Hari 29, Ketika Puncak Bersembunyi

156 81 89
                                    

"Kapan, sih, kita tiba?" Wajah polosku menatap posturmu. Garis rahangmu yang tegas menarik perhatianku untuk mengusap rambut-rambut halus itu.

Kamu sedikit tergelak, mencoba menggodaku.

"Memangnya kenapa? Kamu mau turun sekarang? Dengan senang hati."

Aku mengerucutkan bibir. Bukan itu maksudku.

"Puncak yang kita tuju masih jauh?"

Rambutmu menari. Pantas saja, kamu buka jendela karena rindu udara segar.

"Tidak, puncak sebenarnya dekat –dekat sekali. Dia hanya malu saja, memilih bersembunyi dari pandang."

Kuturunkan pula jendela bagianku, "mungkin."

"Menurutmu, perjalanan ini apa?"

Air mata sisa aku menguap aku singkirkan perlahan. Secara acak, kamu menanyakan sebuah retorika.

"Sesuatu yang luar biasa, pastinya."

Di luar sana, mata kami bersapaan dengan pohon-pohon yang mulai mengering, langit tanpa awan, dan beberapa orang silih berganti.

Tersenyum, kamu mengusap puncak kepalaku dengan sebelah tanganmu.

"Lihat mereka, tatapan mereka. Seperti iri dengan kita seakan.."

"seakan kita ini anomali."

Kalimat itu didukung dua suara.

Ya; sehari, seminggu, bahkan sebulan.
Belum lagi setahun dan tahun kembara yang nanti-nanti.
Kejadian-kejadian tidak masuk akal, kata mereka tidak akan mungkin.
Manusia-manusia di luar teritori kita menamai kita penghianat kelas atas.

Hei, wahai Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya dunia luar, kami bukannya penghianat yang ingin bahagia berdua.

Ringan saja kamu merespon, hanya satu yang kita rahasiakan.

"Jika itu kita, semua kemustahilan jadi mungkin, bukan?"

Kita tertawa.

______________________________________________

Anomali: sesuatu tidak normal


Hai!
Makasih yang sudah mengikuti sampai sini.
Tetap lanjut ya? Karena part selanjutnya adalah penutup puisi Lintang
Jangan lupa vote dan komennya ya! Share juga ke sesama pembaca :)

Sampai jumpa besok✨

KLM #2: Lintang | ✔Where stories live. Discover now