Bagian 16

1.1K 226 16
                                    

Jalanan ibu kota nampaknya sedikit bersahabat akibat guyuran hujan yang cukup deras, membuat kendaraan roda dua yang biasanya berjejal lebih memilih menyingkir daripada menerobosnya.

Riuh air yang turun, berkebalikan dengan suasana dalam mobil hitam yang kini mengantarkan Sasa menuju stasiun Pasar Senen. Sejak masuk dalam mobil hingga sekarang, tak ada seorang antara mereka yang buka suara. Sasa yang hanyut dalam pikirannya sendiri, sedang Raksa sendiri fokus dengan jalanan yang jarak pandangnya kian terbatas.

"Sampai." suara Raksa memecah keheningan.

"Ha?" Sasa mengedarkan pandangannya keluar jendela, Ternyata mobil Raksa telah berhenti tepat di parkiran stasiun.

"Kamu tunggu sebentar." Sebelah tangan Raksa menggapai jok bagian belakang mobil.

Setelah mendapatkan apa yang pria itu cari, Raksa segera keluar dan sedikit berlari menuju pintu penumpang tempat Sasa berada untuk membuka pintu.

"Ayok, mana ranselnya biar aku bawa," ucap Raksa seraya mengambil alih ransel yang semula berada dalam pangkuan Sasa, kemudian mengantar Sasa menuju tempat tunggu. Masih ada tiga puluh menit untuk Sasa menyiapkan boarding pass dan identitas dirinya.

"Makasih," kali ini ucapan Sasa benar-benar tulus.

"Hati-hati. Kamu masuk dulu sana, keretanya udah mau datang. Jangan lupa kabari kalau udah sampai, biar aku suruh sopir jemput kamu nanti. Habis itu, giliran aku jemput kamu ke pelaminan." Raksa menunjukkan cengirannya yang kemudian dihadiahi geplakan keras di pundak.

"Raksasa! Bisa serius nggak sih kamu?!" Sasa melotot ke arah Raksa.

"Bisa. Tinggal kamu bilang iya, aku langsung lamar ke Mama. Udah sana, asem dari tadi ngliat orang yang belom bisa move on." Raksa mendorong pelan tubuh Sasa dari belakang.

Saat Sasa telah menghilang di antara kerumunan penumpang yang mulai memasuki peron, Raksa menghela napasnya pelan, berbalik menuju mobilnya.

Tak langsung pulang, Raksa memilih berdiam diri sejenak dalam mobil. Meraih buku agenda dari dalam dashboard, kemudian membuka sebuah foto yang terselip diantara halaman.

"Kenapa dari sekian banyak orang yang mempunyai kemiripan, harus dia yang punya wajah mirip sama kamu. Aku menyukainya, bukan karena kalian yang mirip. Tapi karena aku merasakan hal yang berbeda dari enam tahun lalu, Na." Raksa memandang lekat potret di tangannya, menumpahkan kegundahan belakangan yang membuat hatinya tak nyaman.

Ya, Sasa memiliki wajah yang hampir mirip dengan kekasihnya yang telah tiada. Namun bukan itu yang membuat Raksa tertarik pada Sasa, melainkan Sasa berhasil membawanya tanpa sadar keluar dari kelam kesedihannya selama ini. Sasa yang unik, Sasa yang apa adanya.

Raksa meletakkan kembali foto itu dalam buku agenda itu dan mengembalikannya dalam dashboard.   Menarik napas dalam, kemudian melajukan mobilnya membelah gerimis yang tersisa.

***

Kereta yang perlahan berjalan, membuat Sasa sedikit bisa bernapas. Sejak berangkat dari rumah, pikirannya dipenuhi dengan nama Tara. Pria yang melambungkan hatinya namun dalam sekejap menghempaskannya sampai ke dasar. Namun tak dipungkiri, masih terselip rasa untu Tara dalam sudut hatinya yang entah sampai kapan akan bertahan.

Ada yang mengganjal dari pertemuan tadi, seharusnya anggota keluarga mereka telah bertambah, namun tak Sasa temukan wanita lain selain Risa dan Mika. Apa yang terjadi?

Teringat pikirannya sudah terlampau jauh, Sasa gelengkan kepalanya pelan untuk menghalau ingatannya. Tidak, jika ia ingin menyembuhkan diri, maka ia tidak boleh lagi menatap pada Tara apapun yang terjadi. Sebaiknya ia tidur agar esok bisa kembali bekerja dengan pikiran yang segar.

Rasa (Ketika Hati Telah Bicara) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang