun di dalam tudung saji sudah ada makanan yang pasti disiapkan Mbok Yum——asisten rumah tangga di rumah ini. Sesekali Mbok Yum masak kalau Mama lembur, selebihnya Mama lebih memilih masak sendiri untuk keluarga.

Kali ini aku menghubungi Papa lewat SMS, memberitahunya jika aku pergi menjenguk Mbak Mika yang sedang sakit. Jika Papa merasa butuh bukti——karena memandang informasi tanpa gambar adalah fakta yang tertunda——maka dengan senang hari aku memotret kunjunganku ke rumah Mbak Mika.

Aku mengganti sepatu yang kupakai dengan sandal jepit. Lantas keluar rumah sambil menenteng kantong plastik berisi camilan untuk Mbak Mika. Sedikit terperangah begitu melihat Naka berdiri di depan gerbang rumahnya sembari membawa buah-buahan dan martabak. Aku kira dia akan langsung ke rumah Mbak Mika tanpa perlu repot-repot menungguku. Rupanya aku harus kembali menyelaraskan langkahku dengannya.

Hujan sudah reda, yang tersisa kini hanya aroma khas yang selalu ia tinggalkan di atas tanah yang basah. Aku merapatkan sweater nude yang kupakai, semilir angin sehabis hujan lebih dingin dari biasanya. Jarak rumahku dengan Mbak Mika tidak sedekat rumahku dengan Naka, kami dipisahkan oleh tikungan jalan. Rumah Mbak Mika berdekatan dengan rumah Om Fahmi, dan Om Anwar——anggota Seven Squad yang lain.

Suasana sepi menyambut kedatanganku dan Naka. Begitu Tante Rina membuka pintu rumah, aku tertegun melihat raut wajahnya yang sayu dan sembap. Seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Namun aku memilih untuk tidak bertanya dan langsung menyalami tangan beliau. Setelahnya, Naka melakukan hal yang sama denganku.

"Langsung naik ke kamarnya aja. Tadi Tante lihat dia masih melek," jawab Tante Rina. "Nanti buatkan minum dulu. Kalian mau minum apa?"

"Kalau boleh susu cokelat hangat, Tante."

Naka menjawab tanpa ragu. Dia sepertinya nggak sungkan lagi pada Tante Rina. Sedangkan aku masih berpikir, minuman apa yang aku inginkan.

"Boleh dong!" senyum hangat Tante Rina terbit. Beliau lantas menoleh padaku dengan senyum yang sama. "El, mau minum apa?"

"Teh hangat, Tante."

"Oke, Tante bikinin dulu ya. Kalian langsung naik ke atas. Kamarnya Mika juga belum dikunci."

Aku mempersilakan Naka untuk naik duluan karena dia merasa lebih berhak mengetahui kondisi sahabatnya itu. Kaki ini sendiri mengekor di belakangnya dengan langkah pelan, sedikit menjaga jarak. Naka membuka pintu kamar Mbak Mika, kulihat dia sedang duduk bersandar di atas kasurnya. Mika menyambut dengan senyuman, jelas pandangannya tertuju pada Naka, sebab aku di belakang Naka pasti tidak akan tersorot oleh lensa Mbak Mika.

Naka duduk di sebelah Mbak Mika, mengecek suhu tubuh sahabatnya itu. Dan mengomel kecil, terdengar sebagai sebuah peringatan agar Mbak Mika lebih menjaga kesehatan.

Aku selalu suka nuansa kamar Mbak Mika yang aesthetic. Warna putih dan choco mendominasi, ditambah ornamen-ornamen yang mendukung suasana kamar. Single bed tanpa sandaran ranjang berwarna putih, lemari kayu tiga pintu di sudut kanan. Satu meja belajar di dekat kamar mandi lengkap dengan rak buku dan rak make up di sebelahnya. Di atas dinding tempat tidur, terdapat papan bersekat ... puluhan foto kolase tergantung di sana. Foto keluarga, foto teman, foto selfie dirinya sendiri, dan banyak foto berdua dengan Naka.

"Mbak Mika...!" seruku, bergantian duduk dengan Naka dan memeluk Mbak Mika.

"Kalau Elea datang pasti heboh." Dia terkekeh, sambil membalad pelukanku.

Aku mengurai pelukan, dan menanggapi kalimatnya dengan seulas senyum.

"Kali ini kenapa? Mau ngajakin aku streaming NCT?"

That Should Be MeWhere stories live. Discover now