Prolog

97 9 6
                                        

Dini hari. Suasana taman rumah sakit tampak sepi, rintik hujan masih membasahi bumi disertai sapuan angin yang menambah hawa dingin.

Elina menatap jari manisnya yang tersemat cincin pemberian orang yang sampai detik ini masih memenuhi relung hatinya.

Haruskah Elina menyerah?

Segala cara sudah dia lakukan untuk mendapatkan balasan atas perasaanya. Hasilnya? Nothing. Semua perjuangan Elina seolah tak kasat mata dan dianggap kesalahan.

Semua orang menyalahkan Elina atas cinta yang perempuan itu miliki. Elina hanya jatuh cinta, apa itu salah?

Membuang napas berat Elina melepas cicin yang sudah lebih dari tujuh tahun tersemat di jari manisnya. Di belakang Elina ada kolam ikan yang ditengah nya ada air mancur, tanpa berpikir panjang Elina melempar cincin itu.

Tiga detik kemudian Elina menyesali perbuatanya, cicin itu memiliki banyak makna dan kenangan. Kenapa dengan gampanya dia membuang cincin itu? Ya Allah. Sebenarnya sedang apa dirinya ini? Kenapa labil sekali?

Katakanlah dia labil, Elina memenaiki kursi yang ia duduki sedari tadi.

Tadinya Elina hanya ingin menikmati angin malam sebelum kembali menunggu laki-laki yang sangat berharga dihidupnya membuka mata. Tapi Elina malah merenung dan melakukan hal konyol yang sangat ia sesali.

Sudah lebih dari 5 jam dia belum mau membuka mata. Saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu dada Elina sangat sesak, kenapa dia sampai melakukan hal kelewat batas lagi hanya demi cinta?

Kenapa?

Elina menghembuskan napas, tanpa sadar dia melangkahi kursi dan berdiri di pembatas kolam ikan yang ada di taman rumah sakit, udara dingin menembus baju tipis yang Elina kenakan tapi perempuan itu tidak menghiraukan dan tampak menikmati udara dingin di pagi hari ini. Kedua tangan ia rentangkan sembari menghirup udara banyak-banyak berharap rasa sesak didadanya mereda.

"Hei, istighfar! Kalau mau bunuh diri jangan disini nggak akan mati!"

Teriakan kuat dari seorang dibelakang Elina sontak saja membuat perempuan itu kaget bukan main, akibat tidak bisa menyeimbangkan diri Elina jatuh tergelincir ke bawah dengan tidak elit, pergelangan kaki terasa sakit pantat mencium lantai dengan keras.

Elina menghela napas kesal, bisa-bisanya dini hari ada orang teriak-teriak kaya di hutan!

"Astaga! Gue masih punya banyak dosa belum ada niatan buat nambahin dosa dengan cara bunuh diri disini!"

"Syukurlah kalau tidak jadi bunuh diri saya lega dengarnya!"

"Lega your head! Nenek-nenek yang lagi live tik-tok juga tahu terjun dari sini nggak akan mati!" Elina menggerutu kesal, "Seengaknya tolongin gue kek, sakit nih pergelangan kaki gue. Gue nggak bisa berdiri, terkilir."

"Sebentar, kita bukan mahram saya tidak bisa menyentuh kamu," pria itu bergumam lirih namun Elina mendengarnya.

"Astaga! Segitunya?! Gue butuh pertolongan, lagian gue begini karena siapa?" Elina melotot kesal pada pria itu. "Elo 'kan?!"

Pria itu menatap Elina yang meringis kesakitan, sykurlah apa yang dia pikirkan tidak sesuai.

"Apa sakit?"

"Sakitlah! Malah ditanya lagi bukanya tolong!" Nada bicara Elina meninggi. Laki-laki itu ikut duduk lesehan bersama Elina.

"Mau ngapain lo?" Tanya Elina saat laki-laki itu bersiap untuk mengurut kaki Elina yang terkilir.

"Mau ngurut kaki kamu, memangnya apalagi?"

"Heh! Katanya bukan mahram! Jauhin tangan lo!"

Elina heboh sendiri. Dia sangat anti sama yang namanya urut-mengurut. Menurutnya sangat sakit, kalau salah urat gimana?

"Diem dulu, kalau banyak gerak tambah sakit."

"Heh ini sakit sok-sok bisa urut lo ya? Kalau salah urat gimana?"

"....."

"Astaga kaki gue lo apain?!"

Kretak..

"Kakak kaki El sakit!"

Tanpa malu Elina menjerit. Suasana taman rumah sakit sangat sepi hanya ada beberapa perawat yang terkadang lewat.

"Gue tuntut lo biar masuk penjara! Asal lo tahu Kakak gue pengacara!"

Elina semakin histeris mengancam laki-laki itu. Sedangkan yang diancam santai saja seolah ancaman Elina hanya angin lalu.

Kretak..

Lagi. Ya Allah, demi Hinata yang sedih ditinggal Naruto. Ini kaki udah nggak karuan rasanya..

"Lo.. bener-bener." Elina menunjuk pria itu dengan penuh perhitungan, "Kalau sampai kaki gue tambah parah lo harus tanggung jawab. Gue enggak mau tahu!"

"Coba gerakin kaki kamu."

"Sakit woi. Udah tahu kekilir kaki gue."

"Pelan-pelan, masih sakit enggak?"

Dengan ragu Elina menggerakan kaki kanan nya. Sudah lumayan mending, tidak terasa sakit seperti tadi.

"Gimana?"

"Udah enakan."

"Syukurlah. Gimana?"

"Apanya yang gimana?"

"Tanggung jawab."

"Siapa?"

"Saya."

Elina menautkan alisnya bingung.

"Saya perlu tanggung jawab tidak?" Tanya laki-laki itu dengan raut wajah serius.

"Huh?" Elina masih belum paham.

"Tadi kamu menuntut tanggung jawab. Saya bersedia."

"Bersedia ngapain?" Tambah ngawur orang di depannya ini.

"Menikah dengan kamu."

•••

Welcome di cerita Elina.


Ada yang inget dia ini siapa?

4 tahun lalu Elina ini jadi antagonis di cerita Imamku.

Semoga aku bisa menyelesaikan kisah Elina, udah terlalu lama nih ada di draft.

And then, hei anonim. Baru kenal kok udah mau tanggung jawab aja.

Kira-kira Elina jawab apa nih?

Jangan lupa vote dan komentarnya ya.

See ya in the next chapther ^o^

Instagram : @soviia02

Hello, ElWhere stories live. Discover now