Sena merapikan rambutnya. "Nyenyenye..."

Sena berjalan menjauh dari Roy dan duduk disalah satu sofa yang ada diruangan itu. Ia mengeluarkan ponselnya kemudian memainkannya. Roy hanya memperlihatkan Sena dari tempatnya berdiri, ia tersenyum simpul.

" Udah ketemu Cici ya? Kayaknya lu lebih kalem sekarang, ya?" Ucap Roy spontan.

Sena menurunkan ponselnya. "Gue peringatin ya, jangan ganggu Cici!" Suara sena sedikit mengancam.

" Uuuuu... Takut deh gue." Ledek Roy sambil berekpresi takut yang dibuat-buatnya. Sena bangun dari duduknya sambil menatap Roy jengkel. Roy seperti mengerti apa yang ada dipikiran Sena kembali buka suara. "Iya, gue emang brengsek! Sampai semuanya kebongkar dan pelakunya ketangkep, gue gak bakal berhenti gitu aja."

Sena menatap nanar Roy. " Udah gue bilang dia bahkan ngga ingat dia pernah diculik."

"Gue.. ngga peduli." Roy duduk sambil menyandarkan punggungnya di kursinya.

Sena tidak tahan lagi berada diruangan itu, ia memutuskan untuk keluar ruangan itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Roy tidak mencegatnya sedikitpun. Saat mengundang Sena ke ruangan itu ia sudah berekspektasi kejadian Sena meninggalkan ruangan itu akan terjadi, sehingga ia pun juga sudah meletakkan penyadap gps kepada Sena saat itu juga. Roy meminum kopinya sambil tersenyum bangga.

Sena berjalan dengan perasaan marah dan kesal, dia tau hal ini bakal terjadi cepat atau lambat. Saat ini dia harus menjumpai Divo dan Cici untuk memberitahukan hal ini. Dengan cepat dia membuka ponselnya dan mencari kontak Divo dan menelponnya.

Selang beberapa detik, Divo mengangkat telponnya.

"Halo."

"Ngapain lo telpon gue?!" Jawab Divo sedikit ketus.

"Gue perlu lo dan Cici sekarang. Ada yang mau gue bahas tentang Roy. Kalian pasti tau siapa yang gue maksud." Ucap Sena singkat.

Tidak ada jawaban dari Divo, spontan Sena memanggil Divo kembali. "Halo Div! Lo dengar gue?!"

"Lo dimana sekarang?"

"Gue di jalan S.Parman no.04."

"Okey, kita ketemua di kafe Maroon. Gue sama Cici otw, 15 menit lagi kami sampai."

"Oke, gue tunggu."

Sena mematikan ponselnya dan dengan sedikit menghela nafasnya dia menuju kafe yang dimaksud Divo tadi. Sena duduk disalah satu baris meja yang sedikit tertutup dan sepi.

Sudah hampir dua puluh menit Sena menunggu dengan gelisah, sambil sesekali melihat ponselnya. Sena menyeruput minumannya dan seketika terdengar suara bel pintu masuk yang membuatnya melihat kearah pintu masuk. Tampak Cici dan Divo yang baru saja sampai.

Sena melambaikan tangannya untuk menunjukkan kehadirannya. Samar - samar dia bisa mendengar Cici berbicara kepada Divo.

"Itu Sena." Cici sedikit menggoyangkan lengan Divo.

Divo dan Cici berjalan kearah Sena dan langsung duduk di depannya.

"Maaf ya, tadi ada kecelakaan di jalan. Jadinya macet." Keluh Cici.

Sena sedikit tersenyum. "It's okay. Kalian pesan aja dulu." Divo mengangguk dan memanggil pelayan untuk memesan minuman.

Setelah minuman datang dan di sajikan, Sena langsung memulai pembicaraan.

"Jadi, tadi gue ketemu sama Roy."

Perkataan singkat itu membuat Cici dan Divo seketika terdiam dan berusaha mencerna apa yang dikatakan Sena.

"Dia beneran disini?" Divo menimpali.

Sena mengangguk pelan. "Dia.. masih selalu bahas soal itu."

Cici menghela napasnya kesal. "Udah gue bilang kan? Gue ngga tau apa apa!"

"Gue dah bilang ke dia, cuma dia masih bersikeras." Sena menatap Cici sendu.

Cici mengucap wajahnya kasar. "Gue mau ketemu dia, Sen!"

Sontak Divo dan Sena terkejut.

"No!" Ucap keduanya singkat.

Cici mengeraskan rahangnya kesal, "Nata sama Mama gue jadi sasarannya karena orang itu! Kalian ngga tau? Gue udah frustasi gara-gara ini!!"

Sena tampak tidak mengerti dengan ucapan Cici. "Maksud lo?"

"Nata masuk rumas sakit gara-gara dia! Mama gue diculik, Sen!" Ucap Cici kesal.

Sena menatap Cici dan Divo bergantian. Tidak ada kebohongan dimata mereka. Roy sudah keterlaluan, dia harus diberi pelajaran.

-----------

 


AURORA♕[ON GOING]Where stories live. Discover now