Chapter 25: Cold War

250 73 21
                                    

ANNETTE

"Gue mau ke perpus," kata Tara.

"Ah males," gue menyeringai bodoh. "Yaudah gue sama Ghea aja."

"Ghea kumpul UKM."

"Yaaah okay, sama Mark kalo gitu."

"Mark ikut sama gue."

Gue memutar mata. Dengan berat hati gue akhirnya ngikutin Tara ke lift, katanya Mark udah nunggu di lobi fakultas. Jeda yang panjang ke kelas Bu Wina nanti sore bakal bikin gue males balik lagi ke kampus seandainya gue balik ke apartemen atau sekadar jalan-jalan sendirian ke mall.

Tapi ke perpustakaan juga bukan sesuatu yang bakal gue pilih—itu membosankan.

Apalagi lo jadi nyamuk di antara Tara sama Mark.

Gue gak pernah masalah sih soal ini, malah jatohnya gue yang gangguin mereka—gak bisa 'pacaran'. Malah jadi gak enak ke guenya.

"Gue ditinggalin Laskar nyari makan anjir," keluh Mark sesampainya gue sama Tara di lobi. Gue mengerutkan kening. "Lah gue pikir lo ikut sama Tara tuh lo yang mau ngerjain tugas..."

"Ya emang sih, mestinya nanti abis makan. Tapi kalo gini ceritanya yaudah gue ngerjain tugas dulu."

"Terus dia sama siapa?"

"Sama Arsen."

Oh, tumben.

"Lo gak ikut mereka?" tanya Mark.

"Gak," sahut gue, mungkin terlalu spontan saking paniknya gue ditanya begitu. Mark bingung dengernya. "Belum laper."

Gue ninggalin semua barang gue di loker kecuali hape dan earphone ketika Tara sama Mark sibuk bawa binder sama tempat pensil, Mark bahkan bawa laptop.

Gue ke perpustakaan karena bener-bener gak ada kerjaan—bukan mau ngerjain sesuatu. Gue bukan tipe orang yang suka ngerjain tugas di kampus, gue mood ngerjain kalau udah malem, sendirian di apartemen, gak ada yang ganggu. Cuma ada lagu yang gue puter pake speaker.

"Untung gak jadi rapat hari ini," Tara bergumam sembari duduk di seberang gue, raut mukanya menunjukkan dia mau nyinyirin sesuatu. "Gara-gara kemarin surat kader ada yang salah tadinya gue mau dimarahin kahim tersayang."

"Udah kelar revisinya?" tanya gue.

"Udah. Tadi malem gue tidur cuma bentar anjir, pusing bet pala gue sekarang."

Tara memijat pelipisnya sendiri sambil natap bindernya yang terbuka dan menunjukkan catatan asalnya di kelas barusan, menghela napas berat menyadari banyak yang harus dirapiin.

"Kalian kemarin di mana pas telepon gue?"

"Lagi ngantri di Richeese," sahut Mark tanpa beralih dari laptopnya. "Makanya telat. Tadinya abis makan mau ke Gramedia nyari pulpen Sarasa."

"Astaga Sarasa doang niat banget ke Gramedia..."

"Kan Gramedia isinya gak cuma Sarasa Net, siapa tau jadi asik nemu bacaan baru."

Gue ngangguk-ngangguk biar cepet. "Tapi kalian gak terpaksa kan dateng ke pensinya?"

"Enggaklah, seneng-seneng juga," Tara melirik gue. "Emang kenapa?"

"Gapapa," gue mengangkat bahu cuek. "Takutnya gitu."

"Eh Laskar kenapa sih anjir kemarin?"

Mark menatap gue sekilas dengan matanya yang terbuka lebar, antusias. "Gue tuh berdiri di sebelah dia dan lo tau lah, berusaha sok asik, tapi dia poker face," gue mendengus denger kekecewaan dalam suaranya. "Padahal kan itu temen-temen dia semua? Kayak, udah jelas kita temen-temennya di sini, terus ada temen SMA juga kan? Kalo gue jadi dia sih I was having a good time, a very good one."

PLAYING WITH FIREWhere stories live. Discover now