BAGIAN 1.

66 12 24
                                    

Iris coklat terang seorang cewek berambut hitam legam sedikit gelombang di bagian bawah itu menatap lekat dirinya dari atas hingga bawah dari depan cermin besar di kamarnya.

Alis yang tidak terlalu tebal, mata yang sedikit sipit dengan bulu mata lentiknya, hidung mungil mancung yang terlihat sangat pas diwajah ovalnya, bibir mungil tipis alami berwarna peachnya melengkung manis membentuk sebuah senyuman. Oh, jangan lupakan pipinya yang sedikit berisi seperti bakpau. Sekali lagi, ia merapikan sedikit seragam sekolahnya.

"Oke Sena, morning spirit!" serunya pada diri sendiri. Tidak lupa dengan senyuman yang sedari tadi tidak luntur dari wajah cantik blasteran itu.

"Pagi ma, pa," ucap Sena seraya duduk di meja makan.

Hening. Tidak ada jawaban. Tidak ada senyuman manis dari mamanya. Sena malah disuguhkan dengan wajah dingin dan datar dari Serra dan Rafi yang merupakan kedua orang tua Sena.

Tidak apa. Sena berusaha untuk tetap tersenyum.

Gadis itu mengambil beberapa sandwich yang terletak diatas piring lalu meletakkannya ke dalam kotak bekal yang biasa ia bawa. Setelah itu Sena memasukkan kotak bekalnya dengan telaten ke dalam tas.

"Ma, pa, Sena berangkat dulu ya," ucap Sena. Ia ingin mengambil tangan Serra lalu menyaliminya, lalu beralih menyalimi tangan Rafi. Namun wajah kedua orang tuanya masih sama, datar dan dingin seperti biasa jika berhadapan dengan Sena.

Ya, Sena tahu. Sejak kelas 1 SMP Sena tidak pernah dianggap ada di keluarga ini. Padahal dia merupakan anak kandung Serra dan Rafi.

Sejak dia kecil hingga berumur 12 tahun, Sena sempat merasakan kasih sayang seorang ibu dan ayah. Pada saat itu Sena merasa dia menjadi anak paling bahagia sedunia. Mama dan papanya tampak menyayanginya dan selalu mendukungnya. Tidak ada bentakan sama sekali. Saat itu, Sena berharap selamanya dia bisa mendapatkan kasih sayang dari mama dan papanya. Bahkan sampai sekarang Sena berharap mama dan papanya kembali bersikap seperti dulu lagi.

"Ma, Sena nggak apa kan bawa sandwichnya ke sekolah, Sena takut telat soalnya," ucap Sena disertai cengirannya.

"Mau kamu bawa atau engga saya nggak peduli," jawab Serra dingin tanpa melihat wajah anaknya itu membuat hati Sena sedikit perih. Catat sedikit, mungkin karena Sena sudah terbiasa, entahlah.

"Tapi pasti Sena makan kok ma nanti," ucap Sena lagi masih berusaha tersenyum.

"Udah saya bilang saya gak peduli!!! Bahkan mau kamu makan atau engga pun saya nggak akan peduli!!" bentak Serra yang sekarang menatap tajam Sena.

Prangg

Rafi membanting sendok dengan kasar. "Apa-apaan sih!! Ganggu aja," bentak Rafi dengan nada tinggi membuat emosi Serra kembali memuncak.

"Kamu yang apa-apaan!!! Lagian anak kamu satu ini kerjaannya nyusahin aja!!" balas Serra ketus pada Rafi.

Lagi. Lagi-lagi seperti ini. Senyum manis di bibir Sena hilang begitu saja. Tubuhnya selalu bergetar melihat mama dan papanya yang terus saja seperti ini. Ini adalah alasan mengapa Sena lebih memilih untuk berangkat sekolah lebih pagi dan tidak sarapan di rumah.

"Emang nyusahin!! Kamu sama dia gak ada bedanya!" tekan Rafi seraya menunjuk ke arah Sena.

"Kamu ---CUKUP!!" Sena berteriak kencang. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar ini semua. Kepalanya pusing, dan matanya sudah terasa panas. Luka dihatinya yang belum sembuh kembali meradang.

"Bisa nggak mama sama papa gak usah berantem lagi, Sena pengin kayak dulu lagi, Sena pengin mama sama papa kayak dulu lagi." Gadis itu berusaha untuk tidak terisak, matanya sudah memerah menahan tangis.

Hello Crush!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang