Hari Panjang yang Sukar Bergulir

2K 212 124
                                    










✧❀✧━

Dikirimkan dari bumi, lengkap dengan sebuah kotak berwarna coklat dan juga pita serta prangko yang aku beli saat di Jogja.
Entahlah. Entah akan bagaimana bentuknya jika surat ini sudah sampai di tanganmu, Ya. Semoga saja masih layak untuk dibaca, makanya aku guratkan tulisan tangan terbaik yang aku punya. Hahaha.

✧❀✧━



















Untuk, Istriku.
Gaia Shatara Bayuni.

Kamu tahu, Ya?
Yang paling menarik dari Pencipta kita adalah beragam kejutannya. Saat selangkah lagi aku rasa enggan untuk percaya dan peduli pada ajaran-Nya, Ia kirimkan manusia lain, sebagai pembawa kisah kebaikanmu.

Mereka mengisahkan bagaimana kebaikan seorang Gaia Shatara Bayuni dengan begitu agung dan sempurnanya. Sorotan mata teduh itu nampak bersungguh-sungguh dalam merawi derma semasa kamu hidup. Dunia seolah memperlihatkan bahwa kebaikan tulus akan terkuak kala sosoknya sudah pergi menjelma abadi.

Aku ditampar, sekali lagi. Nampaknya angkuh jika aku bersikukuh tidak percaya Tuhan beserta takdir ini. Sebab, jika aku tidak percaya pada-Nya, melalui siapa aku akan mendoakan kamu di sana? Kepak sayap burung terlalu lemah kala dipaksa menghantarkan berbondong doa-doa ini untukmu, bukan? Sebab pada kenyataannya, istriku ialah insan berbudi yang mewarisi doa bukan hanya dariku saja.

Tatkala kamu berkalang tanah, di dalam mobil itu, aku tahu bahwa sudah tidak ada lagi denyut nadi dalam ragamu. Aku periksa sekali lagi, barangkali ketegangan ini membuatku tak teliti. Nihil, tetap tak bersisa.

Kamu di mana pada saat itu?
Kamu melihat kalut yang aku rasakan?
Kamu tahu ada duka yang sukar disalurkan? Hingga hari ini, kematianmu juga mematikanku. Hariku tak lagi remang, tetapi padam. Lentera dari lampu neon penerang jalan, tak mampu berikan secercah pelita dalam denyut ini.

Rasanya masih gamang.
Seolah mengawang di antara mimpi dan kenyataan. Aku masih payah untuk percaya, jika Tahlil serta lantunan Yasin ini dipersembahkan untuk kamu, teman hidup hingga baka.

Sejak fajar itu, aku tidak lagi tetap hati untuk kembali ke kamar kita. Tempat yang biasa kita gunakan untuk merangkai kasih dan memamerkan cinta pada dunia, juga menjadi tempat aku menemukan kamu tidur dalam keabadian. Barangkali saat ini dunia tengah lantang menertawakan sikap jumawaku. Mengira bahwa sakinah ini bukan bentuk fana dari tipuan waktu.

"Gaia nggak punya penyakit jantung, dok."

Teriakanku masih membekas di lorong UGD tempat aku biasa hilir mudik untuk memenuhi sumpah serta menunaikan baktiku. Rekan sejawatku juga sama pilunya, tak sampai hati mereka untuk memberitahukan kematian kamu. Sekiranya mereka tahu bahwa saat itu nyawaku juga laksana dicabut paksa.

"Dok, istri saya nggak punya riwayat penyakit jantung. Dia tadi bilang mau tidur sebentar, Dok. Ayolah, kita sudah kenal baik, Dokter Reyhan. Coba periksa istri saya sekali lagi, bangunkan dia. Sekali lagi, Dok. Demi saya."

Dokter Reyhan menitikan air matanya, Ya. Sedangkan aku bahkan tidak bisa untuk menangis. Aku hanya bisa marah, entah kepada siapa. Umpatan dan celaan bahkan tertahan di kerongkongan, meski ingin sekali diserukan kala itu.

Tilikan ini nampaknya kosong. Seketika dibuat buta dan tuli, serta hatiku turut mati dalam sekejap. Yang aku lakukan hanya diam, duduk di kursi ruang tunggu, tanpa bisa merasakan dan bereaksi apa-apa. Yang juga menyakitkan adalah, tepukan bahu dan permintaan maaf dari dokter nyatanya tidak mengurai beban ini, Ya. Ternyata yang aku lakukan tiap kali menghibur keluarga pasien, tidak membantu banyak.

Bebannya tetap terasa sama.
Runtuhnya dunia juga tak segan untuk mengungkung saluran pernafasan, hingga mati rasa. Lalu perlahan, organ-organ ini memaksa agar diselimuti udara. Dari situlah aku disadarkan, aku tidak mungkin bermimpi dalam mata terbuka.

"Suster, tolong bangunkan istri saya. Barangkali ia merasa sungkan jika mendengarkan suara Dokter Reyhan. Katakan pada Gaia, saya menunggunya. Tidak mungkin ia membangkang saat perintah itu datangnya dari saya."

Aku merintih dan mengais sisa luruhan diri dalam satu tawa nyaring. Tawa itu justru melahirkan senyap yang membekas dalam relung hati ini setiap waktunya.

Dunia dan gurauannya yang tak menarik.
Di satu waktu, aku disebut sebagai perantara Tuhan guna menyembuhkan tiap-tiap nyawa yang sakit. Namun, di satu waktu yang lain aku harus menelan pil pahit. Membiarkan pahitnya menguar kian parah sepanjang hari, sebab nyatanya si 'perantara Tuhan' ini kecolongan. Ditinggal istrinya pergi, kala terlena siapkan sarapan pagi.

Benar. Aku jawara dalam memperolok diri. Sukar luruhkan hati untuk kembali menerima diri. Aku merasa perlu ampunan darimu dalam menyiapkan suatu langkah kaki.

Bagaimana bisa kamu pergi tanpa sebuah salam pisah? Yang menjemputmu, pasti meminta untuk segera bergegas, ya? Hingga delapan tahun kebersamaan kita pun masih dirasa kurang berhak untuk menahanmu sekejap dari panggilan langit yang begitu agung.

Aku bawa kerandamu dengan kesadaran yang tidak penuh. Duka ini merundung terlalu tiba-tiba, hingga sulit bagiku untuk mencerna setiap waktu dari kejadian hari itu. Rasanya hanya gelap, seolah hari itu adalah ujungnya dunia. Tak lagi aku dapati riak masa depan, yang ada hanya kesuraman.

Runtuh, luluh lantak segala impian yang sudah tersusun dalam bait masa depan.
Nyatanya, kita sudah kehabisan waktu.
Kamu dipersunting dengan kematian, sedang aku merana dalam keadaan tunggal.
Keji, tetapi ini takdirnya.

Sejenak aku menepi. Membiarkan diriku tenggelam di batas waktu antara terang dan gelap, manusia menamai itu sebagai waktu petang. Waktu dimana terlukiskan dengan gagah sebuah mahakarya Tuhan yang begitu dielu-elukan, senja. Senja itu tetap hadir, mengisi kekosongan hari serta hati yang tengah teriris habis. Ia tetap hadir, Ya. Tak lupa, setia menjadi manawan seperti hari sebelumnya. Tak peduli jika salah seorang pendambanya sudah terjebak dalam ruang kekekalan, senja itu tetap hadir dengan rupawan.

Bising klakson mobil dan motor tetap bersautan, riuh suara anak-anak kecil juga masih lantang bersemangat. Tidak ada yang peduli, bahwa hari itu kedukaan tengah memelukku dengan erat. Aku merasa sekarat, tetapi disaat yang bersamaan orang-orang menyantap bakso dengan nikmat. Hahaha, dunia dan perputarannya yang keparat.

Tidak ganjil, tidak pula genap.
Malam itu terasa sangat panjang. Lantunan ayat-ayat suci masih bersautan, sedang hatiku betah mempertanyakan makna kehilangan. Aku dibuat tercekat, kamu tahu? Rasanya seperti dipaksa menelan mimpi buruk yang paling sialan di bumi ini.

Subuh tadi kamu masih menjadi makmumku, sedangkan maghrib ini aku harus menangisi kepulanganmu, menyaksikan Ibu dan Bapak berpegang saling menguatkan, merasakan tiap tepukan bahu tanda bela sungkawa.
Coba kamu jadi aku, Ya. Dijungkirbalikan dunianya dalam satu tarikan, lalu semesta tertawa terbahak seraya berkata,
"Sudah sudah, memang ini takdirnya."

Bedebah, bukan?

Tanpa salam.
Tanpa satu kecupan.
Tanpa hangat pelukan.
Perpisahan kita, begitu paripurna.
Lafadz adzan lirih pada telingamu, ditambah kecupan hangat pada batu nisan ini.
Perpisahan kita, dirayakan oleh dunia.
Tamunya bertopeng air mata, doa-doa sebagai lambang keabsahan hadiah, merana ini adalah pengganti sukacita.

Dalam kemalangan ini, aku tersenyum samar.
Kita adalah pemenangnya. Cinta kita terlalu menggebu, hingga semesta nampak cemburu. Tahu bahwa talak cerai tak akan mampu, maka ajal datang menjemputmu. Ini adalah pelabuhan termahsyur dalam sejarah cerita cinta di dunia. Pulanglah, meski belum mampu ikhlas, tetapi aku bangga karena cinta ini mengukuhkan kita hingga akhir.















Larik dalam sabda cinta ini, hantarkan
kita pada kemenangan yang mutlak.
Selamat istirahat, Gaia-ku.

Jakarta,  Juni 2019.
Gaharu Sadha Lubis.

SURAT INI TANPA ALAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang