Bagian 9

1.8K 180 8
                                    

Satu kejadian yang tidak pernah terkira olehku adalah ketika Rusiana menuntut balas atas kematiannya. Benar kata sebagian orang jika arwah tidak bisa menyentuh atau bahkan membunuh manusia secara langsung.

Namun Rusiana terus menampakkan wujud seramnya pada mereka yang telah membunuhnya, rasa takut bercampur rasa bersalah atas kematian Rusiana membuat mereka terus menerus dihantui Rusiana yabg datang meminta pertanggungjawaban.

***

Malam itu kami berlima lari kalang kabut tak karuan arahnya, perasaan kalut bercampur ketakutan memaksa kami untuk melangkahkan kaki kembali lebih cepat dari sebelumnya.

Lelah, letih, bahkan kedua kakiku terasa berat untuk melanjutkan langkah. Di tambah lagi saat itu aku hanya bersama Ezty, sedangkan tiga orang temanku terpisah entah kemana.

Keadaan semakin parah ketika kami berdua sadar jika sudah terlalu dalam memasuki jalan setapak menuju arah pegunungan. Entah untuk yang ke berapa kalinya kami berdua berbelok menyusuri jalan setapak di tengah gelapnya malam.

Ezty menepuk pundak sebelah kananku, ia memberi isyarat untuk istirahat sejenak. Lagi pula kami sudah berada di tengah-tengah kebun pepaya, perasaan masih terus was-was takut jika Rusiana datang kembali.

Kami berdua terpaksa duduk rerumputan sebelah kebun sambil menslonjorkan kaki agar tidak kram. Berkali-kali terus kupijit betis yang terasa mulai keras.

Lamat-lamat dari kejauhan terdengar beberapa orang sedang berbincang, karena jauh suara dua orang tersebut tidak terlalu jelas terdengar.

"Ezt, awakmu krungu?" (Ezt, kamu dengar nggak?) Tanyaku membuka percakapan di sela-sela kesibukan kami yang terus memijit betis masing-masing.

"Koyok suwarane arek lanang wedok seh?" (Seperti suara anak laki-laki dan perempuan yah?) Jawab Ezty menghentikan tangannya, lalu mulai menajamkan pendengarannya.

"Mosok wong panen kates?" (Masa orang panen pepaya?)

"Gendeng! Nek endi onok uwong panen kates bengi-bengi." Jawab Ezty.

Awalnya kami berdua seperti mendapatkan angin harapan untuk keluar dari tengah ladang pepaya, namun yang terjadi justru sebaliknya.

"Ayo ndang di parani, sopo eroh kenal Karo awak Dewe." (Ayo cepat di samperin, siapa tahu kenal dengan kita) Ajak Ezty mulai berdiri lebih dahulu.

Hantu itu harapan kami satu-satunya karena kami berdua tersasar dalam gelap di tengah ladang pepaya. Semakin lama suara dua orang tersebut semakin jelas, langkah kaki yang tadinya gontai dan sempat kembali bersemangat untuk menyambut harapan agar kami bisa pulang membuahkan hasil yang sia-sia.

Semakin kami berdua mendekat, suara dua orang yang berbeda jenis tersebut berubah menjadi suara desahan dan erangan kenikmatan.

Deg, jantung seperti berhenti berdetak saat itu juga. Yang tadinya kami kira adalah dewa penyelamat ternyata adalah sepasang orang mesum yang melakukan persetubuhan di tengah ladang pepaya.

Langkah kaki langsung terhenti saat itu, tidak ada niatan lagi untuk lebih mendekat ke arah dua orang yang belum kami kenal. Aku dan Ezty saling melempar pandangan heran, dari wajah kami saat itu muncul rasa penyesalan seketika.

"Wong k**thu Cok!" (Orang sedang bersenggama sialan!) Umpatku lirih saat bertatapan muda dengan Ezty.

Sedangkan Ezty malah terkekeh sambil menjawab, "kirek tenan ogh" (memang binatang) lalu melengos.

Memang dasarnya Ezty bukanya menjauh dari sana waktu itu, dia malah menuruti rasa penasarannya pada dua orang yang sedang melakukan hohohihe, di bawah pohon waru.

Awalnya ku tepis keras tangan Ezty yang mengajak untuk melihat siapa dia orang pemain tersebut. Kami berdua kokoh dengan pendirian masing-masing, aku yang akan pergi dari sana dan Ezty yang ngeyel karena penasaran siapa mereka berdua.

Akhirnya aku mengalah karena Ezty bilang jika mengikuti mereka berdua nantinya kami bisa pulang. Masuk akal juga menurutku ide Ezty waktu itu, "terus kapan mulie?" (Terus kapan pulangnya?) Tanyaku lirih sambil berjalan mengendap-endap di belakang Ezty malam itu.

"Yo, di enteni sak marine wong loro iku jaran-jaranan!" (Ya, kita tunggu sama sampai mereka selesai bermain kuda-kudaan!) Jawab Ezty asal.

Bukanya marah atau kesal, waktu itu aku malah hampir tertawa terbahak-bahak karena jawaban Ezty. Setelah jarak cukup dekat, sekitar 8 meter dari dua orang yang bersenggama. Kami berdua mulai mengamati wajah  mereka satu persatu, berkali-kali kudengar Ezty menelan ludahnya sendiri.

Suara erangan semakin terdengar jelas malam itu. Jika bukan karena kelakuan Ezty sebenarnya aku sudah risih di tempat yang berdekatan dengan mereka.

"Raimu san**k?" (Mukamu sedang terangsang?) Ucapku kesal ketika berkali-kali kudengar Ezty menelan ludahnya.

"Lha gratis gak usah download eman nek gak di tontok!" (Kan gratis nggak pake download sayang kalo nggak di lihat!) Jawab Ezty lirih tanpa menoleh, kedua matanya terus fokus pada dua manusia yang tengah memadu kasih di tengah ladang pepaya.

Tidak ada pilihan bagiku selain berdiam di tempat saat itu, hati menyuruh untuk lekas pergi dari sana saat itu juga. Namun bila pergi sendiri rasa takut akan bayang-bayang Rusiana masih terus menghantuiku.

Ezty masih menyaksikan adegan demi adegan, sementara aku mengutuknya dalam hati. "Tuhan maafkan temanku ini" Ku sandarkan punggung pada batang pohon pepaya, jujur meski aku sendiri penasaran dengan si lelaki yang sedang mengenjot lawan mainnya, aku lebih memilih memunggungi mereka dan lagi wajah pria itu terasa tidak asing meskipun samar karena gelap. Suara pemuda tersebut pernah ku dengar, otakku mengingat dengan keras tentang siapa sebenarnya pemuda tersebut meski hasilnya sia-sia.

Hingga tangan Ezty yang secara tiba-tiba memegang lenganku dengan gemetaran membuat tubuhku berjingkat karena kaget. Sebelum teriakan lantang kedua anak manusia yang sedang indehoy itu memecah kesunyian malam, aku dan Ezty melihat kehadiran Rusiana yang berdiri tepat di depan mereka berdua.

Bau busuk yang bercampur kotoran, berbaur dengan bau amis darah tercium di hidung seketika itu. Nanar mataku memandang ke arah Rusiana yang berdiri tegak dengan kepala miring ke samping di tambah lidah panjang yang terjulur keluar.

"Kyaaaaaa .....!"

"Setan ....!"

Teriakan terakhir yang kudengar sebelum mereka lari tunggang langgang tanpa mengenakan pakaian di tengah malam. Si pria lari terlebih dahulu meninggalkan pasangan wanitanya, mataku masih menatap ke arah Rusiana yang kemudian berjalan pelan menghadap ke bawah pada si wanita dengan tatapan jijik, atau lebih tepatnya dengan sorot mata penuh amarah.

Jemari tanganku reflek menutup mulut Ezty malam itu, karena hampir saja Ezty berteriak keras mengalahkan teriakan kedua manusia tanpa busana di depan sana.

Bahkan aku sampai tidak sadar jika Ezty telah mengigit jari manisku, mataku masih mengawasi Rusiana di sana. Setelah perempuan itu pingsan Rusiana melayang menyusul pemuda yang sempat lari terlebih dahulu tadi.

Karena firasatku mengatakan jika salah satu dari mereka ada hubungannya dengan kematian Rusiana, tanpa sadar aku sudah berjalan tergesa-gesa menghampiri wanita yang pingsan karena Rusiana tadi.

"Kar, Karsinah?" Kataku terbata, karena aku sendiri sebenarnya tidak percaya dengan yang kulihat saat itu. Bagaimana mungkin gadis polos seperti dia bisa melakukan hal yang tidak senonoh seperti itu. Apa lagi dengan statusnya yang masih belum menikah, lalu siapa sebenarnya pria yang tadi bersenggama dengannya.

Pikiranku mulai menembak-nebak siapa pria tersebut, banyak nama pria yang muncul dalam pikiranku termasuk nama 'Arie' karena Fitri yang waktu kesurupan sempat membisikan satu nama yaitu Arie!

RUSIANA! [TAMAT]Where stories live. Discover now