Chapter 19: One Fine Night

375 76 23
                                    

update edisi liburan

ada catetan penting di bawah. jangan diskip!>:(


LASKAR

"Dah ah, gue mau beli makan."

"Mau beli makan atau mau makan sama Annette?"

Mark mengangkat pandangannya dari layar laptop, memperhatikan gue beresin seperangkat buku dan laptop yang gue bawa ke kamarnya ngerjain tugas tadi. "Hah?" gue balas menatap dia. "Ya tergantung perspektif lo."

Gue meninggalkan kamar Mark sebelum dia komen aneh-aneh lagi.

Lagi? Ya, maksud gue omongan ngaco kayak yang tadi-tadi ke Annette.

"Diem dulu gue lagi mancing Annette," elaknya saat gue berusaha ngambil hape dari tangannya. "Kalau dia udah kesel, gue berenti."

Tapi nyatanya dia terus-terusan ngirim voice note.

Chat Annette barusan dateng ketika gue sama Mark udah di titik males banget ngerjain esai dua halaman yang gak selesai-selesai dari tadi sore. Makanya ngeliat ada sasaran empuk buat diledekin, Mark semangat ninggalin tugasnya.

"Lo udah tau?" tanya gue, beberapa menit setelah diem-dieman balik lagi ke tugas masing-masing. "Arsen udah jadian sama Farah."

"Sumpah?"

"Iya. Kemarin...pas reuni."

"Sinting tuh orang, perasaan PDKT baru dua minggu."

"Gara-gara truth or dare."

Mark ngakak.

"Makin parah."

Gue tersenyum kecil. Tapi luntur seketika gue inget betapa keselnya gue sama dia kemarin—gue berhenti ngetik.

Jeara.

Perjalanan dari kafe ke Simpang Dago itu gak singkat. Ditambah hari udah sore, jalanan macet. Gue semakin tersiksa dengan adanya cewek di belakang gue—cewek yang selama kurang lebih dua tahun gue hindari.

Rasa sakit dan kecewa gue ke dia dua tahun lalu muncul secara instan bersamaan sosoknya muncul di kafe—mengisi kursi kosong yang gue pikir bakal buat Tara. Atau ceweknya Farel.

Jeara bukan cewek yang meninggalkan kesan baik pada gue. Meskipun awalnya di mata gue dia adalah cewek yang manis, ceria, positive vibes only. Tapi ya...gak selamanya matahari ada di langit. Kadang ada awan mendung, hujan, bahkan petir, sebelum akhirnya digantikan bulan dan bintang.

Gue gak bisa.

Dan dengan dia bersikap seperti biasa—watados, wajah tanpa dosa...bikin gue makin muak.

Ya mungkin dia pikir dua tahun cukup buat maafin apa yang terjadi.

Dia mungkin udah lupa apa yang dia perbuat ke gue.

Toh gak penting juga kali.

Tapi gue masih inget, banget.

"Kar, maksud Alia tadi tuh apa?" tanyanya, membuat gue sadar dia ada di boncengan gue. "Yang dia tanyain ke Arsen."

"Bukan apa-apa."

Emang bukan apa-apa. Alia cuma nanya apa Arsen pernah merasa jahat sama gue. Jawabannya bukan apa-apa. Bukan sesuatu yang patut dipikirin, patut dijawab, patut digosipi.

Arsen gak pernah jahat sama gue dan seandainya iya, gue gak merasa dia seperti itu.

Alia cuma salah milih kata.

PLAYING WITH FIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang