Pembatalan Resepsi

8 2 0
                                    

Aku mematut diri di depan cermin, memeriksa jengkal-demi jengkal penampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai semuanya tampak sempurna.

Setelan kemeja putih, celana bahan hitam, dasi...

Wajahku tampak cukup tampan saat ini, kurasa.

Hampir selesai. Aku akan menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan seseorang yang istimewa. Bahkan sangat istimewa. Dan saking istimewanya, bahkan sampai merobek hatiku.

Aku menatap wajah di cermin. Memastikan senyum selalu muncul, bahagia tampak dan jangan sampai ada air mata yang keluar.

Karena aku tidak ingin robekan di hatiku terlihat oleh orang lain.

***

Pertiwi Adinda Dewi, itu adalah nama orang yang spesial bagiku dan sangat kukagumi. Dia seorang model yang sangat...

Cantik. Andai kau bisa melihatnya, betapa dia itu bagaikan seorang dewi sungguhan. Matanya berwarna cokelat terang, rambutnya bergelombang sangat indah dengan warna senada mata. Lalu alis yang memanjang mirip sayap burung di angkasa, bertengger di atas kelopak mata yang nampak sayu nan manis.

Sangat sempurna bukan main.

Akhirnya air mataku menetes melihat dewi itu yang sekarang.

Dia sedang asyik bersama dua orang wanita spesialis rias di dalam kamarnya. Sibuk mematut gaun putih yang melekat di tubuhnya, seraya memoles make up di wajahnya.

Tampak bahagia sekali. Berbeda denganku seratus delapan puluh derajat.

Dia menoleh ke arahku. Segera kuusap ujung mata.

"Yanuar! Kemari, masuklah!"

Tangannya yang dihiasi tato khusus pengantin bermotif  batik itu melambai ditemani senyuman menawan dari bibir sensualnya.

Aku hanya diam di tempat, membalas senyuman itu,

"Aku akan keluar sebentar, nanti kembali lagi, Pertiwi. Permisi,"

Ujarku, melangkah meninggalkan kamar itu dengan langkah agak gemetar...

Berkali-kali kuusap wajah, memastikan tidak ada air mata yang terlihat. Karena itu akan memalukan.

Bagaimana reaksi orang-orang melihat seorang Yanuar menangis? Maksudku, karena aku ini laki-laki, bagaimana reaksi mereka yang melihat?

Para tamu datang berbondong-bondong memenuhi kursi  undangan. Mereka berceloteh, mengobrol bahagia ikut merayakan persepsi ini.

Sedangkan aku, duduk di tengah-tengah para hadirin dengan luka hati yang harus kututupi serapi mungkin. Walaupun, satu dua orang tetap tahu persis bagaimana keadaanku sekarang. Tepatnya keadaan batinku.

Satu dua orang itu adalah orang-orang yang mengetahui persis bagaimana sikapku terhadap Pertiwi. Bagaimana kekagumanku terhadapnya, bagaimana aku sangat menginginkannya...

Dan sekarang harapanku hampir pupus dan memang akan pupus setelah hari ini. Hari bahagia bagi Pertiwi dan hari duka bagiku.

Kejam. Jantungku terasa disayat ribuan pedang.

Sakit. Tapi tidak  ada darah yang keluar.

Nasib cinta bertepuk sebelah tangan.

Tinggal menunggu si mempelai pria datang, sebentar lagi, untuk melaksanakan akad yang telah dinanti-nanti kedua belah pihak pengantin.

Tiga puluh menit berlalu cepat. Kemudian berubah menjadi satu jam. Dua jam. Tiga jam. Hampir empat jam berlalu. Para undangan mulai bertanya-tanya heran, penghulu pun tampak sudah tak sabar dengan lamanya duduk menunggu pelaksanaan akad.

Waktu penyambutan kedatangan mempelai pria telah terlewat jauh.

Kulihat gurat kecemasan tergambar di wajah Pertiwi dan keluarganya. Akhirnya, salah ssorang dari mereka berinisiatif menghubungi pihak keluarga mempelai pria, untuk menjawab kegelisahan mereka.

Aku tidak tahu apa isi percakapan telepon kedua belah pihak keluarga pengantin ini, tetapi sepertinya memang bukan sesuatu yang menyenangkan.

Anggota keluarga yang berinisiatif menelpon tadi, segera menghampiri Pertiwi dan keluarganya, memberitahukan hasil percakapan barusan.

