[!] Chapter 20: The Past and Pain

340 78 26
                                    

warning: 3000 words long of panic attack. please bear with me </3


ANNETTE

"Mark please lo dateng ke sini sekarang."

Cowok di seberang telepon itu mengerang, tanda gue baru aja membangunkan singa dari tidurnya. Anak singa. "Sekarang jam berapa," dia menguap, "perasaan alarm gue belum bunyi."

"Ya emang masih jam delapan," gue melirik jam di nakas. "Tapi gue minta lo ke sini sekarang."

"Kenapa."

"Gue gak mau nyambut mama sendirian..."

Jeda.

"Net please deh ah..."

"Ayo dong Mark, pleaseee."

"Jam 9 deh ya."

"Gak. Lagian sejak kapan lo mandi lama?"

"Gue emang lama kalo mandi."

Gue gak tau mau jawab apa.

"Yaudah iya sekarang. Gue mandi dulu."

"Jangan pake batik!"

"Enggak, bawel. Gak akan."

Teleponnya dimatiin. Gue menjatuhkan diri ke tempat tidur nahan grogi—gue takut reaksi mama ngeliat gue sekarang gak sumringah. Makanya gue perlu Mark supaya suasananya gak awkward.

Awkward.

Dulu gue deket banget sama nyokap, kayak...temen. Tapi sejak gue dikasih tau apa yang selama ini disembunyiin, gue gak bisa lagi sedeket itu.

Gue jaga jarak.

Gue bener-bener dikecewain seberat itu.

Sejak saat itu juga gue jadi gak mau cerita apa-apa tentang masalah pribadi gue di luar masalah sekolah. Gue gak pernah cerita tentang gimana temen-temen gue di sekolah, tentang kesukaan gue apa sekarang, tentang siapa yang lagi gue suka.

Di fase terkelam hidup gue waktu itu, gue sempet berpikir kalau gue anak yang durhaka. Gue anak satu-satunya, gue anak cewek, yang seharusnya jadi anak terbaik, harapan satu-satunya orang tua gue, tapi gue kayak gini. Entah gue yang kecewa sama mereka atau mereka yang justru kecewa sama gue. Atau keduanya.

Tapi sampe saat ini gak ada satupun yang minta maaf.

Lucu kalau ternyata saling nunggu siapa yang minta maaf duluan karena gak mau nurunin ego masing-masing.

Gak tau udah berapa lama gue melamunkan hal itu sambil ngeliat langit-langit kamar yang monoton, gue tersentak bangun dari tempat tidur denger suara bel. Ketar-ketir gue megang handle pintu berharap ini Mark.

Mark.

"Gue gak telat kan?"

"Enggak," gue mengembuskan napas lega. "Ya ampun gue kira mama."

"Lagian—" gue tarik Mark masuk dan nutup pintunya. "—Tante Mira dateng sama siapa? Kenapa minta gue dateng?"

"Gimana kalo sama Tante Ina?"

Gue bertukar pandang sama Mark yang kaget sama tebakan asal gue barusan.

"Gak mungkin," elaknya.

"Soalnya—gak sama papa. Mama dateng sendiri."

"...Net."

"Please gue lagi berharap."

"Jangan berharap," Mark menatap gue kesal. Udah cukup main tebak-tebakannya. "Lo bakal sakit hati kalau gak sesuai harapan lo. Jangan."

PLAYING WITH FIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang