BAB 14

37 4 0
                                    

"Mas, makan dulu. Makanan udah siap," ujar Anis sambil menghampiri suaminya yang tengah menonton televisi di kamar.

"Belum lapar!" ketus Yudha. Matanya masih menatap lekat-lekat ke layar televisi yang menampilkan acara talkshow yang membicarakan masalah covid-19.

"Tapi kamu belum makan dari siang, Mas. Lebih baik sekarang makan dulu, ya. Nanti makanannya dingin," ucap Anis lagi dengan lembut. Meskipun Anis tahu suaminya itu berselingkuh dengan wanita lain di luar sana, tapi Anis ingin menunjukkan bahwa ia akan berusaha mempertahankan rumah tangga yang telah dibangung bertahun-tahun itu.

Bagi Anis, ini menyakitkan karena harus menelan kepahitan itu sendirian. Ia juga harus berpura-pura tegar dan terlihat baik-baik saja di depan orang-orang. Namun, itu semua ia lakukan agar keluarganya tetap utuh dan bisa melewati badai yang begitu kencang ini. Anis percaya badai tak akan selamanya ada. Suatu saat ia akan mereda dan sirna seiring dengan waktu yang terus bergerak. Anis hanya berdoa semoga ia kuat menghadapi ini semua.

"Kamu itu tuli atau apa, sih?! Aku kan sudah bilang kalau aku belum lapar!! Nggak ngerti juga, hah?" bentak Yudha dengan mata melotot ke arah Anis.

"Kenapa kamu marah-marah begitu, sih, Mas? Aku kan hanya khawatir akan kesehatanmu," ucap Anis pelan. Matanya mencoba menatap mata Yudha untuk melihat masihkah ada cinta di sana. Namun, sayangnya Yudha malah membuang muka seolah enggan menatap wajah istrinya.

"Hhh ... kesehatan? Kamu tahu apa kamu tentang kesehatan?" Yudha tertawa terbahak.

"Aku ini dokter! Aku yang lebih paham tentang kesehatan daripada kamu. Nggak usah sok pintar, deh!" teriak Yudha membuat Anis langsung mengurut dada dan menggelengkan kepala. Ia mencoba untuk bertahan dan tak mengeluarkan air mata. Kata-kata Yudha yang menyakitkan itu ia coba untuk tak dimasukan ke hatinya.

"Ooh, ya udah, Mas kalau begitu. Aku minta maaf, tapi aku nggak maksud menggurui kamu. Aku hanya peduli padamu. Itu aja," jawab Anis lugas. Kemudian Anis pergi ke ruang makan dengan langkah gontai. Alih-alih makan, Anis malah melamun menatap deretan kursi yang mengelilingi meja makannya. Ia jadi teringat dulu, ketika awal-awal menikah Yudha selalu bersikap baik padanya. Ya, meskipun dia bersifat introvert, pendiam, cuek, dan bukan lelaki yang romantis, tapi tak pernah sekalipun ia membentak jika marah atau ada yang tak disukainya.

Ketika memiliki putri pertama yaitu Gendis, sikap Yudha memang sedikit berubah karena ia merasa kecewa saat mengetahui anak pertamanya adalah perempuan. Pria flamboyan itu sangat menginginkan anak perempuan. Begitupun dengan ibunya dan keluarga besarnya, sebab Ibunya sudah mempunyai tiga cucu dan itu perempuan semua. Sontak saja mereka kecewa ketika tahu anak dan cucu mereka yang keluar saat itu adalah seorang anak perempuan.

Sebagai seorang ibu Anis disalahkan oleh mertuanya. Padahal menurut teori kedokteran sendiri gen utama sperma itu dari sang Ayah. Sperma tersebutlah yang menentukan anak berjenis kelamin lelaki ataupun perempuan. Namun, bagi Anis laki-laki dan perempuan sama saja. Saat itu ia tetap bersyukur memiliki Gendis yang begitu cantik dan memesona. Lamunan Anis buyar saat ponselnya kemudian berbunyi nyaring. Sebuah nomor yang tak dikenal. Anis langsung menekan tombol "tolak." Namun, si penelepon kembali menghubunginya membuat akhirnya Anis penasaran dan mengangkat telepon tersebut.

"Halo, siapa ini?" tanya Anis ragu. Wanita itu takut kalau yang menelepon ini adalah seorang penipu atau orang iseng. Ia pernah mengalami hal itu. Ditelepon dengan orang tak dikenal lalu mengaku sebagai polisi dan mengatakan anaknya terlibat narkoba dan orang itu meminta sejumlah uang untuk ditransfer. Awalnya Anis percaya, sebab saat itu telepon Juna maupun Gendis tak bisa dihubungi, tapi setelah Mbok Pon memberitahunya, Anis baru sadar bahwa itu adalah penipuan.

"Iya, Halo! Anis, kamu belum menyimpan nomorku?" tanya orang di ujung telepon dengan suara riang membuyarkan lamunan panjang Anis.

Wanita itu membeku saat mendengar tawa yang renyah itu. Sebuah tawa yang selalu menghangatkan hatinya. Dulu. Bertahun-tahun yang lalu.

PSBB (Pahami Sayangi Biar Bahagia)Where stories live. Discover now