19#Hottra

2.2K 469 78
                                    

"Kau yakin mau keluar hari ini?" Jinily bertanya dengan mata tak berkedip memandang Junali yang menjulang dihadapannya sedang mengenakan jaket tebal.

"Sudah lima hari aku dirumah, bahan makanan kita sudah habis tiga hari lalu, sudah tiga hari aku dimanjakan dengan jentikan jarimu, aku tidak ingin jadi pemalas!" Tutur Junali dengan suara serak.

Junali merapatkan resliting jaketnya dibarengi dengan batuk.

"Tapi kan kau tidak sengaja, aku mengerti, aku justru khawatir kau masih belum sehat benar, diluar juga cuaca masih kurang bagus!" Jinily berdiri dari tepi tempat tidur, menghampiri Junali lalu membenahi kerah jaket yang terlipat tak rapi.

"Uhuk!"

Junali menutup mulut dengan genggaman tangannya saat terbatuk. Memalingkan wajahnya dari wajah Jinily yang mendongak menatapnya.

Sudah lima hari tubuhnya tak nyaman. Terasa meriang, demam, batuk dan pilek.

Lima hari lalu saat ia pulang dalam keadaan basah kuyup, rupanya ia terlambat membilas tubuhnya karna keadaan didalam rumah yang harus ia selesaikan. Rumah yang gelap harus diberi penerangan. Mencari lilin tidak mudah dalam keadaan seperti itu. Atap rumah yang bocor membuatnya berpikir untuk naik keatas atap mencari sumber bocor. Belum lagi, meski ia tidak merasa direpotkan, Jinily menggigil ketakutan setiap kali petir menggelegar. Akhirnya ia berusaha menenangkan.

"Sudah jangan khawatir, ada aku!"

Meski tubuh Junali basah, Jinily seolah tak menyadarinya. Tubuhnya terasa menggigil terlebih petir seolah mempermainkan ketakutannya.

Cukup lama ia baru bisa tenang dan baru menyadari kalau Junali harus mengganti pakaiannya.

"Kau sudah tenang?"

Dalam remang Junali bertanya. Pelukan terlepas tapi tangan masih bertaut erat. Mereka tak saling bisa menatap dalam penerangan yang tak cukup saat itu. Penerangan yang didapat hanya pada saat langit diwarnai kilatan sebelum petir seolah membelah langit diatas atap yang bocor.

Tik.

Setitik air jatuh dari langit-langit kamar diatas mereka. Rupanya bocor mulai menjalar.

"Aku mencari lilin dulu!" Junali berkata seraya akan melangkah.

"Jun!"

Junali terpaksa menyeret Jinily karna ia tak ingin Jinily kembali menggigil setelah ia tinggalkan.

"Oh Tuhan!"

Dalam gelap, Jinily terhenyak. Junali tak jelas melihat ekspresinya tetapi ia bisa membayangkan raut Jinily saat mengucapkannya.

"Kenapa?" Junali bertanya. Netranya berusaha untuk menangkap cahaya dari yang ia tatap.

"Bukankah aku bisa menjentikkan jariku untuk mendapatkan lilin?"

Junali terdiam. Saking ketakutannya Jinily sampai lupa dengan kekuatannya. Atau juga gadis itu terlalu patuh padanya. Ia memang tidak memperbolehkan Jinily menggunakan jentikan jarinya. Ia ingin mereka hidup normal tanpa hal-hal yang aneh karna Jinily berasal dari tempat yang berbeda. Ia ingin Jinily beradaptasi didunianya. Dunianya memang bukan seperti dunia castil.

Sebelum peristiwa Jinily memergoki ibu tirinya, madam Jelita, melakukan ritual terlarang, ia adalah putri yang dimanjakan ayahnya. Apa-apa serba ada. Yang dikerjakannya hanya mandi, makan dan tidur saja. Sementara didunia Junali, ia ingin Jinily paham, hidupnya tak semudah itu. Ia tak ingin tergantung dengan kekuatan Jinily yang mungkin juga hanya sementara karna dikutuk.

"Harusnya kutukanku lenyap saat sudah melintasi perbatasan Castil, aku ingin menjadi normal kembali!" Tutur Jinily tentang inginnya.

Ia juga tidak ingin jadi perempuan aneh yang harus tidur didalam toples. Tetapi tidur didalam toples adalah satu-satunya cara. Tak mungkin ia dan Junali tidur dalam satu ranjang yang sama sementara ia juga tak ingin tidur dikamar lain yang asing.

HOT MANTRAWhere stories live. Discover now