Perlahan, aku mendekatkan posisiku ke arah mereka.

Entah ini mimpi atau bukan, kulihat ibu Pertiwi menutup mulut dengan tangan, diiringi mata yang melebar. Tarkejut.

Lalu, Pertiwi, dia...

Roboh. Tubuhnya terkulai lemas tak berdaya. Dia tak sadarkan diri. Orang-orang di dekatnya, degan sigap membawa tubuh yang pingsan itu ke kamar. Sementara orang lainnya tampak kaget, heran, penuh tanda tanya melihat kejadian di depan mata mereka.

Beberapa saat kemudian, seorang pria berpakaian motif batika yang merupakan bapak kandung Pertiwi, mngumumkan sesuatu yang cukup mencengangkan para hadirin dan tamu undangan.

Yaitu,

Pernikahan di-ba-tal-kan.

Benar. Kau tidak salah membaca.

Pernikahan ini dibatalkan. Tidak akan ada akad. Resepsi dibubarkan, dan alasan pembatalannya tidak akan dibeberkan ke publik. Itu rahasia pihak keluarga penyelenggara acara.

Para tamu pun terpaksa bubar dengan penuh tanda tanya di kepala dan rasa penasaran di dada. Mereka bertanya satu-sama lain, menerka apa gerangan yang telah terjadi, mengira-ngira, bahkan berprasangka seenaknya mengapa acara resepsi besar yang telah dirancang sedemikian rupa, dibatalkan begitu saja, hanya dalam itungan menit.

Beda orang, beda reaksi. Begitu pun dengan pembatalan acara ini. Ada yang heran, kaget, sedih, kecewa, marah bahkan senang dengan kejadian tersebut. Dengan reaksi yang berbeda seperti itu, tentu posisi orang-orang tersebut di dalam hidup Pertiwi dan keluarganya pun berbeda.

Ada yang menyukainya, mencintainya, ada yang biasa saja atau bahkan ada yang tidak suka padanya dan membencinya. Tetangga, sahabat, keluarga, teman, saudara, musuh...

Dan aku sendiri, hanya sekedar teman sekaligus pengagumnya, tidak tahu harus bersikap apa.

Peristiwa ini membuatku terkejut dan pikiranku berhenti sejenak. Melayang. Dan emosiku pun ikut kebingungan menanggapi peristiwa ini.

Apakah aku harus sedih atau senang?

Aku sungguh tak tahu. Aku hanya terkejut.

Jika aku dipaksa harus senang, aku bukanlah musuhnya dan sekalipun aku mencintainya, aku tidak berharap semua ini terjadi.

Dan jika aku dipaksa harus sedih, aku tidak begitu bisa dan tidak akan mau. Karena aku adalah orang yang sangat menginginkannya selama ini. Aku sangat menginginkan dirinya, tubuhnya, hati, jiwa dan raganya.

Jadi, aku hanya terkejut dan bingung.

Tiba-tiba tepukan tangan seseorang mengacaukan lamunanku di tengah ekspresi kaget orang-orang.

"Yanuar, bisa minta tolong untuk menyetir mobil? Kita akan ke rumah sakit sekarang!"

Pria itu adalah adik ipar Pertiwi yang juga akrab denganku. Dia tergesa-gesa menghampiriku di tengah kepanikan keluarganya.

Aku mengangguk spontan dan mengikuti langkahnya dengan cepat menuju ruangan kamar mempelai wanita yang pingsan tadi.

Dua orang anggota keluarga menggotong tubuh tak sadarkan diri itu ke dalam mobil sedan hitam pribadi. Tiga orang ikut menemani, bersama aku sebagai penyopir. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, setelah mereka duduk dengan siap. Meninggalkan keramaian orang-orang yang bingung.

Di sepanjang perjalanan menunju rumah sakit, ibu Pertiwi tidak berhenti menangis sambil mendekap sang puteri di pangkuannya, sedangkan adik dan ayahnya hanya terdiam. Tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tepatnya, tidak tahu apa yang harus diucapkan tentang menghadapi kejadian yang menimpa mereka saat ini.

Kejadian besar. Yang akan membawa nama keluarga. Ratusan orang di luar sana akan menggunjingkan mereka, mencibir, menyindir, menghina untuk waktu yang belum diketahui.

Dari mulut ke mulut membicarakan, bergosip tentang fakta resepsi pernikahan keluarga besar yang batal karena alasan yang belum diketahui pula.

Love(Sick) GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang