Bagian 5

2.1K 190 7
                                    


Lari! Itu lah yang kupikirkan saat itu, lari sekencang-kencangnya menuju rumah. Tidak peduli dengan banyak pasang mata yang memandangku dengan keheranan.

DUUUKK ....!

Tubuhku jatuh tersungkur setelah menabrak Ezty yang baru saja berjalan dari depan toko ibu. Sambil meringis kesakitan aku memaki Ezty saat itu juga, "goblok! Motomu dekek endi seh?" (Bodoh! Mata kamu taruh di mana sih?) Umpatku kesal sambil memegang sikut sebelah kiri yang lecet.

"Untumu! Koen iku moro-moro nabrak, wes salah malah nyalahno" (Gigimu! Kamu yang datang tiba-tiba langsung nabrak, sudah salah tapi malah nyalahin) Jawab Ezty tak mau disalahkan saat itu, Ezty juga melempar sendalnya ke arahku.

Setelah berdiri kutunjukan jari tengah ke arah Ezty sambil menjulurkan lidah, merasa tidak terima dengan perlakuanku Ezty langsung bangkit dari posisinya yang tadi duduk di aspal langsung mengejarku.

Beruntungnya ibu yang mengetahui aku dan Ezty yang saling olok di luar rumah langsung datang melerai, dengan memukulkan remot tv di atas kepalaku.

"Ayahmu Nandi?" (Ayah kamu kemana?) Tanya ibu setelah Ezty berlalu.

"Bukane wes moleh?" (Bukanya sudah pulang?) Jawabku dengan mengerutkan dahi.

Wajah ibuku nampak cemas saat itu, aku bersikeras tidak mau ikut sewaktu ibu ingin ke rumah lek Karim karena ayah belum juga pulang hingga larut malam.

Penolakanku tidak ada artinya ibu tetap memaksa agar aku ikut menemaninya pergi ke rumah lek Karim. Saat aku dan ibu sedang tarik ulur, posisinya saat itu menarik tangan kiriku, dan tangan kananku bertahan pada tiang rumah. Hingga aku berkata, "aku mari ketemu poconge Rus Buk!" (Aku habis ketemu pocongnya Rus Buk!) Dengan suara memelas.

Mendengar ucapanku, tangan ibu yang tadinya bersikeras ingin menarik agar mau menemaninya ke rumah lek Karim langsung melemah. Saat itu juga tanganku yang tadinya melingkar di tiang rumah bagian depan, langsung kulepas.

Apes bagiku, saat itu juga ibu langsung kembali menarik tanganku hingga posisinya saat itu aku berada di bawah ketiaknya. Di depan rumah Pak Abdul ibu baru melepaskan tangannya yang tadi mempiting leherku hingga untuk bernafas saja susah rasanya.

Tangan gempal ibu terus menyeretku hingga sampai di depan rumah lek Karim, pandanganku fokus pada kerumunan orang di depan rumah lek Wandi. Di sana nampak dua sosok yang sangat kukenal mereka adalah Fitri dan Gita, yang sedang melihat keadaan Nurul.

Ada perasaan aneh saat berdiri di depan rumah lek Karim malam itu, rumah lek Karim dan rumah Ezty bersebelahan dan di tengah-tengahnya terdapat jalan kecil yang hanya bisa di lalui satu sepeda motor.

Dari gang kecil dan gelap tersebut, aura aneh sangat sangat terasa. Aku sendiri tidak berani untuk memasuki rumah Lek Karim jadi kuputuskan untuk menunggu di luar sambil melihat ke sekeliling. Padahal keadaan malam itu ramai oleh warga yang berada di depan rumah lek Wandi, tetapi aku seolah sedang sendirian di luar sana.

Rasa takut pada gelap di mulai dari sana, pada malam ke tiga setelah kematian Rus. Di gang gelap sebelah rumah lek Karim dan Ezty, ketika mataku terus tertuju pada gang kecil yang gelap tersebut terlihat bayangan seseorang dengan pakaian serba putih sedang berjalan pelan ke arahku.

Hanya bayangan samar yang kulihat secara perlahan semakin mendekat, yang pertama kali terlihat saat bayangan tersebut terkena cahaya lampu di sebelah rumah Ezty adalah sepasang kaki tanpa alas, untuk pertama kalinya aku merasakan rasa takut yang amat sangat.

Perlahan sosok itu sudah jelas terlihat, hanya menanti detik-detik bayangan hitam di bagian wajahnya tersinari cahaya lampu. Tidak ada yang kulakukan selain berdiri mematung menanti dengan rasa penasaran siapa sosok gadis yang berjalan dari gang sempit tersebut.

RUSIANA! [TAMAT]Where stories live. Discover now