12.

1.9K 293 19
                                    


Jarum jam dinding menunjukkan angka sepuluh malam. Tubuh Shanti sudah terasa remuk redam, setelah sekuat tenaga mengurus makan Bayu yang sedang masa pemulihan setelah tiga hari mengkonsumsi obat. Saat ini, Ryan sedang mulai berada pada minggu-minggu ujian semester. Tugas si sulung banyak, begitu pun materi yang harus dipelajari.

Wisnu memang bukan tipikal orangtua yang menuntut hasil belajar maksimal dan membanggakan. Bagi Wisnu, Ryan sudah memahami konsep mata pelajarannya saja, sudah bagus. Sedang anak pertama mereka ini, masih membutuhkan pendampingan belajar di rumah. Jika dilepas saja dengan buku tematik dan matematika yang berbahasa inggris, bukannya belajar, Ryan justru asik menggambar di buku tulisnya.

Hanya saja, sudah sejak kemarin Wisnu pulang larut terus, setelah ijin 3 hari membantu Shanti merawat Bayu. Sebenarnya, selama tiga hari itu, hanya Wisnu yang mengurus Bayu. Pria itu tak sedetik pun meninggalkan Bayu, kecuali saat anak itu tertidur dan ia mandi. Shanti antara senang dan merasa salah. Senang karena ada yang membantunya mengurus anak, tetapi merasa tak enak pada Wisnu yang rela mengambil jatah cuti untuk menggantikan tugasnya sebagai ibu.

Jadi, alih-alih marah dan menyalahkan Wisnu yang selalu lembur, Shanti memilih tetap bertahan mengajari Ryan sambil sesekali menyelinap ke kamarnya yang menjadi tempat Bayu tidur.

"Sudah, Mi, Kakak capek." Ryan menguap setelah berhasil mengerjakan soal latihan terakhir. Shanti mengangguk, lantas mempersilakan anaknya ke kamar mandi untuk buang air kecil dan gosok gigi. Sedang wanita itu, terseok membereskan buku-buku Ryan sekalian menyiapkan apa saja yang harus bocah itu bawa ke sekolah esok pagi.

Shanti ingin mengeluh lelah sekali lagi. Namun, ia tak berani karena takut Wisnu akan kecewa lagi padanya. Cukuplah salah paham akibat Wisnu mendapatinya berdiri sambil memegang ponsel saat Bayu muntah. Berkali-kali Shanti menjelaskan bahwa hanya saat itu dia melepas Bayu dari gendongan, hingga Wisnu percaya dan tak lagi marah padanya. Menjadi istri memang semelelahkan ini. Shanti tahu itu. Ibunya bahkan selalu bangun dini hari demi membuatkan bekal sehat ayahnya yang seorang vegetarian. Ibu juga rela terus memasak sendiri karena ayah lebih suka kaldu jamur asli alih-alih yang buatan pabrik.

Lalu, jika memang seberat itu tugas istri, mengapa banyak wanita yang masih mendamba berumah tangga? Cinta. Shanti yakin jawabannya pasti cinta. Selain finansial yang dijanjikan para pria, cinta dan status selalu menempati alasan tertinggi mengapa wanita masih saja berharap menikah cepat dan segera memiliki anak. Kadang, Shanti tertawa sendiri saat ada gadis yang mendamba melayani suami dengan kata-kata romantis.

Gadis-gadis itu hanya belum tahu saja, bagaimana pria jika sudah merasa menjadi raja di istananya sendiri. Apalagi, jika ada anak yang lebih suka ribut daripada akur. Welcome to the world of the marriage. Saat engkau sedang asyik menikmati rujak buah, anakmu buang air besar dan tanganmu yang sejak tadi asik menikmati sambal gula aren, harus menerima kotoran. Saat tidurmu sedang menuju lelap demi mengumpulkan lagi energi untuk tubuh, anakmu bangun dan memintamu menggendongnya hingga subuh. Atau, saat kamu mendamba tas bermerek dengan model edisi terbatas, tabunganmu yang kamu kumpulkan dengan susah payah, harus hancur demi biaya berobat anak atau suami yang tiba-tiba tidak ada simpanan.

Shanti tahu, tidak ada romantisme abadi dalam rumah tangga. Yang ada, romantika rumah tangga berisi suka duka dan bermacam emosi di dalamnya. Wisnu pun tak pernah menjanjikan keindahan cinta bak kisah Cinderella atau dongeng cinta lainnya. Pria ini membuktikan cintanya dengan tanggung jawab dan perhatian yang cukup untuk istri dan anak-anaknya.

