31 - Dari Adhisti untuk Gian

1.7K 198 57
                                    

Gianjar Galia Lazuardi.

Waktu pertama lihat nama itu pas Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, gue enggak bisa kaget lebih dari itu. Gue kenal nama itu, dan nama yang bener-bener enggak asing lagi di ingatan gue.

Gian, panggilannya. Waktu SD, gue hanya tahu sampai di sana, hanya tahu kalau murid yang namanya Gian tuh enggak pernah mau main bola waktu olahraga atau makan di kantin bareng temen-temen.

Setiap pelajaran olahraga, kelas gue selalu digabung sama kelas Gian dan gue akan selalu menemukan Gian di pinggir lapangan. Dia enggak ngapa-ngapain, Cuma duduk terus pergi. Dan yang bikin gue bertanya-tanya, dia emang enggak bisa ngomong apa gimana sih?

Kekepoan gue tentang Gianjar hanya berakhir sampai di sana. Karena gue merasa, gue enggak bisa tahu lebih banyak melihat pribadi dia yang seperti itu.

Ketika gue SMP, surprisingly, Gian ada dan kita sekelas di kelas 8. Lagi-lagi, dia enggak banyak bicara. Dia selalu minta duduk sendiri di barisan paling belakang. Setiap jam istirahat, Gian akan keluar paling akhir dan menghilang entah kemana, karena gue enggak menemukan dia di kantin.

Lagi-lagi, gue penasaran dan mikir, dia kenapa sih? Emangnya enak sendirian kayak gitu? Terus, apa dia enggak capek diem mulu?

Terus suatu hari, gue sekelompok dengan Gian di study your kelas 8. Jujur, ada sedikit rasa excited gue karena gue pengin coba ajak Gian ngobrol.

Pada saat study tour berlangsung, di saat anak-anak yang lain ngambil foto bareng, cuma Gian yang enggak kelihatan peduli sama sekali. Gue juga, diam-diam memperhatikan Gian dan sekali-kali ngelirik ke belakang untuk memastikan dia enggak ketinggalan kelompok.

Saat destinasi selanjutnya, gue ngerasa kesal sama diri sendiri karena harus berakhir di bis aja. Gue mendadak masuk angin dan mual. Dengan terpaksa, gue tidur di dalam bis. Ketika gue membuka mata karena ngerasa ingin muntah, gue ngelihat Gian sedang duduk di kursinya sambil memandang ke luar jendela.

Seperti biasa, tatapannya datar dan enggak ada yang tahu apa yang dia pikirkan. Gue masih setia mandangin dia sampai ketika dia tiba-tiba menoleh dan menatap gue. Gue sempat menahan napas waktu itu saking kagetnya. Enggak cukup salah tingkah, tiba-tiba perut gue sakitnya kumat dan gue hanya bisa meringis kecil.

Gue enggak lagi ngelihatin Gian dan lebih memilih memejamkan mata, berharap sakitnya segera hilang. Saat gue sudah akan tertidur, tiba-tiba ada yang menyentuh pundak gue dan menggoyangkannya beberapa kali. Gue membuka mata dan terkejut untuk melihat Gian ada di depan gue.

Cowok itu enggak banyak ngomong—malah, enggak ngomong sama sekali. Dia cuma ngasih gue sebotol minyak kayu putih kecil. Setelah itu, dia kembali lagi ke tempat duduknya.

Sejak saat itu, gue ngerasa ada yang berbeda setiap gue ketemu Gian. Gue akan sedikit deg-degan dan pengin ngelihatin dia terus. Bahkan waktu itu, gue juga memberanikan diri untuk nagih laporan study tour kelompok.

Waktu itu Gian menatap gue dengan alis yang bertaut karena gue tiba-tiba datang ke mejanya sambil mengadahkan telapak tangan.

"Laporan study tour,"

Cowok itu terdiam sejenak dan lagi-lagi enggak akan ada yang tahu dia mikirin apaan.

"Belum selesai."

Sumpah, waktu itu gue agak senang karena Gian ngerespon gue. Tapi gue juga pengin neriakin dia saat itu juga.

"Besok terakhir tahu, Gi. Lo mau kumpulin kapan?"

"Ya besok? Kan besok terakhir."

Gue mendengus dan langsung mengalah. Tapi setidaknya, gue berhasil ngomong sedikit sama Gian. Dan besoknya, dia benar-benar datang ke tempat gue untuk menyerahkan laporan.

Soundtrack : SomehowWhere stories live. Discover now