Aku dan Bapak

15 0 0
                                    

1.2 Jember 25 Desember

Berkali-kali aku membayangkan, bagaimana jika aku mati sebelum pementasan? Apakah teman-teman akan sedih? Apa pementasan itu akan gagal? Sepertinya tidak. Atau, bagaimana jika ada sanak keluarga yang meninggal? Apa tetap tidak ada pilihan untuk pulang? Saat itu, aku benar-benar ingin menghilang. Pergi dari duniaku yang sudah carut marut. Membayar semua kekesalan dengan stok cerita berbulan-bulan kepada orang-orang rumah. Suatu siang yang lelah, ketika dosen tak kunjung masuk, aku mengirim pesan teks kepada ibu.

"Gak kangen aku to, Buk?" sebelumnya, aku tak pernah mengirim pesan semacam itu. Balasannya bukan kata "rindu", tapi sebuah narasi singkat yang kurang lebih menyatakan, "Ya mau gimana lagi?" ibu tentu rindu. Setelahnya aku sering mengirim foto diri. Tidak seperti biasanya, aku benar-benar sering berfoto. Aku ingin menghilang.

Aku memikirkan skenario untuk lenyap selain mati. Tapi rasanya, apa yang kulakukan dan terlintas dipikiran ya mati. Entah tertabrak saat menyebrang, keracunan makanan bahkan kelaparan atau kekenyangan menjadi alibi bodoh untuk mati. Lalu, kebingungan lain muncul. Bagaimana orang-orang akan mengurus kematianku nanti? Apa aku akan dibiarkan saja? Apa mereka akan menggunjing? Apa mereka akan mengobrak-abrik kamarku yang sudah berantakan? Apa mereka akan menghubungi keluargaku? Ah, orang tua. Seketika, aku tak ingin mati.

Aku ingin bertemu mereka dan mengatakan semua kenakalanku, apa-apa yang selama ini terjadi di hidupku. Tentang betapa sulitnya bertahan di tengah-tengah kesakitan yang datang dari berbagai arah. Aku ingin bercerita banyak, sangat banyak. Hal yang benar-benar terbersit di benak adalah, aku ingin memeluk bapak. Bapak saja. Entah, mungkin kisah salah seorang dosen yang ditinggal mati bapak ketika semester lima serta oedius complex-nya membuat aku kepikiran bapak. Tidak terlalu, hanya saja rasanya ingin memeluk beliau. Tidak juga terbersit dipikiran jika aku mungkin saja mengalami hal itu, tidak. Cuma ingin bertemu, menebus rindu. Aku pulang, atau bapak ke mari, keduanya sangat aku inginkan.

Suatu malam, ada panggilan masuk. Bapak. Aku bilang aku di luar. Bapak bertanya sebelah mana. Aku menjawab. Beliau bertanya lagi posisi pastinya. Aku menjelaskan. Lalu saat aku tanya apakah beliau di sini, bapak menjawab iya. Senang bukan kepalang. Apalagi mendengar ada suara ibu di sebelah, membuat aku semakin semangat bertanya posisi mereka. Saat ponsel beralih ke ibu, bapak tertawa terbahak-bahak. Seketika aku sadar, bapak bohong. Ya, lelucon biasa yang tidak lucu. Betapa aku sangat rindu mereka.

Sebenarnya aku lupa kapan pastinya obrolan terakhirku dengan bapak. Entah, saat beliau bertanya apa saldo pulsaku sudah masuk, atau saat membikin lelucon itu, atau juga saat bertanya kenapa aku tidak pernah menghubunginya, yang jelas panggilan terakhirnya selalu kutolak. Beberapa kali dan itu sebulan yang lalu. Lucu sekali.

Pikiranku selalu menjawab, "Sebentar lagi pulang, sebentar lagi pulang, tahan tahan tahan."
Banyak sekali yang ingin kupamerkan. Tentang perjalanan ke Semarang serta kota Surabaya yang penuh kenangan; tempat bertemu bapak dan ibu dulu. Juga aku ingin memamerkan beberapa hal lain yang sudah kucapai. Pun banyak hal lain yang ingin kutanyakan. Semua itu, tak mampu ditembus dan ditebus oleh waktu.

Terakhir kali aku pulang ke rumah, tidak banyak waktu yang ada untuk bisa menatap wajah bapak. Untung sekali aku terjaga saat bapak pulang dari luar kota. Tidak banyak mengobrol hanya saling... ah aku bahkan lupa apa yang terjadi waktu itu, yang jelas besok paginya aku balik ke sini lagi. Sangat singkat.

Pertemuan terakhir itu sangat sangat singkat. Setelahnya penuh dengan sesal---

xxx (The Red Note)Where stories live. Discover now