24). Concerned

75 32 57
                                    

Felina mengunci layar ponsel sembari mengembuskan napasnya dengan lega. Setidaknya, untuk sementara situasi sudah aman terkendali. Cewek itu segera mengalihkan atensinya pada Vino, yang balas menatapnya dengan tatapan cemas.

"Jadi gimana, Fel? Si Felix gimana?" tanya Vino, khawatir parah hingga geregetan. "Gimanapun, dia pasti merasa terluka karena merasa diabaikan. Mana dia belum balik lagi."

"Remmy tadi nelpon gue. Katanya kalopun Felix nggak mau pulang ke sini, dia bilang dia bakal ngajak Felix tinggal di penthouse-nya untuk sementara. Trus si Cindy gimana, Vin? Kalo Mama tau Cindy tinggal di sini, bakal berabe juga pastinya."

"Lo tenang aja," jawab Vino setelah turut mengembuskan napas lega. "Cindy udah balas WA gue, katanya mau ke rumah sakit buat jalani psikoterapi. Gue nggak tau Felix bilang apa aja ke dia soalnya agak aneh juga tiba-tiba Cindy mau jalani psikoterapi. Yang jelas, gue akan hubungi dia lagi setelah urusan sama Kak Nirina selesai."

"Oke kalo gitu," kata Felina, lagi-lagi membuang napas tetapi segera menunjukkan ekspresi bersalahnya. "Gue... gue nyesel udah nampar Felix tadi. Harusnya gue mikir dulu. Ck. Dia pasti kecewa banget sama gue."

"Fel, lo tenangin diri lo dulu. Oke? Felix juga nggak bisa nahan emosinya, makanya dia bisa ngucapin kata-kata yang nggak enak didenger. Kalian berdua perlu bicara empat mata, tapi setelah situasi lebih stabil, ya? Untuk sekarang, gue lega setidaknya selama ini Felix punya temen dekat dan dia juga punya Cindy. Yang paling gue khawatirkan, Felix terjerumus dalam dunia gelap. Untung aja, dia masih bisa dikontrol."

"Iya, Vin. Gue jadi merasa bersalah banget. Setelah gue nampar dia, dia pasti lebih terluka lagi. Yang dia bilang bener, seharusnya sejak awal gue nggak nyari dia karena hidupnya udah aman-aman aja kan sebelumnya?"

"Fel, jangan berandai-andai deh." Vino menegur. "Lo juga termasuk pihak yang terluka. Stop salahin diri lo sendiri. Justru lo sama Felix harus saling mengobati dan menyembuhkan, bukannya saling insecure gini. Hayooo... di mana karakter tegar keponakannya Paman? Di mana sikap barbar keponakannya Paman, hmm?"

"Di saat kayak gini, lo bener-bener pamanable banget deh," puji Felina, tersenyum begitu lebar hingga menunjukkan lesung pipit samar dan memeluk Vino sekilas. "Thanks ya, Uncle Vino."

Vino tersenyum lebar hingga membentuk eye-smile dan hendak merespons kata-kata Felina, tetapi ponselnya berdering lagi.

"Halo, Kak? Hmm... iya, tadi aku lagi di luar makanya nggak bisa jawab telepon Kakak. Oh, iya. Aku udah di rumah kok. Oke, aku buka pintunya, ya?"

Klik.

"Gue tetap di sini aja, Vin. Gue juga kangen sama Mama," kata Felina, sementara Vino memandangnya cemas.

"Lo yakin?"

Felina mengangguk mantap sebagai jawaban.

Vino menghela napas panjang sebelum akhirnya mengalihkan atensinya lagi pada Felina. "Oke. Yuk, buka pintu bareng."

Lima belas menit kemudian setelah sesi cipika-cipiki ala-ala ibu-anak dan kakak-adik dalam versi lebay, Nirina bersama Felina dan Vino duduk di sofa bersama teh hijau di hadapan masing-masing.

"Nah, jadi... coba kalian tebak, mengapa aku ada di sini?" tanya Nirina dengan senyum lebar sebelum mencicipi teh hijau buatan adiknya dan refleks mengernyitkan alis. "Vino, tehnya kok pahit banget?"

"Namanya juga teh hijau, Kak Nirina. Udah pasti pahit, sepahit kehidupan aku," jawab Vino baper meski tatapannya sarat akan tatapan jenaka.

"Iya ya. Bener. Lebih baik pahit-pahit daripada minum yang manis-manis, meskipun kehidupan kita nggak ada manis-manisnya," jawab Nirina, ikutan baper tetapi ekspresinya mirip dengan adiknya.

Rainbow Hearts [END]Where stories live. Discover now