Amarah

20 10 11
                                    

Amarah tak akan menyelesaikan masalah.

***

Rintikan hujan terus-menerus membasahi bumi pertiwi. Sementara aku mengenyahkan pikiran untuk keluar dari Baitul Qur'an dengan memandangi tetes air di balik jendela.

Samar-samar terlihat sosok abah dan umi berjalan berdua dengan satu payung, menghindari gerimis.

Dalam hitungan menit abah dan umi sudah sampai di gedung yang kutempati. Aku menuruni anak tangga menuju lantai satu untuk menjumpai dan menyalami pimpinan Pesantren Baitul Qur'an ini.

"Baru aja ane mau manggil ente, eh, udah turun duluan," bisik Muslimin ketika berpapasan denganku di pertengahan anak tangga.

Aku berhenti sesaat, menengok ke arah Muslimin. Lalu mengendikan bahu dan melangkah dengan penuh percaya diri, meski tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Puji duduk sini sama abah dan umi," perintah umi lembut saat melihatku menuruni anak tangga terakhir.

Tanpa disuruh berulang kali, aku pun duduk di sofa, berhadapan langsung dengan abah. Sementara umi dengan anggun duduk di samping suaminya.

"Kamu dan Syifa ada hubungan apa?" Abah membuka pembicaraan dengan suara yang lantang. Raut wajahnya tak dapat dilukiskan, hanya amarah yang terlihat jelas.

"Ndak ada hubungan apa-apa, Bah. Saestu," jawabku dengan bibir bergetar, menutupi kegelisahan.

"Sudah ada saksi yang melihat kalian berduaan! Harusnya hari ini juga kamu menikahi Syifa."

"Sudah, Bah ... sudah. Jangan gegabah." Umi berusaha menenangkan abah. Sementara aku hanya membisu, ingin mengklarifikasi semua yang terjadi. Namun, rasa hormatku terhadap abah menuntut diri ini untuk diam dan mendengarkan.

***

Halaman pesantren dipenuhi oleh santri putra. Di area pondok putri bisa jadi kondisinya juga seperti ini. Aku berada di tengah-tengah kerumunan.

Setiap orang yang mengelilingiku diberi kesempatan untuk mencukur rambut. Aset berharga ini terpaksa kurelakan.

Helai demi helai rambut yang jatuh menjadikan hati ini lega. Hukuman telah kujalani, jadi tak ada yang perlu kutakuti.

Amarah dalam diri sebisa mungkin kukendalikan. Di saat-saat terpuruk seperti ini, semua bagai musuh, tak ingin berteman. Malah yang lebih parah, ada yang sok manis di hadapanku. Berusaha menyemangatiku dan menasehatiku untuk bersabar, tapi di belakangku menusuk dengan belati yang sangat tajam.

Puas!

Puas kalian memperlakukanku seperti ini!

Ah, kalau saja ini bukan pondok pesantren dan aku bukan seorang santri, amarah tak 'kan bisa tersembunyi. Namun, kini aku di sini. Menerima kedatangan para santri yang mencukur rambutku sesuka hati.

Hukuman ini bukan hanya tentang rambut, tapi juga tentang harga diri. Aku di sini bagai terdakwa yang dijadikan tontonan, bahkan mungkin bahan lelucon. Seluruh santri putra menyaksikan kejadian ini, dari santri baru sampai senior.

Meski begitu diri ini tetap bersyukur, setidaknya aku tak perlu menikahi Kasyifatu Saja.

Alhamdulillah ....

  Azam Om Jie [TAMAT]Where stories live. Discover now