9.

1.9K 293 7
                                    

"Mami masih marah?"

Shanti masih bungkam tiap kali Wisnu mengajaknya bicara. Padahal, ini sudah lima hari sejak pertengkaran mereka sepulang acara pernikahan Herman. Awalnya Shanti hendak mengalah dan melakukan gencatan senjata perang dinginnya bersama Wisnu. Hanya saja, telepon dari Sazkia di hari kedua mereka bertengkar, membuat Shanti jadi urung berdamai. Bahkan hingga di Jumat malam ini.

"Papi gak ada hubungan apa-apa sama Sazkia, Mi." Sekali lagi, Wisnu menjelaskan hal yang sama pada istrinya. Pria ini sudah berkali-kali mencoba bicara, tetapi gagal karena Shanti memilih pergi dan duduk di meja komputernya dengan headset yang menutup telinga. Enggan membuat gaduh dan mengganggu anak-anak mereka, Wisnu pilih mengalah.

"Mi, besok belanja?" Sekali lagi, Wisnu mencoba peruntungan.

Shanti yang sejak tadi sok fokus pada televisi, melirik sinis suaminya. "Besok Sabtu. Papi kerja," jawabnya dengan nada sindir, "pulangnya kencan sama masa lalu yang sama-sama manager."

"Astaghfirullah, Mi," ucap Wisnu pelan dan lembut. Anak-anak sudah tidur. Jadi, jangan sampai pertengkaran mereka menggangu lelap Ryan dan Bayu. "Coba, sebutin apa alasan yang memungkinkan Papi selingkuh sama Sazkia?" pancing Wisnu seraya bergeser hingga tubuh mereka tak lagi berjarak. Duduk bersila di depan tivi, di atas kasur palembang, di rumah mereka yang hanya satu lantai namun selalu terasa nyaman bagi Wisnu. Apalagi, bersama istrinya yang kadang-kadang tak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya.

"Banyak!" Shanti merentangkan kedua tangannya, hingga Wisnu mau tak mau memundurkan sedikit tubuhnya. "Sazkia cantik, single, badannya ramping, tidak seperti Mami yang pipinya aja ngembang kaya bakpau. Asal Papi tahu ya, sebelum lahirin anak-anak Papi, Mami tuh cantik banget!"

"Tahu, kok," jawab Wisnu santai dan lembut. "Makanya Papi jadi demen sama Mami."

Lirikan Shanti pada Wisnu jadi semakin sinis. "Owh ... jadi dulu karena Mami cantik, gitu? Bukan karena Mami menarik, pintar, punya karir bagus di pabrik kardus, atau ... apapun lah alasan Papi selain fisik. Sekarang, coba Papi lihat Mami. Mana cantiknya Mami? Perut Mami buncit, susah langsingnya. Pipi Mami juga melar. Badan Mami naik hampir 20 kilo dari waktu kita saat pertama nikah. Sekarang Mami tanya, Papi masih tertarik sama Mami? Enggak, kan? Karena Sazkia muncul lagi di hidup Papi. Badannya kinyis-kinyis, cantik, kulitnya terawat, gayanya high class. Beda sama Mami yang cuma mampu beli kosmetik dagangan Ika pake harga member pula."

Wisnu tak menjawab ocehan panjang lebar Shanti. Pria itu menatap lekat wajah istrinya dengan binar mata yang dalam dan penuh berjuta arti. Sebenarnya, diperlakukan begini saja Shanti sudah berdebar. Jantungnya berdegup kencang dan ada desir hangat yang membuatnya ingin memeluk Wisnu, lalu menumpahkan segala resah yang menggunung di pikiran wanita itu.

Hanya saja, ada ego dan harga diri yang ingin ia pertahankan demi menjaga posisi dan kekuatannya di depan Wisnu. Ia tak ingin berlagak seperti istri penurut yang pasrah dianiaya suami. Wanita jaman sekarang punya kekuatan dan hak untuk dicintai dengan baik. Jadi, jika sedang bertengkar seperti ini, agak berkeras hati tak apalah sekali-kali.

"Papi ngapain diem aja sambil lihat-lihat Mami?" tanya Shanti dengan wajah menantang. Padahal, hatinya berdebar dan mati-matian menjaga sikap agar tak salah tingkah.

"Ada uban di rambut Mami," jawab Wisnu seraya fokus mengamati rambut Shanti yang dicepol asal. "Papi baru tahu, kalau uban bisa muncul di usia awal 30an."

Shanti terperanjat. Dengan cekatan, ia berdiri dari duduknya di kasur palembang, lalu berjalan cepat memasuki kamar. Ia mengamati setiap helai rambut melalui cermin dengan mata yang tajam dan hati yang khawatir dan panik.

Tanpa ia sadari, Wisnu menyusulnya masuk kamar, lalu mengunci pintu. Pria itu mendekati istrinya dan memeluk Shanti dari belakang. "Apa tadi Papi salah lihat, ya? Mungkin tadi itu bukan uban, tapi pantulan cahaya lampu di rambut Mami yang indah ini. Jadinya Papi kira uban, padahal bukan," ucap Wisnu seraya merekatkan pelukannya pada Shanti dari belakang, lalu wajahnya mulai menyuruk di tengkuk Shanti.

"Gak usah dusel-dusel," tolak Shanti ketus, tetapi gerak tubuhnya justru meminta Wisnu melakukan hal lain, yang mereka sukai. Shanti bahkan tak sadar mendesah saat Wisnu mencoba meninggalkan sedikit jejak di ceruk lehernya.

"Mami cantik," puji Wisnu seraya berbisik. Suara pria itu berat dan terdengar ... sensual. "Gak ada yang bisa bikin Papi horny selain Mami," akunya tulus dengan gerak tangan yang mulai menjamah bagian-bagian yang Shanti klaim berukuran lebih besar sejak melahirkan anak mereka. "Mau Papi jelasin pelan-pelan? Naik kasur dulu," pinta Wisnu persuasif seraya menarik pelan Shanti agar mereka menaiki ranjang.

Setelah semuanya sesuai yang Wisnu harapkan, pelan-pelan pria itu membuka kancing gaun rumahan yang Shanti kenakan saat ini. "Mami cantik. Paling cantik di rumah ini dan di hati Papi." Wisnu memulai ajakan gencatan senjatanya dengan mencium sekilas pipi Shanti. "Pipi Mami memang chubby, tapi itu yang bikin Papi gemes pengen cium-cium terus."

"Alasan," elak Shanti seraya membantu suaminya melepas gaun rumahan yang ia kenakan. "Soal uban tadi, Papi bohong, kan?"

"Tapi soal Mami cantik, Papi serius, Mi," tukas Wisnu seraya menggoda leher hingga pundak istrinya. "Mau Sazkia secantik apapun saat ini, yang ada di pikiran Papi hanya Mami. Percaya, deh."

Sebenarnya Shanti ingin membantah dan mendebat Wisnu hingga ia yakin jika suaminya tak mungkin melirik Sazkia atau wanita lainnya. Hanya saja, gerak tangan Wisnu lebih cepat dan menggoda daripada kalimat-kalimat rayuan yang pria itu lontarkan. Jadi, saat ini ia menyerah saja dulu dengan keinginan Wisnu, karena ia sendiri juga menginginkan hal yang sama.

Ia rindu Wisnu. Sentuhannya, pemujaannya, dan bagaimana pria itu tampak sungguh mencintainya kala mereka benar-benar bersatu.

******

Siang ini Shanti sudah tampil cantik. Ia menghindari pakaian dengan aksen blink-blink, dan memilih kaus lengan siku dan celana jins saja. Wisnu berjanji mengajaknya keluar rumah sepulang pria itu kerja. Mereka akan berbelanja, dilanjut makan malam keluarga entah di mana.

Ryan dan Bayu juga sudah siap. Jadi, saat deru mobi bayu terdengar, berserta bunyi klaksonnya, anak-anak segera mengambil alas kaki mereka dan berlari memasuki mobil. Shanti menyusul setelah memastikan lampu teras depan menyala, jendela tertutup rapat dan pintu utama terkunci sempurna.

"Uban Mami gak kelihatan," goda Wisnu dari kursi kemudinya, seraya mengangsurkan satu gelas plastik minuman kesukaan Shanti. "Chatime," ucapnya seraya tersenyum manis, saat wajah Shanti kedapatan cemberut menerima godaannya. Pria itu juga mengambil dua gelas lain dan memberikan kepada anak mereka satu-satu.

"Gimana Mami gak gendut kalau gini terus Papi ke Mami," keluh Shanti, meski tangannya tetap menusuk sedotan dan meminum bubble drink kesukaannya dengan penuh semangat. "Aduh, segernya," pujinya dengan bahagia.

Wisnu mengulum bibirnya menahan tawa. Ia hapal betul, istrinya memang begini sejak mereka dekat dulu, hingga memiliki dua anak lucu yang lebih suka ribut dari pada akur. "Setelah belanja mau makan di mana?"

"Pizza!" jawab kedua anak Wisnu kompak.

Shanti tersenyum senang mendengar kekompakan suara kedua anak mereka. Wisnu pun sama. Ia tersenyum seraya menggerakkan persnelling, lalu memutar kemudinya menuju mall yang biasa mereka singgahi untuk menghabiskan akhir minggu.

Harusnya Shanti bersyukur dan tenang. Rumah tangganya baik-baik saja. Suaminya menepati janji setelah semalam mengajaknya belanja usai bercinta. Tak ada lagi wanita lain atau Sazkia, kan? Tak akan ada pihak ketiga dalam rumah tangga mereka, kan? Tak ada ya ... tak boleh ada!

*****

Kisah Klasik Hari Ini ( Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang