1. Dibanding-bandingkan💔

77 12 5
                                    

"CONTOH ITU KAKAK KAMU ARDAN, DIA PINTAR JUGA BISA MEMBANGGAKAN PAPA, GAK KAYAK KAMU! TIDAK BERGUNA!"

Aurel memejamkan matanya, hatinya sakit saat lagi-lagi Papanya membanding-bandingkan dirinya dengan sang kakak. Aurel mengakui jika dirinya memang bodoh, tapi apakah pantas Beni mengatakan hal seperti itu? Ia terdiam sembari meremas kertas ulangan yang bernilai dua puluh lima dalam mata pelajaran matematika. Memang, otaknya tidak bisa secara cepat untuk memahami rumus-rumus itu apalagi ia juga tidak menyukai pelajarannya.

Gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan, lalu menatap Beni dengan sendu. Apakah pernah Papanya itu melihat perjuangannya mati-matian dalam mempelajari mata pelajaran itu? Apakah Beni pernah tahu saat Aurel terus memaksa menghafalkan rumus-rumus hingga mimisan? Sepertinya tidak, perjuangan Aurel untuk mendapat nilai sempurna sepertinya tidak ada nilainya di mata sang Papa.

"Aku udah bilang sama Papa, aku gak bisa dalam bidang seperti ini, Pa!" tanpa sadar Aurel berucap dengan suara yang sedikit meninggi. Hal itu membuat Beni naik pitam, karena Aurel sudah mulai membantah ucapannya.

Plakk

Aurel menatap Beni dengan penuh kekecewaan. Gadis itu lantas tersenyum meremehkan dan menyobek kertas ulangannya di depan sang Papa.

"Percuma aku bilang ini, itu. Papa gak akan pernah rasain rasanya jadi aku. Papa cuma mentingin prestasi, prestasi, dan prestasi. Aku capek, Pa."

Setelah mengucap kalimat itu, Aurel berlari menuju kamarnya dan menangis di dalam sana.

Baru kali ini ia merasakan ditampar oleh seorang Papa. Dirinya kecewa sekaligus marah, lebih tepatnya marah kepada dirinya sendiri yang masih belum bisa membanggakan kedua orang tuanya. Aurel sendiri juga tidak berharap lahir dengan keadaan otak yang sedang, ia ingin seperti teman-temannya yang bisa dengan santai memahami mata pelajaran tanpa begadang. Setiap kali Aurel memaksa dirinya untuk mempelajari sesuatu yang menurutnya sulit, gadis itu akan mimisan.

Menjadi Aurel bukanlah hal yang mudah, apalagi seluruh keluarganya terkenal dengan otak mereka yang cerdas. Tidak seperti dirinya yang bodoh. Kadang Aurel malu mengakui dirinya sebagai keluarga besar Airlangga, keluarga yang terkenal dengan otak mereka yang di atas rata-rata apalagi kakeknya yang berhasil menguasai saham-saham ternama berkat kejeniusan beliau.

Aurel menarik nafasnya dalam-dalam, ia mengambil sebuah buku dan mulai menghapal rumus-rumus di hadapannya. Kepalanya sedikit pusing  saat melihat deretan angka, ingin sekali ia mual. Katakanlah dirinya lebay, tapi memang seperti itu yang kini ia rasakan.

Baru saja Aurel hendak memejamkan matanya guna menghapal rumus itu tapi tiba-tiba hidungnya mengeluarkan setetes cairan kental berwarna merah. Darah itu menetesi bukunya. Gadis itu refleks berlari ke arah kamar mandi yang berada di pojok kamarnya guna membersihkan cairan itu, ia menatap pantulan wajahnya di depan cermin saat darah itu tak lagi keluar dari dalam hidungnya.

"Kapan Papa bisa ngertiin perasaan aku?" gumamnya.

Aurel keluar dari kamar mandi lalu mengambil buku gambar dan sebuah pensil, ia duduk di sofa yang berada di balkon kamarnya. Gadis itu mulai membuat gambaran dengan asal tapi memiliki hasil yang sangat bagus. Yap, Aurel memang berbakat dalam bidang seni apalagi menggambar, hanya saja Papanya tidak pernah mau menyuruhnya untuk mengembangkan bakat itu.

Jika orang mengetahui arti dalam gambaran Aurel, mungkin orang itu akan merasa beruntung. Dari gambar itu memiliki arti, kekangan. Aurel merasa terkekang berada di sini, ia juga merasa tidak berguna untuk tinggal bersama orang-orang yang tidak se frekuensi dengan dirinya.

"Bukan hal mudah untuk menjadi seperti apa yang mereka minta."

*******

GARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang