Day 14 - Your Soul Is Red

1.6K 77 5
                                    

Chuuya sudah memohon entah berapa kali. Suaranya serak akibat menangis, karena perih di liang yang dihujam berkali-kali juga sakit pada sayatan katana di paha yang memulai semua ini.

"Sakit, hentikan... Kumohon.." Ucapnya meminta walau tahu dirinya bukanlah siapapun yang berhak menolak. Ia hanya pelayan keluarga pengkhianat dan pemuda ini seorang prajurit bintang tiga. Ia hanya lelaki desa penjamu sake sementara pemilik surai brunette adalah pahlawan pemegang penguasa medan perang.

"Kau seharusnya tahu aku sangat menjaga propertiku," suaranya yang dalam sangat menakutkan. Meskipun indah tapi Chuuya tidak berani mendengarnya mengatakan ancaman. "Aku tidak memaafkan mereka yang mengambil dan merusak propertiku. Seperti majikanmu."

Chuuya hanyalah si kasta rendah. Ia makan dengan jatah dan tidak memiliki kebebasan melakukan keinginannya. Dua mayat majikannya yang terbaring di sana menjadi target segala kutukan dan amarah di dada Chuuya. Namun sekarang ia pun tidak berdaya, karena orang ini yang mengaturnya.

"Aku sedang menolongmu," dengan kasar ia menghentak. Mendorong pinggulnya hingga seluruh sel tubuh Chuuya bergemuruh. Darah di paha mengalir deras karena pacuan jantung yang berdebar. Membuat yukata yang tadinya biru indah menjadi merah kelam. "Kalau menurut, kau bebas dari kematian."

Chuuya menutup wajahnya. Begitu merona dan hancur karena ringis tangis. Namun pemuda itu tidak ingin ia menghindar. Luka di paha ditekan, darah mengalir lebih deras dan pemuda itu mengolesnya ke seluruh kulit yang hangat. Dari paha sekal, lalu otot perut kecil sampai pada puncak salah satu dada.

"Kau cantik dengan warna merah."

Chuuya menangis. Ia menangis karena ibu jari pemuda itu memoles bibir Chuuya dengan merah dari darah. Ia menangis karena kemudian tekanan pada luka kembali terasa.

"Ah! Tidak.. Sakit.. Kumohon.. Kumohon..."

Chuuya ingin menerima. Ia ingin merasa sebuah gairah karena hujaman yang lama kelamaan bertambah nikmat. Namun rasa sakit membuatnya lupa. Terlebih karena pemuda itu membelai bibir luka, memasukkan jarinya perlahan-lahan ke daging yang terbuka. Chuuya berteriak.

Air matanya berderai dan tangan yang tadi menutup wajah kini meremas seragam sang perwira. "Hentikan.. Henti—ahh!"

"Tubuhmu sangat hangat," pemuda itu berhenti mendobrak luka Chuuya. Namun dengan jemarinya yang masih dialiri darah, ia menusuk masuk pada liang persetubuhan. Menodai putih kulit Chuuya dengan merah pekat. Mencemari cairan putih yang sudah terlebih dahulu tertanam dengan kental kemerahan.

Rasa sesak melingkupi paru-paru, Chuuya merintih dan bertahan dengan cengkraman pada bahu pemuda itu. Ia tidak lagi memikirkan penghinaan karena seluruh syaraf tengah memproses rasa sakit. Kemudian ketika pemuda itu, mendekat, bibir mereka dipertemukan oleh sebuah kecupan singkat.

Chuuya terhentak. Ia menutup mata untuk menolak namun ternyata aliran panas dan basah di dalam begitu memabukkan.

"Hnhh—" Tangan yang berada di bahu perlahan menjalar, memeluk punggung kokoh sang perwira. Hentakan itu, yang seakan merobek dan memukul Chuuya berkali-kali kini menjadi buai indah dan begitu candu. "Ahh..."

Tautan terpisah. Chuuya melihat wajah orang itu tersenyum dengan bibir yang juga ikut bewarna merah. "Keluar bersamaku, mengerti?"

Seiring dengan bertambahnya tempo dan irama hentakan, Chuuya kehilangan kontrol akan suaranya. Lenguh-lenguh bercampur ringis, ia mencari pegangan dan pemuda itu memberi lengan untuk bertaut. Sampai mereka mencapai puncak dan beradu dalam tarikan napas.

Chuuya merasakan hangat darah di yukatanya kini menjadi dingin. Karena pemuda itu memisahkan penyatuan dan menarik Chuuya untuk terduduk. Mengabaikan liang yang habis digagahi dan masih merasa nyeri, ia memaksa Chuuya berdiri.

"Aku benar," katanya melihat yukata Chuuya yang basah, "Kau benar-benar cocok dengan warnah merah."

END

SeaglassNst

VENUSWhere stories live. Discover now