Prologue

147 4 3
                                    

TIME: PRESENT

AKU sedang menemani anak sulungku belajar di ruang tengah ketika bel rumah berbunyi. Razaan—anak lanangku yang manis itu langsung menawarkan diri untuk melihat siapa yang datang. Aku hanya menggeleng pelan sebagai jawaban dan gegas beranjak dari dudukku dengan semangat. Membuat Razaan tampak kebingungan melihatku yang begitu antusias.

"Ibu Amara Febriana?" tanya kurir yang bertengger di depan pagar rumah.

"Iya, pak," jawabku dengan senyum berseri sebelum menandatangani tanda terima yang ia berikan. Kemudian, aku kembali memasuki rumah sambil berlari-lari kecil bak anak remaja yang baru mendapat surat cinta dari sang kekasih nun jauh disana.

"Apa, Ma?" tanya anakku penasaran. Razaan tampaknya terbingung-bingung melihatku begitu berbinar-binar.

"Dari Papa," jawabku. "Novel yang Mama titip waktu itu."

Razaan cuma manggut-manggut. Sementara itu, aku sibuk membuka paket tersebut dari segala sisi. Sempat mencari-cari gunting yang kemudian Razaan pinjamkan dari kotak pensilnya, aku akhirnya berhasil membuka paket tersebut. Desahan kecewaku setelahnya langsung membuat Razaan menoleh. "Kenapa?" tanyanya lagi.

Aku melambai-lambaikan novel tersebut ke arahnya. "Kebiasaan," aku mendengus. "Papa salah beli lagi."

Razaan cuma tertawa. Suamiku memang tidak pernah berubah. Dari minta titip bumbu dapur di tukang sayur dekat rumah sampai titip novel dari Jepang, tidak ada yang dapat ia tuntaskan dengan benar.

"Lagian, kenapa mesti dikirim sih, Ma?" tanya Razaan kebingungan. "Kan nanti Papa juga pulang."

"Papa baru pulang Agustus. Acara bedah bukunya minggu depan. Makanya Papa terpaksa harus kirim sekarang."

"Emang bukunya enggak ada di Indonesia?"

"Ada, sih. Tapi, ini cetakan pertamanya. Walaupun bekas, memang. Cuma, cover-nya lebih autentik yang ini. Dan ada tanda tangan penulisnya. Rare item ini, Mas!"

Razaan cuma mengangguk-angguk mendengarkan alasanku, kemudian kembali sibuk dengan tugasnya. Sementara itu, aku mulai mencoba menghubungi suami, memberitahu kesalahan apa lagi yang telah ia perbuat sekarang. Setelah beberapa kali panggilanku tak diangkat, akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat.

"Ma," panggil Razaan ketika jemariku sedang sibuk menari di atas layar ponsel.

Aku meliriknya cepat sambil kembali sibuk dengan ponselku. "Hm?" responsku sekenanya.

"Gimana pertama kali Mama ketemu sama Papa?"

Kontan, aku meletakkan ponselku dan menatap anak remajaku sejenak. Aku terhenyak seketika dan menelan ludah susah payah. "Kenapa kamu tanya begitu?" tanyaku akhirnya.

Ia mengedikkan bahu. "I'm just.... curious,"  jawabnya acuh tak acuh sambil sibuk mengerjakan sesuatu di buku tulisnya.

Aku terdiam sejenak. Sekejap, masa mudaku kembali terputar di benak seperti adegan di film-film.

"Mmm... Mama tau Papa dari kecil, sih. Tapi, Papa sama Mama baru berteman baik sejak nge-band."

"Band?!"

Aku terkekeh melihat bola mata anak sulungku yang tiba-tiba membulat sempurna. "No, it's not what you are thinking," tukasku mencoba mematahkan ekspektasinya. "Mas jangan bayangin band Mama sama Papa itu yang serius banget dan udah sering manggung dimana-mana gitu, ya."

Razaan rupanya tetap terlihat antusias dan mengabaikan ucapanku. "Itu... kapan?"

"SMP?" Aku berusaha mengingat-ingat. "Iya. Akhir SMP. Karena ujian praktek."

"Mama main gitar?"

Aku mengangguk puas dengan senyum bangga. "Dan.. nyanyi."

Sekarang, bibir anak sulungku sedikit terbuka karena rasa takjub. Ah, andai saja dia pernah menyaksikan bandku, ia pasti mengerti apa yang aku maksud. "Ngeband sama siapa? Teman-teman Mama sama Papa?!"

Aku mengangguk. "Hmhm. Teman-teman Papa awalnya, yang akhirnya jadi teman Mama juga."

"Om Danu? Om Idris?" cecarnya penasaran. "Aku pernah ketemu mereka, gak?"

Aku menggeleng. "Om Danu sama Om Idris itu teman kuliah Papa. Mama sama Papa itu nge-band sama teman SMP dan SMA kami. Kamu belum pernah ketemu mereka, karena... mereka juga sudah mencar-mencar sekarang."

Razaan pun ber-oh ria. Tampak jelas wajahnya masih dipenuhi raut penasaran. "Papa dulu orangnya gimana, Ma?" tanyanya lagi penuh rasa ingin tahu.

Aku terdiam sejenak. Berusaha mengingat-ingat bagaimana suamiku dulu. Yang jelas.... dia memang lumayan banyak berubah.

"Papa itu dulu..." mulaiku, "... terkenal. Papa itu sangat terkenal."

Razaan sudah benar-benar melupakan apa yang ia kerjakan sedaritadi. "Ohya, ceritain dong!"

*****

Friends, Lovers or Nothing? [BAHASA]Where stories live. Discover now