Hanya saja ... terkadang batas kekuatan manusia tidak melulu besar dan luas, bukan? Shanti sudah berusaha memahami bahwa menjadi ibu penuh waktu pasti menghabiskan banyak energi. Ia butuh seseorang yang membantu, melayaninya, dan ... menjadi sandarannya saat lelah begini. Ia ingin Wisnu, tetapi pria itu memiliki hal yang lebih krusial dari sekadar curhat pasutri.

Saat Ryan sudah terlelap, Shanti membawa dirinya menuju meja kerjanya. Ia membuka fail naskah novel yang harus ia selesaikan revisi tata letaknya. Ini sudah melewati batas tenggat yang ia janjikan. Untungnya orang penerbit memahami alasannya terlambat menyelesaikan pekerjaan. Saat matanya sudah diambang batas, deru mobil Wisnu terdengar. Shanti bergegas menutup komputer jinjingnya, lantas membuka pintu demi menyambut Wisnu.

Wajah pria itu kentara lelah. Terlihat juga dari caranya berjalan yang lunglai. Beginilah mencari nafkah. Pria selalu menukar kebahagiaan istri dan anak dengan tenaga dan waktu yang mereka jual pada dunia. Hati Shanti seketika terasa mencelus. Ia jadi semakin rendah diri dan merasa tak berarti sebagai istri. Hanya saja ..., ah entahlah ... Shanti ingin berkeluh kesah tetapi ....

"Udah makan, Pi?" tanya Shanti seraya menyambut Wisnu.

"Udah, tadi, beli burger drivethru makan di jalan. Papi capek banget, Mi. Mau tidur."

"Cuma makan burger? Gak laper lagi? Mami udah siapin mie kuah. Tadi beli mie kuah buat papi."

Wisnu menggeleng. "Papi mau tidur. Lain kali, kalau Papi pulang malam, gak usha disipain makanan. Mami fokus ke anak-anak saja." Wisnu meninggalkan Shanti, lalu berjalan ke kamar mandi.

Entah mengapa rasanya kecewa. Petang tadi, saat Bayu terlelap sebentar usai meminum obat, ia memacu sepeda motornya menuju depot mie kesukaan Wisnu dan Shanti. Demi menjadi istri yang baik, ia rela melakukan ini karena ingin Wisnu tak lagi melihat salahnya menjaga Bayu hingga bocah itu sakit. Saking semangatnya menaiki motor dalam kondisi lelah, tubuh Shanti sempat terjatuh dari motor dan menyebabkan kakinya memar sedikit akibat tertimpa badan motor. Namun tak apa, demi eksistensinya sebagai istri, demi cintanya pada Wisnu, dan agar rumahnya tetap memiliki sajian untuk disantap.

Sayang, Wisnu memilih berganti baju, cuci tangan dan kaki, lalu masuk ke dalam kamar dan menaiki ranjang untuk tidur memeluk Bayu erat. Pria itu tak sedikitpun meminta maaf tak memakan sajian Shanti, pun tak menoleh sedikitpun pada meja makan juga istrinya. Apalagi, menanyakan bagaimana wanita itu membeli makan di luar, padahal anaknya sedang sakit dan butuh perhatian.

Hati Shanti yang lelah, jadi sakit sendiri. Ia menarik kursi meja makan dan membuka bungkusan mie kuah yang sudha dingin itu. Merasa sayang buang uang dan makanan, Shanti lahap kembali porsi kedua, padahal ia sendiri sudah makan seja tadi.

Tanpa terasa air matanya turun lagi. Ah, perasaan sialan! Ini hal biasa dalam rumah tangga, bukan? Ketika istri lelah menyiapkan segalanya, sedang suami justru mengabaikan setiap pengorbanan. Namun, mengapa hati Shanti seakan tak terima? Wisnu tak pernah begini. Bagaimanapun kondisi tubuhnya akibat lembur, pria itu pasti sempat menikmati sajian Shanti, meski hanya secangkir teh hangat atau susu sebelum tidur. Bukan abai total dan meninggalkannya seorang diri begini!

Rasa mie yang selalu gurih ini entah mengapa mendadak pahit di lidah. Shanti tetap menghabiskan semangkuk mie itu, demi menghargai Wisnu yang memberinya uang untuk makan. Setelah berusaha keras menandaskan makan malam jatah suaminya, Shanti menyelinap masuk ke dalam kamar, mengambil bantal, obat gosok, lalu keluar lagi.

Ia meletakkan bantal di atas kasur palembang, duduk menyandar tembok dengan selipan bantal di belakang punggung, lalu melanjutkan tangisnya seotang diri sambil memijat anggota tubuhnya yang memar sakibat jatuh, juga beberapa titik lain yang etrasa pegal setelah seharian menggendong Bayu.

Jangan sedih, Shanti. Ini sudah biasa ... dan kamu harus terbiasa.

*****

Kisah Klasik Hari Ini ( Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang