20.

6.8K 317 29
                                    


Lima belas tahun lalu, seorang Shanti Nayla yang baru memasuki semester dua perguruan tinggi, sedang bangga pada diri sendiri. Ia baru saja lolos tes menjadi seorang penulis lepas yang mengisi rubik-rubik feature di media cetak dan portal berita daring. Ia bangga pada dirinya, pada pencapaiannya, dan pada kemampuannya menulis. Meski hanya sebagai freelance yang dibayar sesuai jumlah tulisan yang dimuat, bagi Shanti hal itu tetaplah kebanggaan. Ia akan melihat namanya tercantum di media meski hanya satu kata (Shanti).

Pencapaian itu membuat Shanti memiliki impian tinggi. Ia ingin menjadi penulis lepas yang terbang keliling dunia dan mengabadikan keindahan setiap tempat dan budaya melalui kata. Informasi adalah hal menarik bagi setiap manusia. Shanti akan menjual setiap informasi tentang alam, budaya, wisata, kuliner, hingga menganalisis bagaimana peluang untuk berbisnis di berbagai tempat. Menjadi penulis lepas yang terbang dari satu tempat ke tempat lain, pastinya akan membangun jaringan yang luas dan membuat koneksi yang kuat. Ah, Shanti yakin seyakin-yakinnya, jika langkah ini adalah batu loncatan besarnya untuk menjadi hebat.

Ia memang tidak berpegian untuk membuat tulisan. Tulisan yang buat saat ini, masih seputar informasi acara-acara bergengsi universitas di sekitaran Jakarta, juga tentang dunia remaja. Tulisan sederhana yang membuatnya lolos tes hanyalah review makanan kantin-kantin fakultas unversitasnya yang menginformasikan kepada pembaca jika ingin menikmati makanan rasa hotel mewah dengan harga rumah kos.

Shanti bangga, bahagia, dan memiliki pandangan masa depan yang cerah. Semua itu membuat nya fokus belajar, bekerja, mengembangkan kemampuan menulisnya, juga memperluas jaringan perkenalan. Tak ada percintaan di masa kuliah karena ia enggan menghabiskan waktu untuk merana akibat cinta.

Hanya saja, ternyata hidup tak melulu seperti apa yang terbayang dalam pikiran manusia. Ya, Tuhanlah pemilik segala yang ada di tata surya dan seisinya, termasuk Shanti dan hidup wanita ini. Mana sangka setelah beberapa tahun bekerja di pabrik kardus besar, ia dilamar dan menikah. Segala bayangan cita-cita tinggi itu punah perlahan dan kini ia sesali sendiri.

"Kalau dulu gue gak terima lamaran Wisnu dan pilih pacaran aja, gue bisa setidaknya keliling Asia untuk hafing fun pake duit sendiri. Gak ujug-ujug nikah, hidup di rumah petak dan super hemat demi beli perabot dan biaya hidup berdua." Shanti menghela napas panjang sambil menerawang lagi masa lalunya. Entahlah, ini namanya penyesalan atau hanya pelampiasan dari rasa kecewa yang tengah ia dapatkan.

Ika yang siang ini mendatangi Shanti di kediaman orangtuanya, hanya bisa berdecak prihatin campur gemas. "Lo itu nyesel atau gimana, sih? Seinget gue, ya, waktu lo habis nikah, isinya senyum mulu setiap waktu. Bikin eneg yang lihat. Udah gitu, tiap gue main ke kontrakan lo pas Wisnu gak ada, yang gue lihat cuma leher sama belahan dadalo yang banyak cap milik Wisnu. Gitu lo mau pacaran dulu? Idih, gak bayangin deh gue. Bener udah Wisnu langsung kawinin lo kalo dianya udah kelihatan ngebet gitu dulu."

"Kami menikah muda banget, Ka. Umur 24, loh, kita putusin untuk rumah tangga. Ke sininya, gue jadi kaya mikir sendiri. Apa sih yang kita dapatin dari nikah muda? Apa bedanya kalau andai gue tunda sampai usia gue 27 dan selama menunda itu gue bisa eksplor diri gue sepuasnya." Shanti mengambil es jus jambu yang ibunya suguhkan untuk mereka. "Gue penat banget, Ka. Saat wanita-wanita usia gue udah mulai menapaki hasil kerja keras mereka, gue apa? Hidup gue isinya Cuma ngomel, ngomel lagi, ngomelin anak-anak lagi. Kaya ... apa ya? Kaya gue ini gak ada pencapaian baik dalam hidup gue."

Ika menoleh pada sahabatnya. "Gak ada pencapaian gimana? Itu lo rumah udah punya, Nyai! Mobil juga. Anak dua pula! Gue, anak baru satu, rumah baru aja beli dan itupun dibantu mertua gue. Sedang lo, semuanya kalian perjuangkan sendiri."

"Mobil lo CRV, Njir. Jangan kufur!" tegur Shanti. "Mobil gue mobilio. Harganya separo mobil elo." Shanti tertawa miris campur geli.

"CRV ini rejeki gue setelah sepuluh tahun lebih berkutat dengan serius di bisnis MLM ini. Lo mungkin merasa rendah diri karena mobil kita kastanya beda. Lo gak tahu aja kalau gue pernah ada di titik rendah diri gue dulu. Saat kalian, lo dan temen-temen kita pada kerja di perusahan keren, sedang gue gak dapet-dapet kerja padahal udah kirim lamaran sampe kesel sendiri." Kali ini, Shanti menoleh kepada Ika yang menerawang dengan wajah serius. "Gue terjun ke MLM ya karena udah desperate, Shan. Udah pusing karena lama nganggur dan gak ada dapet panggilan. Kalaupun dapet, ya gak keterima. Gue sampe mikir, sebego apa sih gue sampe susah banget dapet kerja? Lo gak butuh waktu dari wisuda sampe ke pabrik kardus. Temen-temen kita juga sama. Sedang gue, enam bulan di rumah aja mainin jobstreet, jobsdb, sama lowongan Kompas sampe eneg tapi gak ada hasil. Rasanya kaya gue gak ada guna kuliah sampe sarjana."

Kisah Klasik Hari Ini ( Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang