Azam Tak Melayu

7 4 0
                                    

Bilamana jalan yang dilalui terjal dan berliku, maka azamku tak 'kan melayu.

***

Aku hanya singgah sehari semalam di rumah Pak Harsono. Semalaman aku, Pak Harsono, dan Qiqi mengobrol. Bercerita tentang ketidaksukaannya laki-laki berkumis tipis itu dengan abah dan umi yang enggan menemui. Qiqi bercerita tentang kegiatan di tempat kerja dan kampus yang begitu-begitu saja, dan aku bercerita tentang rencana mondok di Jawa. Semuanya bergantian menjadi pendengar yang baik.

Sementara itu, paginya Qiqi berbaik hati mengantarkanku sampai ke rumah. Padahal siang nanti ada jadwal mata kuliah di kampusnya.

"Sampe rumahmu nanti aku langsung ke kampus. Insya Allah waktunya cukup, daripada kamu naik bis, malah lama nungguinnya." Itu jawaban Qiqi saat aku enggan diantar.

Jarak dari Pringsewu ke rumah sekitar 89 km. Butuh waktu tiga jam menempuh perjalanan dengan sepeda motor. Kami melewati jalan lintas Barat Sumatra. Jika sepanjang jalan ditelusuri maka di balik gunung Tanggamus akan ditemui wilayah Kabupaten Lampung Barat. Ya, inilah akses jalan singkat dari Pringsweu menuju Lampung Barat. Namun, karena jalan cukup curam, banyak orang memilih jalan memutar melewati Bandar Lampung. Meskipun lumayan jauh.

Perjalanan yang ditempuh pun terasa singkat, karena Qiqi dengan senang hati membuka suara. Kami bergantian mengeluarkan keluh kesah jiwa. Salah satu cara mempersingkat perjalanan adalah mengobrol sepanjang jalan. Qiqi memang cenderung pendiam, tapi jika sudah bertemu dengan orang yang dikenal dan asik bersuara, ia akan mengeluarkan karakter rahasianya. Diam-diam Qiqi cerewet.

Qiqi dan Mbak Iis sama-sama memiliki tahi lalat di atas bibir. Mungkin itu yang membuat mereka punya tenaga ekstra dalam berbicara.

***

"Kenapa, Ji? Kamu Kenapa?" Kakak tertua yang berkeinganan agar aku menjadi pegawai negeri sipil, terihat sangat marah mendengar pengakuanku.

"Ibu sebenarnya keberatan kalau kamu jauh-jauh dari rumah." Ibu yang semenjak tadi hanya diam, kini ikut mengeluarkan unek-uneknya.

"Lah, ya, Bu ... apa enggak bisa Puji nunggu dulu setahun lagi. Setelah lulus baru ke Jawa. Kalo gini 'kan sayang kuliahnya."

Ruang tamu yang biasanya diisi dengan kehangatan, kini berubah 180 derajat. Dingin. Masing-masing kepala mempunyai keinginan berbeda. Hey! Ini tentang hidupku, yang paling berhak menentukan pilihan adalah aku. Puji Haryono.

Kata-kata menyakitkan itu tidak sampai hati keluar dari lisan. Aku memilih diam mendengarkan. Lantas memberikan sanggahan.

"Maaf, Mbak ... maaf aku telah mengecewakan, tapi ini salah satu impianku. Mondok di Jawa, menghafalkan al-Qur'an di sana. Aku enggak akan pulang ke Lampung kalau belum khatam."

"Kapan kamu berangkat?" tanya ibu dengan suara yang amat lirih.

"Insya Allah, minggu depan, Bu. Masih nunggu kabar dari Firman," jawabku seraya berdo'a dalam hati, memohon kepada Sang Penguasa Alam supaya hati keluargaku ikhlas dengan keinginan ini. Merantau ke pulau Jawa.

"Ya, sudahlah enggak papa, ibu ridho asalkan kamu masih menuntut ilmu di Indonesia. Kalau sampai ke luar negeri ibu ndak akan mengizinkan."

***

Firman menjanjikan seluruh biaya pondok gratis, mulai dari uang gedung sampai makan sehari-hari, tapi aku tetap butuh uang untuk kebutuhan pribadi.

Uang yang kuterima dari ibu 500.000 rupiah, sementara dari kakak tertuaku hanya 50.000 rupiah. Tak tersisa sepeserpun untuk membeli air mineral. Semuanya murni untuk biaya perjalanan.

Aku tak mungkin meminta tambahan uang saku. Akhirnya, solusi lainnya terpilih. Laptop yang baru kubeli beberapa waktu lalu dengan berat hati terjual seharga dua juta rupiah. Setidaknya dengan uang itu, kehidupan di Jawa selama satu tahun tak perlu dikhawatirkan.

  Azam Om Jie [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang