Bab. 4 Kutub Utara

12 4 3
                                    

Ibu menelefon, menangis tersedu di sela ucapan salamnya. Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu terisak padahal sudah satu minggu berlalu sejak kepergian eyang.

Kupikir, ini mungkin perkara Sasi, sebab ibu memang begitu sensitif jika menyangkut Sasi. Atau, Reihan –yang beberapa hari ini membuatku berpikir keras tentang keadaannya--. Di menit kedua, setelah isakannya sedikit reda, ibu baru dapat berucap. Rupanya, hal lainnya yang tidak terlalu mengejutkan buatku.

“Ibu... ibu sudah nggak kuat, Na. Ibu.. mau pisah saja sama ayahmu.”

Akhirnya.

Katakanlah aku gila karena mensyukuri ini, tapi buatku ini melegakan. Jahatnya, ini memang hal yang kunantikan dari dulu.

Rasanya lebih baik dari pada sepanjang tahun menyaksikan pertengkaran-pertengkaran yang kerap kali terasa di luar nalar.

Bantingan pintu, pecahan piring,  asbak yang terlempar, makian-makian kotor,  membuatku merasa takut berada di antara keduanya. Membuatku harus memasang wajah kaku begitu keluar kamar, padahal sudah ingin menangis ketakutan.

Di seberang sana, ibu masih menangis sesegukan.

Pagi itu, di antara segala bentuk curahan dan tangisan ibu, rupanya ini bukan kemenangan buatku, justru awal mula yang buruk untuk kebebasanku.

Aku terduduk di meja kantin fakultas, menatapi lalu lalang yang berisik sekali. Mencari presensi makhluk yang seharunya kelasnya sudah berakhir lima belas menit lalu. Aku menempelkan kepala pada permukaan meja, sepertinya kotor, tapi biarlah, paling besok jerawatan.

Hari ini, dua mata kuliah kulewati tanpa mengeluarkan  satu kata pun. Rasanya aku hanya ingin mengeluarkan suara untuk Dewangga saja.

Dari jauh, bayangnya tertangkap di sudut mataku. Langkahnya terhenti sejenak, memiringkan kepala sejajar denganku, Dewangga tersenyum. Aku ikut tersenyum.

Dewangga melambai, aku ikut menggerakkan jari-jariku membalas lambaian. Ada takut yang sedikit terselip, takut kalau aku akan membutuhkannya seperti udara. Jika demikian, ketika dia pergi nanti, maka bagaimana caraku mengarungi sisa hidup yang tanpa cinta.

Belum sempat melunturkan senyum, bayangan lainnya membuat bibirku terkatup paksa. Senyum seseorang yang mungkin kedepannya akan sulit kubalas. Dewangga meletakkan Thai tea di depan wajahku.

“Nih, baru kuminum dikit. Enggak ada yang taro, tadi.”

“Dari tadi ya, Na. Maaf ya, Dewangganya kucegat bentar.”

“Iya, nih. Budenya Dini ada request model rumah. Kam-” ucapan Dewangga tak terdengar lagi, telingaku menuli, tak ingin mendengar hal apa pun yang terjadi di antara mereka.

Padahal, aku sedang ingin bercerita banyak hal. Semuanya. Dewangga harus tahu semuanya kecuali tentang bagaimana aku terhadapnya. Tapi kehadiran Dini jelas membuatku urung.

Membuatku menghabiskan sepiring kuetiaw yang baru saja di pesan tanpa bicara. Padahal, salah satu scene favoritku adalah bercerita panjang lebar ketika makan bersama Dewangga. 

Sayangnya hari ini terlihat sulit. Apalagi setelah Dewangga berucap bahwa hari sabtu nanti dia akan pergi untuk melihat tanah tempat budenya Dini ingin membangun rumah.

Angga, padahal hari sabtu aku mau minta anter kamu cari Reihan ke Tangerang. Nomornya dia nggak bisa di hubungi, aku takut ada apa-apa. Tapi ya sudah, kapan-kapan aja aku cerita.

.

.

.

.

PoornachandraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon