| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?

Start from the beginning
                                    

Maratungga menoleh ke arah pintu.

"Bang, boleh masuk nggak?" tanya Cakrawala di depan pintu.

"Masuk aja, nggak dikunci."

Cakrawala memutar knop pintu lalu melangkah masuk dengan langkah berat. Kakinya masih belum sepenuhnya sembuh.

"Lagi mau minum obat ya Bang?" tanya Cakrawala ketika melihat butiran pil di telapak tangan Maratungga.

"Nggak! Mau gue buang obatnya!"

Cakrawala tertawa. "Galak banget."

Maratungga menelan satu persatu pil tersebut dibantu oleh segelas air putih.

"Lo mau ke mana? Rapi amat," ujar Maratungga usai menelan habis obat-obatnya.

"Aku mau ijin pergi ke rumah teman."

"Emangnya lo punya temen?"

Cakrawala mengangguk. "Cuma satu, hehe..."

"Cewek yang sering dateng ke sini tapi nggak pernah lo bukain pintu itu?"

Cakrawala menggaruk kepala botaknya yang tidak gatal. "Iya," jawabnya canggung.

Pertanyaan Maratungga itu seolah-olah Cakrawala sombong dan jual mahal. Padahal kenyataannya tidak demikian, waktu itu ia hanya... insecure.

"Yaudah, gih, sana pergi."

"Diusir nih?" tanya Cakrawala.

"Banyak bacot ya lo!" Sentak Maratungga.

Sudah Cakrawala duga, pasti abangnya akan berkata seperti itu. Bukan Maratungga namanya kalau tidak membacot-bacotkan Cakrawala.

"Bang Mara mau nitip dibelikan apa?"

Itu adalah pertanyaan wajib Cakrawala ketika ia akan pergi. Pasti, tidak pernah ketinggalan. Maratungga sampai muak mendengarnya.

"Sok punya duit lu!"

"Udah ah sana buruan pergi!" Lanjut Maratungga.

"Aku udah siapin telur ceplok sama sayur sop di meja makan buat Bang Mara."

"Hem."

"Nanti kalau ada apa-apa langsung telpon ya Bang."

"Hem."

"Semisal siang nanti aku belum pul—"

"Pergi nggak lo?!" Sentak Maratungga.

Sumpah demi apapun, ia sedang tidak ingin mendengar ceramah dari Cakrawala. Kenapa sedari tadi adiknya itu banyak sekali bicara? Menyebalkan!

Cakrawala seketika diam, ia mengangguk, kemudian berjalan pelan meninggalkan kamar Maratungga.

"Pintunya tutup lagi!" Sentak Maratungga.

———

Moa keluar dari gereja usai menjalankan ibadah mingguannya.

"Moa! Moa! Hai! Aku disini!" Cakrawala berseru sambil melambai-lambaikan tangan di depan gereja.

Moa tersenyum. Ia lantas melangkah cepat menghampiri remaja laki-laki bertopi hitam dengan kaki kiri diperban serta membawa tongkat penyangga lusuh itu.

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now