Bagian 20

1K 228 26
                                    

Biasanya Tara tak perlu repot hanya untuk mengerti wanita, namun berbeda kali ini. Kegugupan melanda saat ia duduk dalam mobilnya ketika waktu hampir petang hanya untuk menanti seseorang yang ia rindukan di depan sebuah rumah kos. Sebuah snack bucket berisi coklat kesukaan Sasa terangkai cantik di atas kursi penumpang sebelah kemudi. Gadisnya tidak suka bunga seperti gadis pada umumnya, namun tidak dengan coklat. Sasa dan coklat, sejak dulu Tara tahu keduanya tak terpisahkan.

Jika kalian tanya dari mana Tara tahu letak tempat tinggal Sasa, itu karena beberapa hari ini ia mengorek info dari Rea meski Tara harus meminta bantuan dari rekan kerja wanita itu yang kebetulan merupakan teman Tara sewaktu kuliah. Ia sangat yakin, melihat kebersamaan keduanya tempo hari, Rea pasti tinggal bersama Sasa.

Tak selang berapa lama, gadis yang ia nanti terlihat masuk melewati gerbang kosan dengan mengendarai sebuah ojek online kemudian tersenyum ramah pada sang driver saat mengembalikan helm yang dikenakan. Senyum itu, Tara lama tak melihatnya, betapa bodohnya saat ia menyia-nyiakan keberadaan Sasa di lingkup hidupnya dulu.

Tara menarik napas perlahan untuk menghalau rasa gugup yang semakin dalam menyergap, kemudian meraih buket yang ada di sampingnya dan keluar dengan langkah mantap. Kali ini ia tak akan menunda lagi.

"Permisi," sapa Tara saat mendapati seorang wanita baya yang tadi terlihat menyapa Sasa sebelum gadis itu menghilang di balik tembok samping rumah.

"Eh, iya. Mas ... mau cari siapa?" Bu Yuli bertanya dengan pandangan menyelidik. Pria di depannya nampak asing, tapi hanya dengan sekilas lihat Bu Yuli yakin dia bukan orang jahat, meski entah sedang menyembunyikan apa di belakang punggungnya.

"Mmm, bisa saya bertemu Tavisha, Bu? Maksud saya, Sasa." Tara tersenyum canggung.

"Oh, Sasa ya. Kebetulan baru aja masuk. Eh! Mas ini ... siapanya?" Mendengar pria itu ingin bertemu Sasa membuat Bu Yuli semakin penasaran. Setaunya, Sasa adalah pacar Dya. Tapi, kenapa ada pria lain yang berani menemuinya di sini?

"Saya Bima, Bu. Mmm ... tetangga sebelah rumah Sasa di Jakarta. Bisa saya bertemu?" Tara nampak salah tingkah dengan pandangan Bu Yuli yang terlalu lekat menatapnya.

"Maaf, tapi saya tidak mengijinkan anak kos saya menerima tamu pria masuk. Jadi, silahkan duduk di ruang tamu samping mushola sebelah sana, Mas. Saya panggilkan dulu." Bu Yuli menunjuk sisi sebelah tembok tempat Sasa menghilang, nampak empat kursi kayu yang melingkari meja berada di samping sebuah ruang bersekat yang Tara yakin itu mushola yang dimaksud si ibu. Tara melangkah ke sana dengan pikiran yang menerka bagaimana reaksi Sasa saat tahu dirinya ada di sini.

Beberapa saat Tara mendudukkan diri, terdengar beberapa langkah mendekat ke tempatnya yang duduk dengan posisi membelakangi. Ia tahu, pasti itu Sasa, hingga tak beberapa lama suara Bu Yuli menyapa pendengarannya.

"Jangan lama-lama ya, Sa. Udah mau Maghrib." Bu Yuli mengingatkan dan hanya diberi anggukan kepala serta sebuah senyum kikuk dari gadis itu, kemudian tanpa kata lagi Bu Yuli meninggalkan keduanya meski banyak pertanyaan yang sejak tadi ingin ditanyakan namun ia menahan diri.

Hening.

Sasa memilih duduk di seberang Tara, tanpa berkata apapun. Kedatangan pria itu saja sudah membuatnya cukup terkejut meski rasa penasarannya lebih dominan.

"Sa," Tara membuka suara sembari mengulurkan buket yang sedari tadi berada d kursi sebelahnya, "buat kamu."

Sasa mengernyit melihat sesuatu di hadapannya, "Untuk?"

"Untuk ... kamu yang udah bikin aku sadar sama satu hal." Tara menatap lekat, berbeda dengan Sasa yang semakin bingung dengan ucapan Tara dengan kedua tangan yang masih saling meremas di bawah meja.

"Maksud Mas Tara apa? Sasa nggak ngerti."

"Maafin aku, Sa. Aku tau aku salah." Tara menatap Sasa sendu.

"Mas Tara sebenernya ada perlu apa? Langsung saja. Sasa nggak punya banyak waktu." Akhirnya Sasa memberanikan diri bertanya lebih jelas, perasaannya kacau sejak kehadiran pria yang pernah mengisi hatinya ini, atau lebih tepatnya masih ada di hatinya. Sasa akui, Tara masih saja mengganggu perasaannya sampai detik ini membuat Sasa merasakan kegamangan akan hatinya sendiri, ia takut jika perasaannya masih sama. Yang Sasa tahu, pria ini tak akan pernah bisa jadi miliknya.

"Beri aku kesempatan, Sa," Tara sedikit mencondongkan tubuhnya memdekat dengan tatapan yang masih lekat, "untuk memperbaiki semuanya."

Sedetik, dua detik. 

Sasa mencerna maksud Tara, hingga sesaat kemudian badannya menegang ketika menarik sebuah kesimpulan.

"Enggak ada yang perlu diperbaiki, Mas. Semua ... masih baik-baik saja," cicit Sasa di akhir ucapannya, berusaha menutupi luka, paling tidak semua baik-baik saja ketika ia belum kembali bertemu dengan pria ini.

"Sa, apa rasa itu masih ada buat aku?"

Skak!

Sasa membeku di tempatnya, bibirnya kelu untuk hanya sekedar menjawab pertanyaan Tara. Bagaimana dia bisa menjawab, jika hanya dengan kehadiran pria ini tempo hari saja mampu menjungkir balikkan perasaannya yang beberapa bulan susah payah ia tata.

"Nggak usah dijawab, Sa. Aku nggak maksa. Kamu cukup diem aja, dan aku yang akan mencari jawabannya dengan caraku. Semoga masih ada celah untuk aku bisa perbaiki semua."

Entah sejak kapan Tara berdiri di sampingnya dan kini mengusap puncak kepalanya. Sasa kesulitan mencerna maksud pria ini, Tara cukup sulit diterka namun kali ini Sasa tidak ingin terbuai dengan apapun yang Tara lakukan. Ia pernah terluka, dan ia tidak ingin mengulang luka yang sama dengan berharap pada Tara.

"Mas Tara nggak akan bisa," balas Sasa.

Hanya sebuah gumaman, namun berimbas luar biasa pada keduanya. Tara menegang, namun sedetik kemudian ia mampu menguasai diri.

"Aku akan berusaha, meski kamu dari awal menolaknya." Tara mundur selangkah, tersenyum sangat tulus kemudian menjauh setelah mengucapkan salam.

Bukan kelegaan yang Sasa dapat, melainkan sebuah sayatan kecil tak kasat mata ketika menatap mata Tara yang menunjukkan kesungguhan.

Haruskah dia percaya lagi pada Tara?

...

Aku kelamaan hiatus ya?

Ada yang masih baca ini?

Apa yang kalian rasakan membaca part ini?

Rasa (Ketika Hati Telah Bicara) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang