Day 20, 23, 27 - My Name

1.9K 84 2
                                    

Napas Chuuya tercekat ketika ikat kulit itu melintang melewati lehernya dengan ketat, dari ujung ke ujung ranjang rawat yang dingin dan penuh keringat. Tubuh Chuuya dibiarkan tanpa busana, kedua tangan diikat pada ujung-ujung kasur pun kakinya. Ia seperti bintang di atas matras hitam, bersemu, melenguh, dan bergairah.

"Dazai?" Suara paraunya memanggil pria yang tengah berada di dekat sebuah monitor jantung. Mengenakan jas labor lengkap dengan sarung tangan dan masker. Menggenggam sebuah pisau bedah dan membuat Chuuya berteriak ketakutan.

"Kau menantiku?" Dazai berdiri di samping. Menatap wajah yang dilimpahi cahaya lampu meja operasi, ia tersenyum. "Aku hanya mengubah sedikit."

"Ah—" Rasa takut membuat tubuh Chuuya bergetar. Ketika dingin pisau bedah itu merayap di kulit perutnya, ia berjengit tinggi. "Tidak hh..."

"Pisau ini diasah dengan baik," kata Dazai, "Jika aku memposisikannya seperti ini dan menekan sedikit—"

"Ah!!"

"—Kau akan terluka."

Chuuya meringis. Ia merasakan aliran panas dari sejumput goresan dalam di perut. Tetes likuid merah yang Dazai usap dengan tangan membuat Chuuya berdebar bertanya-tanya apa yang akan dilakukan tangan itu pada lukanya.

"Hng! Dazai—! Sakit...!!"

"Tapi kau suka..."

"Hh—ah.."

Pandangan Chuuya menoleh ke kiri, menjauhkan diri dari wajah Dazai yang penuh pesona. Mengalihkan rasa sakit dengan sebuah hal lain berupa kepercayaan dan rasa penasaran. Ketika Dazai menekan luka, darah mengucur deras dari sana. Ia memutar-mutar bilah pisau sebagai godaan. Membuat Chuuya semakin penasaran dan mengerang geli.

Tubuhnya begitu sensitif karena rasa takut. Hangat dengan sentuhan singkat di tepi-tepi tali hitam sudah dapat membuat tangannya mengerjap-kerjap. Dazai menyukainya.

"Si kecil ini," fokus Dazai tertuju pada sebuah bagian tegak di antara selangkangan Chuuya. Ia membelainya, dengan pisau, menarik satu tetes air mani bermuara. "Benar-benar menyukai pisauku."

"Ah Dazai.." Punggung Chuuya menekuk di dalam kekangan, beriring lenguh dan air mata, ia merasakan dingin besi dan alkohol berada di paha dalamnya. "Uhh..."

"Aku bisa melukai semuanya dari sini."

"Jang—..."

Belum sempat Chuuya berucap, sebuah luka kembali diberi Dazai di paha bagian dalam. Membuat goresan lebar, mengganti lenguh Chuuya menjadi teriakan. Tempat tidur rawat itu bergerak kasar karena respon rasa sakit, Chuuya menggelengkan kepalanya kuat, namun demikian jantungnya berdebar tak karuan karena sebuah rasa yang ekstrem dan gila.

"Aku akan mengukir namaku disini," kata Dazai sembari membuka salah satu dari ikatan di kaki Chuuya.

Chuuya terkejut ketika tubuhnya digeser paksa dengan posisi yang sama sekali tidak nyaman dimana Dazai berada di antara selangkangannya. Darah di perut mengucur lebih deras akibat tekanan karena kaki yang bebas itu tengah diangkat dalam pangkuan.

"Putih dan mulus," Dazai mengusap paha Chuuya dengan sarung tangan yang dingin itu. Sejuk alkohol membakar titik luka, membuat darah di sana menjadi berantakan dan menodai semua. "Seperti kanvas, dan pisauku adalah kuasnya."

"Dazai..."

Chuuya tahu ia tidak akan suka rasa sakit itu. Chuuya juga tahu kalau dia akan merasa konyol dengan apapun luka yang akan Dazai buat disana. Namun bibirnya begitu rapat terkunci dan lupa bagaimana cara menolak. Ia tidak bisa berkata tidak. Hanya menyaksikan dari posisinya, senyum Dazai yang penuh kebahagian ketika memulai satu sayatan.

"Ah—!" Kaki Chuuya bergerak refleks. Dia tahu Dazai sengaja tidak menggunakan bius, namun Chuuya bukanlah seekor ikan paus. Ia merasakan seluruh perih di tubuhnya ketika disayat.

Dengan erat Dazai memegang kakinya, berhati-hati agar tidak menggores bagian yang salah. "Da-," ia mengeja, Chuuya berteriak. "Za-"

"Dazai! Dazai! Sakit!! Ah—"

"—i." Ucapnya dengan nada ceria. Membiarkan linangan air mata di pipi Chuuya serta tangannya yang begitu erat memggenggam tali sebagai tautan.

"O—" Dazai tersenyum. Ia mendengar lagi teriakan Chuuya, merasakan gempuran hasrat di antara kaki yang mengapit tubuhnya. Dazai tahu si mungil itu menyukainya. "Sa-mu."

Chuuya menangis. Ia bahkan bisa merasakan seluruh kehangatan dari darah di bawah sana mengalir ke seluruh penjuru matras. "Dazai, sakit.." Aduhnya pada sosok pemuda sinting yang telah membuat jejak yang pasti tidak akan hilang dari tubuhnya.

Namun alasan Chuuya mengaduh bukan agar Dazai menyesal. Ia tidak ingin Dazai menyesal telah menjadikan Chuuya milik pribadinya. Ia ingin Dazai memeluk dan melakukan segala hal agar Chuuya dapat menenangkan hati dan melupakan rasa sakit.

"Kau manja sekali, Sayangku." Sebagai penutup, Dazai menundukkan kepalanya untuk mengecup luka itu. Membiarkan bibirnya menjadi merah pekat akibat darah, lalu tersenyum karena kini Chuuya mendapatkan jejaknya.

"Kau milikku," Dazai membuat Chuuya berterimakasih dalam hati. "Dan waktunya kita lakukan hal yang membuatku senang."

END

SeaglassNst

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

VENUSWhere stories live. Discover now