17. Een Einde

309 45 17
                                    

Sejak berada di dalam perjalan bersama dengan orang-orang menyeramkan ini Jevan tidak berhenti berdoa kepada Tuhan agar ia bisa selamat, dipikirannya saat ini hanyalah Gigi, Caca dan sang calon adik yang bisa lahir kapan saja.

"bos! Kita bawa dia kemana? Gudang Lawang? Oke, siap!" Jevan bersyukur saat mendengar keributan yang terjadi dilobi tadi ia sempat menyiapkan dirinya dengan mengantongi sebuah alat kecil didalam saku celananya dan sempat mengaktifkan alat tersebut sebelum ia dibawa.

"gimana kata bos besar?"

"kita bawa ke gudang, tanyain kayak yang bos bilang tadi malem, kalo dia gak mau jawab kita habisin."

"berarti kita bisa abisin dia bos?! Wih gila udah lama gak gini asiklah." Nyali Jevan sedikit ciut saat mendengar percakapan mereka, benar-benar dia tidak ingin mati bodoh atau mati sia-sia dengan cara seperti ini, ia harus menemui keluarganya. Harus.

Begitu mereka tiba digudang itu, Jevan langsung didudukkan disebuah kursi dan diikat disana beruntung mulutnya tidak disumpal dengan apapun.

"kalian suruhan siapa?" akhirnya pertanyaan yang sejak tadi ada dipikiran Jevan berhasil ia utarakan. Seorang lelaki kekar mendekat dan mencengkram rahang Jevan membuat lelaki itu sedikit melenguh kesakitan. "kamu gak perlu tau! Sekarang kamu harus nurut sama kita kalo kamu mau pulang ke keluarga kamu dengan selamat!"

Semalaman Jevan memilih pasrah hingga ada seseorang lagi yang datang dengan membawa secarik kertas dan menyodorkannya pada Jevan, saat ia tengah berusaha untuk membaca tulisan yang ada dengan seksama, sebuah pukulan mendarat di wajah sebelah kanan Jevan.

"ngapain dibaca!? Tanda tangan aja cepat!" Jevan mengumpulkan lagi pandangannya yang sempat kabur setelah pukulan itu, namun lagi-lagi sebuah pukulan ia terima kali ini dari sisi kiri membuat pandangannya kembali kabur, ia bisa merasakan darah segar yang sepertinya keluar dari dalam rongga mulutnya sekarang.

"apa itu?"

"udah dibilangin gak usah dibaca! Tanda tangan sekarang!" namun Jevan tetaplah Jevan dalam situasi seperti ini ia masih mempertahankan pendiriannya untuk membaca kertas itu, ia percaya kalau kertas itu bukanlah kertas biasa, bisa saja isi tulisan itu menjebak Jevan dalam situasi sulit lainnya.

"UDAH DIBILANG JANGAN COBA DIBACA!" punggung Jevan terasa sakit ketika sebuah balok kayu melayang mengenai bagian tersebut, darah segar tidak bisa lagi ditahan oleh Jevan.

Di sisi lain, kini Gigi sudah benar-benar hampir mendekati pembukaan sempurna, namun sosok Jevan belum juga muncul, kedua orang tua Gigi bahkan sudah sejak tadi mendesak Rishi untuk menelpon Jevan. "bun udah gak apa, mas lagi sibuk, semalem mas begadang juga di kamar." Gigi benar-benar berusaha menenangkan sang ibu dan juga menenangkan dirinya sendiri, kepalan tangannya semakin mengerat, air mata juga sudah lolos dari mata indah wanita itu, rasanya benar-benar sakit, ia butuh Jevan, sangat, namun ia tidak bisa memaksakan kehendaknya dan meminta sang suami untuk segera mendampinginya sekarang.

"adek, papa lagi gak ada, adek gak apa kan?"

"bun sakit banget, adek gak kuat." Keluh Gigi.

"dek, ayo kuat dek dikit lagi, ayah panggilin dokter cepetan!" seketika ruangan itu menjadi ramai karena Gigi yang nampaknya sudah siap untuk melahirkan. "ibu, suaminya dimana ya?" tanya salah seorang suster pada Rishi saat tengah membantu mendorong ranjang milik Gigi untuk dibawa ke ruang bersalin.

"suaminya-."

"mbak..." Gigi menggeleng pelan meminta Rishi untuk tidak menjawab pertanyaan itu. "saya kakaknya, saya yang nemenin dia didalem, suaminya masih dinas diluar kota." Demi Tuhan Rishi benar-benar merasa berdosa pada semua orang dengan berujar demikian, ia tidak ingin Gigi menjadi semakin tertekan karena Jevan tidak ada disampingnya.

[COMPLETE] Duplik (Sequel Of Replik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang