Bagian 2

2.5K 204 8
                                    

Baru sebentar rasanya aku terlelap, aku kembali terbangun karena suara ibu. "Rin! Tangi wes subuh" (Rin! Bangun sudah subuh) suara ibu membangunkan diriku.

Karena sudah terbiasa sedari kecil, saat subuh kami berangkat ke mushola di ujung gang bersama-sama. Karena kakak Perempuanku sudah menikah dan ikut bersama suaminya, maka hanya tersisa kami bertiga.

Setelah selesai solat subuh berjamaah, jika hari Sabtu dan Minggu aku mengantarkan ibu ke pasar untuk berbelanja.

Hari itu belanjaan ibu sangat banyak, maka kami pulang menjelang pukul 8 pagi. Di sebelah rumahku terdapat garasi mobil dengan halaman yang cukup luas, di sana juga terdapat pohon ceri dengan amben atau geek untuk duduk bersantai.

Sudah merupakan kebiasaan orang di kampungku jika nongkrong atau sekedar mencari angin akan duduk santai di bawah pohon ceri. Seperti pagi itu, baru saja aku sampai di rumah kulihat Fitri bersama Ezti sedang petan, sambil membicarakan tentang kematian Rus.

Kemudian kusiapkan semprotan selang untuk mencuci motorku. Baru saja kutuntun motor samping rumah, tepatnya di sisi kiri pohon ceri ibuku sudah kembali berteriak dari dalam rumah. "Rin! Mesisan sepedahe ayahmu di kumbah!" (Rin! Sekalian motor ayahmu di cuci!)

"Opo seh ibuk Iki," gerutuku kesal. "Wegah! Ora melok ngawe kok" (Tidak! Nggak ikutan make kok) sahutku lantang.

"Oh, ngono? Yowes, sandanganmu kumbahen dewe. Masako dewe! Goleko pangan Dewe!" (Oh, begitu? Yasudah, pakaian kamu cuci sendiri. Masak sendiri! Cari makan sendiri!) Kali ini ibu sampai keluar rumah sambil mengangkat bagian daster bawahnya sampai ke lutut.

"Meski ibuk iki ah!" (Kebiasaan Ibu ini ah!) Jawabku kesal, dengan suara pelan.

"Lha awakmu perhitungan!" (Kamu terlalu perhitungan!) Jawab ibu sambil melotot ke arahku.

"Iyo, Iyo, duh ah kemalan ngamuk an" (iya, iya, kebiasaan marah deh) akhirnya aku mengalah.

"Awakmu pisan yo ngamuk an" (kamu juga doyan marah) tuding Ibu ke arahku.

Sedangkan Fitri dan Ezti yang mendengar drama lokal yang kuperankan bersama ibu, nampak cengegesan menahan tawa.

"Rodok cedek kene loh Rin, nek kunu panas!" (Agak dekat ke sini loh Rin, di situ panas!) Ucap Fitri padaku.

Tanpa menggubris ucapan Fitri aku sudah sibuk dengan kanebo dan air, fokus mencuci motor.

"Ancene arek iku ora eruh global warning kok yo Fit." (Emang anak itu tidak tahu global warning yah Fit) lanjut Ezti, karena terik sinar matahari di pagi hari saat itu sudah terasa panas.

"Global Warming, Goblok!" Sahutku ketus, karena keberadaan mereka berdua hanya sebagai pembawa musibah di pagi hari.

"Warning iku peringatan, gendeng!" (Warning itu peringatan, gila) kata Fitri sambil mendorong kepala Ezti ke depan.

Awalnya mereka berdua sedang membicarakan tentang kematian Rus, yang tidak wajar. Aku masih mendengarkan sambil mencuci motor, obrolan semakin memanas dengan kemunculan Gita bersama Vita.

"Rin, es rasa jeruk loro yo" (Rin , es rasa jeruk dua yah) kata Vita sambil menunjukkan kedua jarinya padaku, sudah biasa jika yang doyan nongkrong di sini hanya gadis-gadis sebayaku. Apa lagi dengan ibuku yang berjualan es, atau mie instan untuk di makan di geek bawah pohon ceri.

"Ora kere!" (Tidak Sudi!) Jawabku singkat sambil terus mencuci motor.

"Koen kok mentolo? Onok kancane nek kene pesen mek loro?" (Kamu kok tega? Ada temannya di sini hanya pesan dua?) Potong Ezti saat itu.

"Koen kok seneng ngae aku melarat!" (Kamu kok suka bikin aku miskin!) Kata Vita.

"Solidaritas lah!" Kilah Ezti cepat.

RUSIANA! [TAMAT]Where stories live. Discover now