8. sewing

1.1K 190 18
                                    

  Chilla terbangun karena suara alat berat yang sedang memperbaiki jalan. Matanya yang berat ia buka secara terpaksa. Sialan. Dirinya baru tidur 3 jam yang lalu. Benar-benar ia dibuat sakit kepala pagi ini.

  Perempuan itu jalan dengan terseok menuju kamar mandi. Menyalakan keran, ia mengusap wajahnya pelan sembari menatap bayangannya di cermin.

"Kalau kau ingin mengisi waktu luangmu, kau bisa ikut aku kegiatan bakti sosial setiap hari Minggu di gereja yang waktu itu kita kunjungi. Biasanya aku akan memasak untuk mereka para sebatang kara yang tinggal dengan pengurus gereja. Mungkin, dari situ kau bisa tahu apa artinya kehidupan dan betapa besarnya dunia."

  Dengan kondisinya yang masih rapuh seperti ini, jangankan untuk berinteraksi dengan orang, menginjakkan kakinya di luar saja ia enggan. Kalau bukan karena Mark Lee yang menolongnya waktu itu, sudah pasti dirinya bagaikan seonggok daging tak berguna di atas kasur. Terpuruk, menangis-nangis semalam suntuk.

  Tetapi, ada baiknya juga ia menghirup udara luar, berinteraksi dengan orang-orang baru yang belum pernah ia temui sebelumnya. Barangkali, hatinya bisa sedikit demi sedikit memaafkan diri sendiri sambul berjalannya waktu. Ia rasa, tak ada salahnya mencoba memperbaiki apa yang telah rusak. Toh niatnya bukan menghapus ingatan dan masa lalu. Apapun kesalahan yang telah ia perbuat akan selalu ada dalam memorinya.

  Ponselnya berbunyi di saat yang bersamaan kaki kanannya beranjak dari depan kaca. Dari Jinkyung.

"Selamat pagi Chilla, sudah bangun, Nak?"

Bibir merah mudanya merekah, "Baru saja aku bangun. Sebentar lagi aku akan kesana, oke?"

Ya. Mulai minggu ini iya akan menjadi sukarelawan di gereja tempat Jinkyung dan kedua anaknya beribadah. Jinkyung bilang, anak-anak di sana antusias sekali dalam hal apapun. Setelah dipikir-pikir, ada baiknya bila Chilla mengajarkan mereka bahasa Inggris. Perempuan itu sangat fasih berbahasa asing.

  Bagi Jinkyung, selalu ada ruang dan kesempatan bagi seorang manusia untuk berbenah diri. Ia percaya sebuah kesalahan tak mendefinisikan siapa orang tersebut sebenarnya.

***

"Jinkyung."

"Ya, Nak?"

"Aku ingin belajar bahasa isyarat."

  Wanita itu terpaku seketika. Ia menatap Chilla yang tengah menjahit baju secara saksama. Yang ditatap menoleh sembari tersenyum antusias.

"Boleh?"

Kedua mata Jinkyung berbinar, "Ya... Tentu saja boleh."

"... Kau tahu, ada beberapa anak di sini memiliki kondisi yang sama seperti Mark. Beberapa di antara mereka bahkan 'dibuang' oleh keluarganya karena terlahir dengan kondisi seperti itu. Tapi mereka semua tidak pernah putus asa. Mereka di sini selalu berusaha meningkatkan kualitas diri agar tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang di luar sana."

Hati Chilla serasa mencelos. Seperti baru saja dihantam sesuatu yang begitu berat dan keras, ia merasa tertampar—sangat tertampar. Realitanya di luar sana orang-orang berjuang sangat keras untuk bertahan hidup, tetapi ia dengan seluruh organ tubuh yang sempurna, keluarga utuh, dan difasilitasi 24 jam masih kurang bersyukur. Koreksi, sangat kurang.

"... Aku tahu, mungkin bagimu rasanya sekarang kosong, hancur, bukan? Kau merasa bersalah atas segalanya, tak punya tumpuan hidup. Akupun begitu ketika almarhum suamiku dipanggil Yang Maha Kuasa. Dunia serasa runtuh. Kala itu kondisi ekonomi kami pas-pasan, dan ialah tulang punggung keluarga. Bayangkan bagaimana kerasnya aku berusaha bangkit dan banting tulang demi kedua anakku. Bagaimana aku mencoba menjadi sesosok orang tua yang tegar di hadapan mereka. Bangkit dari keterpurukan itu memang sulit, Chilla. Tapi tidak mustahil."

Rentetan kalimat tersebut diserap baik-baik oleh gadis berambut hitam legam itu. Jemarinya bergetar. Ia telah menempatkan kedua orangtuanya dalam situasi sulit karena ulahnya sendiri. Ia sadar bahwa semua ini adalah kesalahannya. Karena keegoisannya. Kehilangan nama baik keluarga, seorang sahabat, kepercayaan orang tua. Karena kecerobohannya dalam bertindak. Ia tidak dewasa.

"Aku..." Mata Chilla mengerjap cepat. Ia merasakan sesuatu akan mengalir di kedua pipinya yang merona, "A-Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila aku tidak bertemu Mark kala itu di stasiun, bila aku tidak bertemu denganmu..."

"Indah, bukan? Skenario dalam hidup kita yang sudah digariskan oleh Tuhan? Aku pun turut senang melihat Mark yang kini tampak lebih ceria. Kau harus tahu betapa susahnya ia dulu kalau dibangunkan pagi saat hari Minggu. Namun tadi pagi, aku terkejut. Ia sudah siap dengan sepedanya pukul 6 pagi. Aku bahkan baru melipat selimut," Jinkyung terkekeh sembari menggunting benang merah yang ada di pangkuannya.

Wanita itu berdiri lalu membereskan peralatan menjahitnya dan melipat kain-kain yang berserakan di meja, "Intinya, kau yang harus melawan keterpurukan tersebut. Semua berasal dari dalam dirimu sendiri. Mau 1000 motivator berbicara kepadamu sekalipun, kalau kau tidak punya niat untuk memperbaiki diri, maka tidak akan ada yang namanya perubahan. Semua tidak akan menjadi lebih baik."

Chilla menatap Jinkyung dengan penuh kekaguman. Baru ini... Baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang mempunyai filosofi hidup sangat menginspirasi.

"Ayo. Aku rasa sudah waktunya makan siang. Baru saja Taeyong meneleponku untuk segera ke aula. Pasti anak-anak telah menyiapkan makanan yang lezat," ajaknya pada Chilla.

Dari kejauhan, terlihat Mark sedang melambai-lambaikan tangannya kepada mereka berdua. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela gereja menghiasi wajah lelaki itu yang tengah tersenyum lebar.

Sesuatu dalam diri Chilla bergejolak. Mungkin... Mungkin memang ia memiliki perasaan terhadap lelaki berhati lembut itu.

If The Stars Are AlignedWhere stories live. Discover now