BAB 16

1.9K 337 100
                                    

"Aku sudah tidak sabar menemui murid baru," ucap Bastian antusias. Betapa senangnya pria itu saat tahu dia diterima sebagai anggota Kanta.

Sekarang, ada tiga anggota Kanta di Candi Tellu, Bastian Nala dan Lexan. Nala terpilih melalui tes saat masih di tingkatan dua, dan Bastian terpilih melalui tes juga di tingkatan tiga ini saat tahun lalu ia tidak lolos. Sementara itu Lexan diterima jalur undangan, Tanra dan Sanja juga, tetapi dua anak itu menolak. Tanra memutuskan fokus mengejar akademiknya, satu-satunya ekstrakurikuler yang akan ia masuki adalah Sastra Baca. Sementara Sanja merasa tak punya bakat, lagipun dia diundang setelah mengeluarkan mantra mahadahsyat semester lalu saat ujian antar candi yang membuat semua orang terperangah, Sanja menganggapnya sebuah kebetulan karena dia sendiri tidak tahu dari mana kekuatan itu berasal.

"Fokuslah Bas, mengawasi murid baru bukan hal yang mudah," ucap Nala, seraya membaca buku sihir api yang Nyai Mina berikan padanya saat masih di semester satu.

"Kau rajin betul Nal," kata Drio mengunyah permen karet semangkanya. "Apa Nyai Rondo memberitahukanmu sesuatu soal Imang?"

Bastian mendengus sebal. "Oh ayolah, bisakah kita tidak membahas itu sekarang?"

"Kita memang harus sering-sering membahasnya," jawab Lexan. "Menikmati kehidupan kita di Archipelagos bukan berarti harus melupakan soal kembalinya Berong Ketujuh. Jang lupa misi kita untuk bertemu dengan anak terpilih sebelumnya."

Bastian mengiyakan dengan malas.

Keesokan harinya, Bagan ramai oleh murid-murid baru, mereka semua berpakaian serba putih. Penentuan golongan dimulai setelah seminggu mereka telah dibawa berkeliling ke ketujuh pemukiman golongan, yakni Agni (Penyihir Api), Dolok (Penyihir Udara), Enau (Penyihir Tanaman), Fangin (Penyihir Tanah), Ranang (Penyihir Senjata), Tanko (Penyihir Binatang) dan Wae (Penyihir Air). Para anggota Kanta berdiri, memastikan semuanya aman.

Paduraksa sudah ada di depan semua murid. Nama mereka disebutkan satu per satu. Suasana aman dan damai. Sampai seorang murid perempuan bernama Danastri dengan pita putih turun, memancing orang-orang untuk berbisik. Nala, Bastian dan Lexan saling melemparkan pandangan, mereka kebingungan. Para senior di Uhar juga saling bertanya-tanya.

"Siapa dia?" tanya Ayu kepada Fuji Norman di Uhar Enau.

"Kudengar-dengar dia cucu dari Datuk Imarga, Kepala Kementerian Sihir Nusantara," jawab Fuji.

Ayu mengangguk, privilese orang tua memang sangat berguna, masih murid baru dan dia sudah dikenal. Apalagi cucu dari Kepala Kementerian Nusantara.

"Dia pasti akan sangat diawasi, aku berharap semoga dia tidak masuk di golongan kita," sambung Fuji. Ayu setuju, apalagi sekarang tujuh buronan kabur level lima masih berkeliaran di luar. Pastilah anak bernama Danastri ini akan sangat dijaga oleh kakeknya, apalagi belakangan Ayu ketahui kalau Datuk Imarga hanya punya dua cucu.

Fuji dan Ayu menghela napas lega begitu mengetahui kalau Danastri masuk ke golongan Tanko.

Suasana kembali tenang, sampai ke murid baru terakhir. Semua pasang mata tertuju pada pria tinggi dengan rambut kecokelatan: Alvin Panjakara.

"Alvin?!" Mata Ayu terbelalak.

"Siapa dia?" tanya Fuji si penyihir Japa yang tinggal di Serandjana sehingga tidak tahu betapa terkenalnya Alvin di dunia luar.

Ayu menenggak ludah. "Dia salah satu member Wolfsix."

Mata Ayu menoleh pada Lexan di bawah sana. Berharap kalau Lexan baik-baik saja.

Sementara Lexan diam, melihat dengan sorot tajamnya seperti elang. Nala bisa melihatnya dengan jelas. Perempuan itu memegang erat tangan Lexan, rasanya dingin. 'Kau baik-baik saja, Lex?' Nala sangat ingin bertanya begitu, tetapi itu pertanyaan konyol.

ARCHIPELAGOS 3 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang