9. scenario

806 141 25
                                    

"Chilla, tadi Mark tanya aku, kamu suka warna apa? Dia sedang membuat pita dengan anak-anak lain."

Suara Taeyong membuyarkan lamunan Chilla yang tengah mencuci piring di dapur. Ia segera mematikan keran dan mengelap tangannya dengan lap kering yang digantung di sebelah rak piring.

Mata Chilla berbinar "Ah, Mark sedang membuat pita? Aku suka warna ungu," jawabnya pada Taeyong yang lalu disambut anggukan oleh lelaki tersebut.

Semerbak wangi kaldu sapi memenuhi indera penciuman Chilla. Jinkyung datang membawa sebuah panci penuh berisikan sup iga. Wanita itu meletakkan panci tersebut di atas meja kompor lalu mengambil sarung tangan dan berjalan menuju Chilla.

"Nampaknya hari ini akan sedikit lebih sibuk dari biasanya. Aku baru ingat kalau besok adalah Hari Kanker Payudara Sedunia dan biasanya anak-anak membuat pita-pita berwarna merah muda untuk diberikan kepada para pejuang kanker payudara. Kalau besok Mark tidak ada kelas mungkin ia bisa mengajakmu untuk ikut dengan anak-anak pergi ke rumah sakit," jelas Jinkyung padanya.

Piring terakhir sudah bersih dicuci. Mereka berdua lalu beranjak menuju meja makan dan menyeruput secangkir teh hangat ditemani dengan makanan ringan. Tiba-tiba Jinkyung memegang tangan Chilla dengan lembut.

"Nak, apakah kau sudah mulai merasa lebih baik?" Matanya menatap perempuan berambut hitam legam itu dengan sendu. Tangannya yang lembut dan hangat membawa ketenangan bagi Chilla.

Chilla menggigit bibir bawahnya. Ia mengerjapkan matanya cepat, "A-Ah... Aku? Sedikit... Mungkin aku membutuhkan lebih banyak waktu untuk bisa pulih dan menerima diriku sendiri."

Jinkyung mengangguk pelan lalu mengusap punggung tangan Chilla, "Tidak masalah. Tidak ada yang perlu diburu-buru. Kemampuan setiap orang untuk pulih dari kejadian traumatis tidak bisa disamaratakan. Kau tidak perlu merasa bersalah bila masih belum bisa menerima kenyataan dan bangkit lagi. Sejatinya, memang setiap manusia sedang berjuang untuk sesuatu, apapun itu, baik yang kasat mata maupun tidak."

Wanita itu menghela nafas panjang dan berat sebelum kembali melanjutkan kata-katanya, "Dulu ketika suamiku meninggal, aku tak bisa bangkit dari kasur selama 2 minggu. Aku tidak bisa makan apapun selain bubur. Aku bahkan tidak bisa tidur. Namun Taeyong dan Mark telaten mengurusi diriku pagi dan malam, padahal mereka sendiri pun sedang berduka."

"... Yang mengetuk hatiku untuk kembali bangkit adalah ketika aku melihat Mark sore itu sepulang sekolah. Ia langsung ke dapur untuk menghangatkan bubur dan membuatkan teh untukku. Setelahnya, ia belajar untuk ujian akhir semester sampai pukul 9 malam. Aku pikir ia akan langsung bergegas tidur, namun tidak. Ia pamit padaku dengan gitar kesayangannya untuk pergi mencari uang tambahan dari stasiun ke stasiun."

Setetes air mata membasahi pipi kiri Jinkyung.

"... Saat pamit ia memberikan sebuah surat kepadaku karena tahu kalau aku sedang lemah dan sulit mengangkat tangan untuk berkomunikasi dengannya. Ia berkata, Mama tidak perlu khawatir. Aku sekarang sudah menjadi asisten praktikum di laboratorium sekolah. Aku juga mengajar fisika untuk adik-adik kelas yang membutuhkan. Mama jangan sedih. Aku sama kak Taeyong selalu ada untuk Mama. Kita hanya punya satu sama lain sekarang. Aku pamit pergi mencari uang dulu, Ma. Akhir pekan kita pasti bisa makan enak."

Jinkyung tak bisa menahan isak tangisnya. Bahunya bergetar. Kematian suaminya sudah pasti menjadi kejadian yang sangat membuatnya terpukul.

"... Lalu aku berpikir kepada diriku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya setelah ia pergi. Kalau Tuhan memberi anak bungsuku cobaan berat seperti itu dan ia bisa memperjuangkan hidupnya tanpa memperdulikan kekurangannya, lantas aku dengan badan yang sempurna tak punya alasan untuk tidak bisa bangkit dari keterpurukan."

Chilla termenung. Tanpa ia sadari, pipinya sudah basah karena air mata. Jarinya yang lentik mengelus pundak Jinkyung lalu memeluknya dengan erat. Mungkin ia kenal dengan wanita ini belum lama, tetapi pelajaran hidup yang didapatnya tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Entah apa yang Tuhan rencanakan untuknya sehingga ia dipertemukan oleh Mark, Jinkyung dan Taeyong seperti sebuah skenario drama. Bila ia diberi satu permintaan, ia ingin terlahir kembali dan hidup di tengah kehangatan yang mereka punya.

Jinkyung menarik badannya lalu mengusap sisa air mata yang ada di pipinya, "Chilla, bertemu denganmu bagaikan takdir yang sudah dituliskan Tuhan dalam skenario drama hidupku. Aku tidak tahu mengapa, tetapi setelah aku bertemu denganmu, aku merasa kau membuka kisah lama yang menjadi gertakan bagiku bahwa hidup ini akan selalu penuh dengan kejutan, baik itu yang menyenangkan ataupun menyedihkan..."

"—Tuhan memberi kita sebuah pensil dan selembar kertas saat kita lahir. Mungkin, takdir memang sudah digariskan bahkan saat kita belum merasakan kerasnya dunia, tetapi mungkin ada satu halaman di mana kita dibolehkan untuk menulis apapun itu dalam skenario hidup kita. Dan aku berpesan kepadamu, pikirkan baik-baik skenario yang akan kau tulis itu. Karena bagaikan sebuah film, kisah kita pada akhirnya akan menuju detik paling ujung. Jangan menyia-nyiakan kesempatan, pensil dan kertas yang engkau punya."

Lagi-lagi, Chilla dibuat bungkam olehnya. Lidahnya terasa kelu. Setiap kata yang diucapkan oleh Jinkyung selalu tepat menghujam jantung dan ulu hatinya. Meskipun sakit, tetapi ia merasa disadarkan kembali bahwa itu memang kenyataannya.

***

A/N : Hi semuanyaa maaf baru update krn baru sekarang ada waktu luang ㅠㅠ

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

If The Stars Are AlignedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang