Tapi aku nggak perlu risau, Papa punya aturan baru. Berlakunya jam malam untukku sedikit membuka ruang pernapasan yang semula sesak dengan semua aturannya. Papa mungkin sadar kalau aku butuh waktu lebih banyak untuk mengerjakan tugas kelompok. Maka dari itu berlaku jam malam untukku.

Aku harus pulang sebelum jam pulang kerja Papa, aku harus selalu mengaktifkan ponsel, dan aku harus melapor sedang melakukan kegiatan apa sampai pulang malam. Masalahnya, sore ini aku nggak laporan ke Papa ataupun ke Mama. Tentu aku was-was. Amarah Papa pernah meledak ketika aku nekat keluar malam bersama Satria, yang notabene sudah sangat Papa hafal karakternya.

Nggak pa-pa! Nggak pa-pa! Kalimat untuk menyemangati diri sendiri selalu kulantunkan selama perjalanan pulang, ditemani gemericik air hujan yang semakin ke sini semakin deras.

"Soal di Gramed tadi..."

Aku menoleh cepat ke arahnya, bibirnya kembali terkatup begitu melihat reaksiku yang tiba-tiba.

Tapi jujur saja ... aku pun kepikiran. Dan berharap telingaku sedang kehilangan fungsinya. Makanya aku pura-pura cuek, kalau aku kepikiran terus yang ada momen awkward ini nggak akan pernah hilang. Gila gak tuh!

"Lupain aja deh, A. Topik lain lebih seru kayaknya daripada bahas soal yang di Gramed."

Dia yang semula memandang ke depan, menoleh sejenak ke arahku lengkap dengan wajah datarnya. Aku mendesah berat sebelum melontar cengiran superkaku.

"Contohnya?"

"Um ... pengalaman selama kuliah?" Aku mengedikkan bahu. Aku sendiri bingung harus mengangkat topik obrolan bagaimana agar interaksi kami tidak terkesan monoton, ujung-ujungnya cuma jawab "iya", "hehe", "mm-hmm". Jika kehilangan kata-kata seperti itu, aku yakin. Boring!

"Banyak."

Iya ... iya ... sudah pasti banyak. Dia sudah semester 5 dengan segudang pengalaman akademik dan organisasinya.

Aku mengangguk paham. Lantas menggigit bibir saat pertanyaan konyol mampir di benakku. Berpikir ulang, apakah harus aku tanyakan? Tapi ya kampretnya mulutku seperti kendaraan yang kehilangan fungsi rem.

"Kalau gitu relationship, maybe?"

Dia kembali menoleh dengan santai. Rautnya tidak menunjukkan kalau dia tersinggung dengan ucapanku. "Pacar? Lagi nggak pacaran sama cewek mana pun. Mantan? Ada beberapa. Gebetan..."

"Banyak." Aku memotong ucapannya, lalu nyengir ketika dia kembali menoleh dengan kernyitan di dahi sebelum fokus menyetir dan menggantungkan ucapanku tadi.

"Yang minta jadi gebetan banyak, tapi..."

"Tapi, apa?" Aku penasaran dibuatnya. Cowok ini nggak terbuka soal apa pun——mungkin terbuka——cuma aku nggak ada dalam daftar orang yang harus tau riwayat dia.

"Gebetan yang aku mau justru nggak nawarin diri."

Aku mengerjap, sebelum akhirnya menyemburkan gelak tawa. Sumpah! Aku nggak tau letak lucunya di mana, tapi aku nggak bisa nahan tawa. Kuhentikan tawaku ketika alis Naka terangkat tinggi-tinggi, lalu berdeham untuk menghilangkan kecanggungan setelahnya.

"Aku baru tahu kalau dibalik sikap stay cool A Naka, tersimpan jiwa narsis juga."

"Aku nggak minta diketawain kayak gitu," katanya dingin.

"Ups, sori." Aku langsung membekap mulutku dan berhenti bicara.

Sampai di rumah, aku tidak heran jika rumah dalam keadaan sepi. Sejak pagi, Mama sudah bilang kalau hari ini dia lembur karena Nina Publisher akan segera mengadakan launching novel terbaru dari salah satu penulis terkenal yang sudah menerbitkan beberapa judul buku, semua karyanya selalu meledak di pasaran. Papa juga belum pulang. Biasanya setengah jam lagi klakson mobilnya akan berbunyi. Di rumah hanya ada Naura dan Sasa, adiknya Satria.

That Should Be MeWhere stories live. Discover now