Bab 3.3 Jika Hujan Adalah Bising Yang Dinanti

11 4 4
                                    


“Mas Angga memangnya besok nggak ada kuliah?” Ibu bertanya setelah Dewangga kekeh ingin mengantarku pulang ke rumah.

Padahal sudah kuminta ia untuk kembali ke Jakarta dari tadi.

“Ada sih, tan. Cuma enggak apa, udah bilang ibuk juga kalo aku pulang, bolos sesekali, udah lama ndak pulang juga. He he.”

Jadi, setelahnya aku pulang dengan Dewangga. Ibu dan ayah masih tinggal karena harus mengurus pengajian, kudengar Sasi juga langsung pulang karena masih ada kuliah esok hari.

Ibu memintaku pulang untuk ganti baju mengingat kondisiku yang berantakan.

“Ngga...”

Angga melirikku dari kaca spion. “Dalem, Na.”

“Kedinginan, ya?”

Dewangga tidak tahan dingin, dia gampang masuk angin orangnya. Sudah lewat senja ketika kami pulang, apalagi kondisinya sama denganku --sisa kehujanan yang mengering--. Agak berantakan, dan ada jerawat baru yang tumbuh di dahinya.

“Lumayan.”

“Kamu besok langsung pulang, kan?” tanyaku ketika kami sudah sampai di depan rumahku.

Dewangga mematikan motornya.

“Kamu sama siapa di rumah? Ada mas Reihan nanti, kan?”

“Iya, ada. Kamu besok langsung pulang, kan?”

“Lampu depannya di hidupin, udah malem.”

“Ngga.”

Dewangga menutup kaca helm, sengaja menutupi raut wajahnya, dia menggeleng pelan.

“Sama kamu, ya. Aku tunggu kamu, bareng.” katanya sambil membuka kembali kaca helm.

“Kamu besok ada kelas.”

“Kamu juga.”

“Kan aku lagi berduka, besok aku masih mau ke rumah eyang.”

“Iya, besok aku anter.”

“Anggaaaa.”

Hanya tersenyum, Dewangga meninggalkanku dengan senyum hangatnya. 







Tengah malam, aku kesulitan tidur. Bayangan wajah eyang memenuhi pikiranku. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air hangat.

Di ruang tamu, suara berisik terdengar. Saat melihat jam dinding, jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Aku berjalan mendekat ke asal suara, kulihat punggung tegap sedang membelakangi. Tangannya terangkat ke arah telinga, sepertinya Reihan sedang menelefon seseorang.

Baru mau membalikkan badan, suara percakapannya tak sengaja kudengar.

“Gila, kamu. Kan sudah saya bilang ini nggak perlu di ungkit!”

Langkahku terhenti mendengar teriakannya.

“Nggak lucu! Jangan main-main. Kita nggak pernah ada hubungan apa-apa ya!”

“Kamu yang buat saya nggak normal.”

“Semua tentang keenggaknormalan kamu itu bukan urusan saya, kamu yang homo. Jangan bawa-bawa saya!”

Reihan membanting gawainya di atas sofa, membuatku tanpa sengaja terkesiap. Dia kemudian menoleh, kami sama-sama terkejut.

Aku masih diam, Reihan kemudian memungut gawainya dan pergi meninggalkanku dalam diam. Bunyi debam pintu terdengar kemudian. Aku menarik napas dalam-dalam, jantungku masih tak karuan, entah karena terkejut  Reihan membanting gawai, atau justru terkejut dengan ucapan-ucapan Reihan.

PoornachandraOnde as histórias ganham vida. Descobre agora