02 🍬 Tanpa Batas Waktu

2K 348 30
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --
🍬🍬

Terkadang, dalam bersedih, ayah lebih banyak diam karena memang tak pandai untuk menangis. Setidaknya mungkin kalimat itu yang kini sedang berputar dalam otak. Mengganggap bahwa cinta seorang ayah akan selalu tersembunyi di dalam hati dan senyumannya.

Lalu apa kabar hati saat mengetahui tangisan daddy untuk putra-putrinya? Setidaknya seperti yang bunda katakan kepadaku.

Kembali lagi pada filosofi matahari, dia tidak pernah memilih siapa yang harus disinari. Harusnya dengan meneladani itu, aku bisa menghargai adanya sebuah perbedaan dengan meletakkan lidah di belakang akal, bukan lidah di depan akal. Nyatanya banyak silaturahim terputus berpangkal dari lidah yang menyebabkan keegoisan manusia.

"Pulang ke rumah Blitar besok. Ada yang ingin daddy dan bunda sampaikan kepadamu. Bilang ke bang Hafizh kalau kamu izin tidak masuk kerja selama 3 hari paling lama." Aku hanya bisa pasrah, cinta pertamaku bertitah dan aku harus menurutinya. Kiranya ada hal yang sangat penting hingga menyuruhku harus minta izin abang segala.

Daddy berada di kamar saat aku datang, ramainya rumah menandakan sepertinya akan ada tamu agung yang hendak berkunjung. Aku menemui cinta pertamaku, pertemuan kami yang terakhir berakhir dengan suasana mencekam. Tentu saja hatiku menolak, seolah aku menjadi seorang anak tiri yang dihempaskan keinginannya karena kasih orang tua yang tidak sama.

"Di rumah sebenarnya akan ada apa Dad? itu tadi kok aunty Aira dan aunty Devi sedang membuat kue dan seperti sedang mau memasak besar." Aku memberanikan diri bertanya saat kulihat daddy sedang asyik mengerjakan beberapa laporan klinik aunty Devi.

Nyatanya tamu yang dimaksudkan daddy adalah keluarga kak Kama yang ingin bertemu denganku. Tentu saja aku terkejut saat daddy berkata dia mengajakku berta'aruf. Kalau masalah keluarga, daddy pasti juga sudah tahu siapa keluarga kak Kama tapi hatiku, ya Rabbi illahi menikah itu bukan seperti membeli kacang goreng. Kemarin nggak dapat lalu hari ini nyari yang lain, tidak.

Meski daddy mencoba untuk menceritakan bagaimana takdir mempersatukannya dengan bunda dan mencoba menggabungkan dengan kisahku dengan kak Kama yang mungkin nanti akan tercipta jelas itu bukan perbandingan yang seimbang menurutku. Hati kecilku tetap saja tidak bisa menerimanya. Mereka berdua benar-benar menganggapku anak tiri.

Kedatangan keluarga kak Kama sama sekali tidak bisa mengambil simpatiku. Terlebih karena aku mbak Ayya ada bersama mereka. Layak jika akhirnya aku menyimpulkan sebuah konspirasi untuk mengkudeta inginku seiring dengan adanya kak Kama yang menginginkanku menjadi pendamping hidupnya.

Namun pada akhirnya, demi senyum daddy aku hanya bisa menjadi anak penurut. Duduk diantara semuanya dan mendengarkan perbincangan basa basi hingga membuat dadaku sesak. Seolah menjadi tersangka namun tidak melakukan apa-apa itu rasanya seperti pesakitan yang langsung diberikan dakwaan oleh hakim, sakit.

"Al__, maaf kalau rasanya aku tidak memberitahukanmu atas kedatanganku kemari." Kak Kama mulai mengajakku bicara. Siapa yang mengatakan dia tidak baik? Rasanya semua setuju kalau kak Kama itu adalah pria baik demikian juga denganku, aku pun setuju bahwa dia orang yang baik. Tapi meski demikian bukan berarti hati bisa langsung dengan seenaknya berpindah sendiri. "Bukan karena aku egois, hanya saja aku tidak ingin menyimpannya terlalu lama."

"Kak, tapi kan kak Kama tahu sendiri aku mencintai siapa? Mengapa kak Kama justru membuat posisiku semakin sulit?" aku telah berterus terang namun seolah dia memilih untuk tidak mendengarkannya dengan mendatangi keluargaku.

Dengan apa pun upaya aku menolak. Bukan karena dia tidak baik. Sudah kubilang kalau kak Kama orang yang baik. Namun hatiku tidak bisa menerimanya. Dia lebih baik kuanggap sebagai seorang kakak daripada calon suami.

love of ALMIRAWhere stories live. Discover now