Bagian 8

1.3K 283 9
                                    

Keremangan cahaya kamar tak sedikitpun membantu Tara untuk bisa memejamkan matanya. Perkataan Kiara membuatnya berpikir keras hari ini.

***

Kiara yang semula membawakan makanan untuk Tara, merawat serta memastikan Tara meminum obatnya berubah menjadi sedikit bicara selepas makan siang. Kalaupun bicara hanya menanyakan apa yang Tara perlukan atau inginkan saja, selebihnya hanyalah keheningan di antara mereka. Sampai hari menjelang sore, Kiara pamit pulang, ia sudah terlalu lama berada di rumah Tara.

"Kita perlu bicara," Tara mencekal pergelangan tangan Kiara.

"Aku harus pulang, Mas. Ini udah sore banget. Besok aku mesti kerja." Kiara mengulas senyum.

"Sebentar, hanya sebentar." Tara merasa perlu membicarakan semua dengan Kiara.

Kiara berusaha tenang, kembali mendudukkan diri di samping Tara dengan batin yang terus merapalkan pengharapan jika semua akan baik-baik saja.

"Mas Bima mau bicara soal apa?" Kiara memberanikan diri menatap lurus ke mata Tara.

"Kenapa kamu malah bertahan dan masih mau ngerawat aku? Bukankah yang udah aku lakuin kemarin itu merusak semuanya?" Tara menyampaikan lagi apa yang dia pikirkan.

Kiara tiba-tiba menunduk, memainkan kuku jarinya. Tak dipungkiri besar rasa kecewa yang ia rasakan, namun bukan berarti perasaanya pada Tara ikut berubah secepat itu. Ia coba menetralkan gejolak di batinnya sekarang ini, jika bisa ia ingin sekali memaki pria yang dengan brengseknya meninggalkan dirinya tepat saat hari pernikahan mereka. Tapi apa daya, hatinya telah menguasai semua, rasa cintanya pada Bimantara Putra terlalu melekat kuat hingga Kiara lebih memilih menutup mata akan apa yang terjadi kemarin.

"Karena aku yakin Mas Bima hanya khilaf kemarin. Mas Bima nggak berniat buat ninggalin aku. Kita udah saling kenal. Bahkan lebih dari setahun, meski awalnya karena perjodohan, tapi pada akhirnya hati aku beneran memilih Mas Bima buat menetap." Kiara masih menundukkan wajah menahan malu, ini pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya secara lugas pada seorang pria.

"Kamu?" Tara seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Iya, waktu Papa bilang pria yang mau dijodohin sama aku setuju sama perjodohan itu, terus pertama kali ketemu, aku bahagia banget pas ternyata orang itu Mas Bima, kakak kelas yang diem-diem udah lama aku suka." Kiara tersenyum ketika mengingat awal perjodohan mereka, Tara masih terdiam ingin mendengarkan semuanya sampai selesai.

"Awalnya aku kira semua bakalan baik, hingga kemarin jujur aku merasa bahagia banget sebentar lagi mau nikah sama Mas. Tapi, semua ternyata belum waktunya." Kiara tersenyum miris di akhir ucapannya.

"Awalnya aku mau bilang ini pas Mas Bima udah jadi suami aku. Tapi, ternyata Mas Bima milih pergi tanpa kasih tau aku apa-apa." Suara Kiara semakin lirih.

"Maaf," Ucap Tara dengan menatap lekat pada Kiara. Tara tak menyangka jika perasaan Kiara sedalam itu padanya.

Awalnya Tara hanya menerima perjodohan karena desakan sang Papa yang berhutang janji dengan sahabatnya. Tara tak pernah tau sebelumnya jika gadis yang akan dijodohkan dengannya adalah adik kelas yang ia kenal selama sama-sama menjadi anggota OSIS di tingkat SMA. Setelah ia bertemu Kiara, semuanya mengalir. Tara merasa Kiara layaknya sahabat baginya, tempat berbagi suka duka tanpa ada kata cinta. Hingga puncaknya ketika sang papa masuk rumah sakit dan memintanya untuk segera menikah, Tara hanya bisa pasrah. Ia kira cinta akan hadir ketika mereka sudah menikah, tapi semua berubah ketika tanpa disangka sebuah liontin menyadarkan Tara akan perasaan yang selama ini tersamarkan.

"Mas enggak perlu minta maaf. Mas enggak salah, tapi aku pun juga ingin memperjuangkan cinta aku." Kiara beranjak menghirup serta mengembuskan napasnya pelan, kemudian melanjutkan perkataannya ketika sepenuhnya ia berdiri menghadap Tara.

"Aku akan menunggu Mas, kapan aja Mas Bima mau kembali. Kiara pulang," Ucapan terakhir Kiara sebelum hilang di balik pintu. Ucapan yang membuat pikiran dan perasaan Tara semakin kacau.

***

"Kok belum tidur?" Suara sang Mama membuat Tara tersadar dari pikirannya.

"Belum, Ma." Tara menggeser sedikit posisinya agar Risa bisa leluasa duduk di sebelahnya.

"Kamu mikir apa Mas?" Risa membelai lembut rambut putranya.

"Entah, Ma. Bima bingung." Tara perlahan memindahkan kepalanya ke atas pangkuan Risa.

"Fokus ke kesehatan kamu dulu, Mas. Kalau kamu sehat, semua bisa di atasi. Apapun itu, pikirkan dengan kepala dingin. Kamu udah dewasa dan Mama yakin kamu bisa tahu apa yang baik buat kamu." Risa mencoba menenangkan pikiran Tara. Bukan ia tak tahu apa yang puteranya pikirkan, ia bahkan berada di depan kamar Tara dan mendengar semua percakapan anaknya dengan Kiara sore tadi. Sungguh permasalahan hati yang rumit.

"Hm," hanya deheman yang Tara sampaikan sebagai respon. Usapan lembut tangan sang mama membuat Tara merasa rileks dan tanpa sadar perlahan terpejam.

Tak lagi mendengar suara Tara membuat Risa menatap pada wajah tenang Tara yang kini terpejam. Risa berharap jika permasalahan yang menimpa sang putera akan dapat teratasi dengan baik dan tak menyakiti siapapun, meski ia sendiri tak yakin jika tak ada yang akan tersakiti nantinya.

"Semoga kamu bertemu dengan jodoh terbaikmu, Mas." guman Risa berdoa yang terbaik untuk Tara memindahkan kepala sang putera perlahan pada bantal, membiarkan Tara beristirahat dengan harapan puteranya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

...

Rasa (Ketika Hati Telah Bicara) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang