Sampai Duduk Tak Sempat

800 371 135
                                    

Jika kamu berani tutup telinga, memantapkan hati
untuk mengabulkan
satu kata ajaib;
memulai.
Dunia
akan punya satu
pejuang baru yang
mengajukan cerita penuh
maknanya. Tentang pelik juangmu.

     Sebagai imbalan, sebagian orang dihadiahi kejutan hingga tubuh terasa ringan, sedang yang lain disapa tekanan hingga malam habis; terlalu bersikeras mengusir dingin yang mengeroyok.

•••

Surabaya, Juni 2021

"Sudah besar kamu, ya, Sha?" tanya seorang wanita jangkung yang sejak tadi mengamati si adik perempuan—satu-satunya—dari tempatnya duduk.

     Sore ini, warna jingga yang mendominasi langit memanjakan pesonanya, tanpa peduli jika para manusia di darat tetap berpura-pura sibuk, tak mau tahu jika sebagian orang tak pernah menaruh atensi untuk mengatur napasnya sejenak. Langit menebar sinar hangatnya yang lebih mirip seperti pelukan, jika tertimpa ke kulit.

     Piza—si wanita jangkung—dan adik perempuannya yang sejak tadi terlihat mencoba menyibukkan diri dengan gawainya duduk berjejer, rupanya wanita berusia 24 tahun ini benar-benar tidak dipedulikan kehadirannya. Piza yang mengambil cuti dari pekerjaan perantauan itu terusik, jarang sekali adiknya memilih untuk bungkam, setidaknya kesimpulan seperti itu yang Piza dapat dari pengalaman beberapa tahun silam.

   Piza lupa masa lampau tidak pernah bisa dijadikan acuan untuk mengenali seseorang, pun menilai seseorang. Karena hal-hal disekitar kita saja dapat berubah dalam waktu singkat; bangunan, dekorasi suatu tempat, minat. Apalagi seorang manusia; yang setiap harinya dijejali jutaan informasi.

     Mendengar lawan bicaranya meluncurkan pertanyaan remeh, dahi Anesha—orang sok sibuk—itu mengernyit, pandangannya pada gawainya kini beralih pada bunga-bunga yang tertanam didepan teras rumah, angin membuat daun bunga saling melambai, seakan meledek tuan rumah yang hanya memilih berdiam diri ditempat redup. Menurut Anesha, sore akan lebih berarti jika diisi dengan renungan kegiatan hari ini. Apa yang perlu kita koreksi dari hari ini; itu yang perlu kita hindari besok.

    Setelah meletakkan gawainya di meja bundar teras, Anesha menghela napas dan memecah keheningan. "Kayak yang nge-giring ulang tahun buat nemuin aku itu detik, gak lagi tahun."

    Piza hanya menatap adik kecilnya tanpa suara. Kadang berhadapan dengan anak itu—Anesha sudah seperti menyelesaikan teka-teki saja.

"Ternyata selama aku hidup, aku sudah ngabisin waktu setengah bulan cuma buat ulang tahun ya, Kak?"

     Selesai meneguk teh panasnya Piza dibuat tertegun, pemikiran macam apa itu? Lalu mengapa pandangan mata adiknya tidak tertuju padanya, meski sedang berusaha menyelaraskan isi pikiran? Anesha mengusap muka dengan satu tangan, sebelum akhirnya tersenyum simpul.

    Di manapun, seharusnya dia tau dimana tempatnya harus berada; bahwa suaranya tak lain hanya sekadar angin lalu yang banyak diabaikan, atau mirip sebuah sorot lampu bertahun-tahun yang tidak diganti; tidak teranggap cukup mampu menerangi satu ruangan sekalipun.

     Piza menepuk pundak Anesha, ia diam-diam dikejutkan oleh kerasnya formasi pertahanan pundak si adik. Hingga saat ditepuk cukup kuat, ia tidak goyah. Anesha mengalihkan pandangan pada Piza dengan sorot mata yang kelelahan. "Suhu tangannya hangat," batin Anesha sembari tak sadar mengendorkan level kewaspadaannya.

    Seharusnya, sejak tadi ia menurunkan pundaknya, agar Piza tidak perlu merasa terintimidasi. Setelahnya, Anesha diam-diam menyembunyikan tangannya yang terasa dingin. Terkadang, terlalu waspada hanya akan menguras energi.

"Jadi, habis ini mau kemana?" tanya Piza dengan senyum merekah, nada suaranya masih terdengar seperti seorang kakak yang antusias ingin bermain dengan seorang adik yang belum bisa merangkak.

      Jika mewawancarai orang digaji, Piza pasti akan menjadi salah satu kandidat terkuat. Tapi sepertinya dia tidak tahu jika waktunya salah, karena ia baru hadir ketika gemuruh mulai dapat dikendalikan sendiri oleh pemiliknya.

"Mau kedapur, bikin es kopi," jawab Anesha sambil memperhatikan hewan yang mengisap sari bunga di taman kecil depan teras, yang tampak berlama-lama memamerkan sayapnya yang diyakini begitu menarik perhatian dengan angkuh.

    Piza menggelengkan kepalanya, ia menjelaskan bahwa pertanyaan tadi mencakup tujuannya setelah ini. Anesha tak berniat mengalihkan pandangannya, kenapa selalu terburu-buru? Apa kalau bernapas sebentar akan tertinggal? Seberapa jauh, hingga tak sempat terkejar?

    Anesha yang tidak pernah menyukai rencana harian yang tertulis itu tertawa dalam hati. Karena, untuk apa berbaur untuk sesuatu yang mengikat dan mengontrol?

"Mau ngilang aja, Kak. Soalnya katanya tumbuh itu ribet," usul Anesha sekenanya.

Tentu ada alasan lain lagi, karena yang tampak sederhana. Bisa jadi hanya kerumitan yang menyamar, agar terkaan tidak semakin melebar. Orang-orang dewasa meluapkan amarahnya karena kewalahan; kalau masalah datang dari seluruh penjuru arah, mereka lupa jurus ampuh: hadapi satu-satu. Ajak yang lain berdamai, agar mereka mau menunggu dan tidak memberontak.

"Kamu tahu gak kenapa kita harus menguraikan hal-hal rumit?" tanya Piza sambil membukakan toples yang berisi permen, dan menyodorkannya ke arah si adik yang tidak berminat melirik.

    Semakin kesini semakin mencurigakan, Anesha sedikit terusik dengan topik yang Piza ambil. Anesha menyisipkan rambutnya agar kini daun telinganya tampak, memeriksa jika pendengarannya mengada-ada.

"Karena orang-orang gak punya kerjaan?" jawab Anesha yang begitu menangkap Piza menahan tawa, ia mulai menunjukkan secuil pendapatnya yang minta disuarakan.

"Atau biar tetap kalem ketika masalah maju, karena sudah tahu taktik menyiasatinya?"

    Seketika tawa yang Piza tahan pudar, terganti dengan anggukan cepat dan senyum hangatnya. Ia meminta Anesha menjawab pertanyaan lain yang telah dirinya ajukan tapi dibiarkan abai.
Jadi, habis ini mau kemana?  Sudah jelas sekali jawabannya; Anesha ingin menemukan dirinya sendiri, yang terpencar, terbawa oleh orang-orang yang telah ia percaya tapi malah pergi, membiarkannya digerogoti sepi.

Banyak orang tidak tahu diri, meski telah diberi.

"Emang apa pentingnya sih, Kak!" tekan Anesha yang sesaat kemudian tertegun.

    Karena Piza hanya membuat Anesha berpikir bahwa Piza jarang mengupayakan agar pertanyaan-pertanyaan yang bertengger di kepalanya sendiri terjawab; sebab terlalu sibuk mencari jawaban orang lain yang seharusnya tidak pernah jadi perkara penting. Bukankah semakin banyak kita tahu seseorang, semakin besar kemungkinan kita hanya membangun hubungan yang rumit?

"Lihat apa yang bakal kejadian aja," kilah Anesha sambil merilekskan sedikit otot wajahnya.

    Gemuruh di isi pikiran saling mendongkrak, penuh harap agar si pemilik sedikit bersuara tentang bagaimana pengalaman menjadi sebab tumpukan rasa. Rasa yang terlambat dipahami karena terlalu ragu untuk sekadar meminta barang 1 pendapat dari raga lain.

    Anesha menyimpan lebih banyak cerita, tidak dibiarkan kembali mengudara, atau terselaraskan. Sengaja, kebanyakan kasus peluruhan masalah lewat bercerita tidak berujung lega, malah bingung. Bagaimana kalau nanti mereka tertawa dalam hati, karena langkah yang kita ambil terlalu payah? Jangan terlalu terbuka; jangan beri mereka senjata yang suatu saat membidik dirimu sendiri.

Jadi, biarkan aku dirangkul abu-abu saja, mereka menawarkan aman.

Meski di lain waktu,
justru meledekku yang terjebak;
diterkam kewalahan.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang