29 - Thank You

1.4K 198 29
                                    

Gian memandangi gemerlapnya bintang-bintang yang ada di langit malam di belakang rumahnya, tepatnya di gazebo. Gian bertanya-tanya, apakah di antara banyaknya bintang di sana, terdapat Antares—bintang yang disebut paling terang ke enam balas pada langit malam.

Gian jadi teringat ketika awal ia bergabung dengan Antares. Kala itu, Brian menjelaskan tentang arti nama Antares yang diambil dari rasi bintang scorpio dalam galaksi Bima Sakti. Saat itu Brian juga menyebutkan beberapa nama bintang lainnya—Aldebaran, Spica, dan Regulus, yang disebut sebagai empat bintang paling terang di dekat ekliptika.

Sumpah, Gian benar-benar tidak mengerti saat itu dan hanya mendengarkan dengan dahi yang berkerut. Bagi Gian, bintang-bintang itu terlihat sama saja dan Gian akan tetap menyebutnya sebagai bintang, bukan Aldebaran dan semacamnya.

"Seperti nama kita, Antares, kita bakalan jadi yang paling terang kalau nampil di malem hari—" ujar Brian kala itu dengan semangat.

"Kalau siang hari namanya apa dong," Wira kemudian menimpali, membuat Brian menatapnya sengit karena sudah merusak suasana seriusnya.

Gian terkekeh mengenang hari itu, Hari di mana ia memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama Antares.

Malam ini begitu tenang dan sepi, hanya suara jangkrik yang terdengar di sekitarnya. Tapi, Gian tidak kesepian lagi. Malah ia merasa begitu bahagia. Terlebih saat ia sesekali mendengar suara gelak tawa dari tiga wanita yang penting dalam hidupnya dari arah rumahnya.

Mamanya, Adhisti, dan Yati.

Bagi Gian, Mayang tentu adalah segalanya dan orang yang paling ingin Gian jaga dan kasihi. Lalu Adhisti, seorang perempuan yang memberikannya rasa ramai dan membuatnya mengerti bagaimana caranya untuk lebih terbuka dan mensyukuri apa yang ada. Dan Yati, wanita yang selalu menjaganya dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Gian sangat bersyukur atas itu semua.

"Di sini ternyata,"

Gian menoleh, mendapati Adhisti yang tersenyum kecil dan bergerak untuk mendekati Gian serta duduk di sebelahnya. Gadis itu melakukan hal yang sama. Menatap langit malam yang terasa menenangkan.

"Masak-masaknya udah?" tanya Gian setelah mereka terdiam sejenak.

"Udah," Adhisti terkekeh pelan, mengingat apa pun yang terjadi beberapa menit lalu di dapur. "Aku sayang deh sama mama kamu,"

"Eh? Belum apa-apa kok udah sayang sih?"

Adhisti lalu tertawa dan menoleh kepada Gian, "Kamu tahu nggak apa yang pertama kali aku pikirin waktu lihat Tante Mayang waktu itu?"

Gian tidak menjawab, berusaha mengingat bagaimana pertemuan Adhisti dan Mayang saat itu dan tentunya bukanlah suatu hal yang dapat diceritakan. Karena saat itu adalah hari di mana Adhisti melihat hancurnya keluarga Gian.

"Ngapain inget-inget yang nggak bagus," sahut Gian, mengalihkan atensinya dari Adhisti.

Adhisti hanya tersenyum menanggapi itu lalu ikut memandang lurus ke depannya. "Waktu itu, aku ngerasa Tante Mayang sangat rapuh. Tapi sekarang, Tante Mayang lebih banyak senyum dan seolah-olah bebannya tuh udah terangkat. Makanya... Aku jadi pengen kenal Tante Mayang lebih dalem lagi,"

"Bilang aja kamu mau nikah sama aku biar jadi anaknya Mama,"

"Heh!" seru Adhisti kesal dan memasang wajah cemberut. "Aku lagi serius tahu, Gi... Kan, kamu mah."

Gian tertawa dan membuat Adhisti mengurungkan niatnya untuk marah. Gadis itu menatap Gian dengan penuh arti sebagai gantinya. Entah kenapa, Setiap melihat cara Gian tertawa sekarang, Adhisti merasa damai.

Soundtrack : SomehowWhere stories live. Discover now