Delapan

8.7K 1.4K 284
                                    

Tumben komennya part 7 rame?

3000 kata untuk part ini. Oh, wow! Pencapaian langka seorang Luvi 😂

Ayo vote, komen, dan tandai typo.

Happy reading💙

Sekian banyak ocehan Rasti tadi sore, mengapa otakku langsung tertuju pada kalimat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sekian banyak ocehan Rasti tadi sore, mengapa otakku langsung tertuju pada kalimat ... sahabat jadi cinta?

Rasa bosan melanda, ketika aku menunggu Naka yang sedang mengantre martabak di seberang jalan. Entah sudah berapa banyak aku menoleh untuk memastikan Naka sudah mendapat martabak yang menjadi incarannya itu.

Tiga puluh menit yang lalu, dia tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya di bahu jalan ketika melihat toko martabak yang setiap hari laris manis itu. Panjangnya antrean tidak menyurutkan niatnya untuk membeli martabak. Ketika aku tanya dia suka martabak atau nggak? Dia menjawab, "suka yang rasa cokelat".

Naka rela antre untuk mendapatkan seporsi martabak itu bukan untuknya, melainkan untuk Mbak Mika. Sahabatnya.

Terjawab sudah mengapa aku memikirkan ucapan Rasti tadi sore, karena aku melihat bagaimana perhatiannya Naka kepada Mbak Mika. Sebelum turun, dia sempat bilang bahwa martabak itu favorit Mbak Mika apalagi yang rasa keju. Jadi, aku mulai berpikir ... apa benar mereka hanya sebatas sahabatan kayak aku dan Satria? Atau ... Naka memang menyukai Mbak Mika?

Ah, seharusnya memang witing tresno jalaran soko kulino itu terjadi ke beberapa orang kan? Termasuk Naka dan Mbak Mika. Wajar kalau memang begitu, toh mereka deket banget. Apalagi waktu SMP dan SMA, ke mana-mana berdua terus. Mungkin kalau mereka jadi nikah, mereka akan mendapat gelar Ayudia dan Ditto-nya keluarga Seven Squad.

Ah, Elea! Kupukul kepalaku sendiri karena terlalu ribet mikirin urusan orang lain. Sudah diantar beli buku sama dibayarin makan dan belanja pun, ngucap alhamdulillah. Selebihnya, ya biarin, itu urusan pribadi Naka.

"Udah?" Aku melongo ketika Naka membuka kursi penumpang belakang. Dia meletakkan tiga kotak martabak di sana sebelum masuk ke kursi kemudi.

"Kok banyak banget?" Aku masih berusaha melawan ekspresi tidak percayaku. Memang mengapa kalau Naka beli martabak banyak? Kan tadi dia bilang, martabak 'favorit' Mika.

"Satu buat Nini, satu buat Mika, satunya buat kamu."

"Eh?" Kupikir keterkejutanku akan habis di situ, ternyata yang barusan lebih mengejutkan lagi. "Kok, aku dibeliin?"

"Sekalian."

Baiklah! Itu memang jawaban yang paling realistis.

Tidak ada lagi yang membuka suara. Baik aku ataupun Naka sibuk masing-masing. Aku memiringkan wajah menghadap jendela mobil yang tertutup. Rinai hujan mulai menyapa kaca, mengaburkan pandanganku untuk memandang aktivitas ibu kota di jam segini. Jam tujuh malam. Aku baru sadar jika hari sudah gelap begitu mobil Naka meninggalkan area mal.

That Should Be MeWhere stories live. Discover now