BAB 10

2.1K 355 31
                                    

"Nona—ah maksudku Nala, kau sudah besar Nak," ucap Trejo seraya mengusap rambut Nala lembut, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah ukiran berbentuk matahari dari kayu. "Waktu kau kecil, kau akan diam saat memeluk matahari ini. Ibumu yang membuatnya."

"Tunggu ..." Lumbang menyeletuk.

Engku Bram menepuk jidat. "Astaganaga, apalagi?"

"Kalian tidak melupakan kotak emas yang kuberikan, kan?"

Mereka saling melemparkan pandangan. Gawat, mereka melupakannya.

"Tidak, aku sudah menyimpannya di dalam sini!" Lexan mengeluarkan sekocinya. Keenam anak lain menghela napas lega, seperti biasa, Lexan selalu menyelamatkan mereka diam-diam.

"Apa itu?" tanya Engku Bram, bingung. "Apa yang kalian sembunyikan?"

"Tidak ada," ucap Lumbang. "Ayolah, kalau tak berangkat sekarang murid-muridmu bisa mati."

"Heh, cobalah berbicara sopan kepada seniormu."

"Siap sepuh." Jawaban Lumbang membuat semua orang tertawa.

Mereka akhirnya meninggalkan Rabka dan Trejo. Sayup-sayup mengintip keluar saat melewati tangga spiral.

"Akankah dia bertahan?" tanya Nala, tetapi tak ada yang menjawab pertanyaan itu karena tak ada yang mendengar. Derap langkah kaki mereka terdengar jelas. Anak-anak tingkatan dua sudah berkumpul di bawah.

"Dari mana saja kalian?" tanya Careline dengan dua tangan terlipat di depan dada.

Sebelum terjadi adu mulut, Angga sang ketua tingkatan menengahi, menyuruh mereka bergegas dan membantu Engku Bram. Untung saja ada Lumbang bersama mereka.

Dari sekitar tujuh puluhan murid tingkatan dua, setengah diantara mereka dirundung kecemasan, niat hati ingin menambah pengetahuan dan menikmati liburan di Turangi malah berujung petaka. Namun, tak ada satupun di antara mereka (selain 7 anak terpilih) yang menyadari kalau ini adalah bagian dari rencana Nyai Rondo. Perempuan yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Archipelagos itu ingin menunjukkan bahwa Berong Keenam bukanlah akhir dari segalanya dan setelah kekalahan Beron Keenam, mereka bisa berpuas diri dan merasa bahagia. Nyai Rondo ingin menunjukkan bahwa dunia ini dipenuhi oleh orang jahat yang ingin mengambil alih kekuasaan dari para penyihir baik. Sehingga penting bagi murid di Archipelagos untuk tahu dan mempersiapkan diri mereka kapan pun.

Mereka berjalan melewati lorong bawah tanah yang telah dibuat Engku Bram. Sementara di luar sana, Enola menyerang dengan mantra tembus bayangnya, dia bisa bergerak tanpa terlihat dan memecah tubuhnya menjadi partikel gas kecil, mengetahui ada kekuatan besar yang bergerak.

"Mau lari kemana kalian?" tanya perempuan itu yang hanya dalam sekejap sudah menghampiri murid Archipelagos.

Murid Archipelagos mendongak, mereka melihat Enola dengan badan setengah asap terbang mengudara.

"Gawat!" Bastian mendengus.

"Kalian semua pergilah lebih dulu," ucap Lumbang. "Aku akan menghalaunya."

Murid Archipeagos kini dalam ketakutan, sementara Engku Bram berusaha menenangkan mereka dan berkata kalau baik-baik saja. Namun, belum sempat dia membuat mantra perlindungan, tiba-tiba Enola sudah menghembuskan angin topan membuat mereka semua bertahan dalam badai dengan mata tertutup. Ada sekitar sepuluh menit, barulah deru angin itu berakhir.

"Padahal itu hanya mantra sepele, bagaimana bisa murid Archipeagos selemah ini,. Oh, gurunya juga lemah."

Engku Bram mengepalkan tangan. Dia mengeluarkan mantra tanah yang membuat bebatuan naik dan menyerang Enola. Namun, hanya dalam sepersekian detik Enola membuat semua batu-batu besar itu pecah dan berubah menjadi debu.

"Sialan!"

"Cukup Bram," ucap Lumbang. "Kau tak boleh tersulut emosi sendirian, kau bertanggung jawab atas anak-anak ini, bukan dirimu sendiri. Biarkan aku menanganinya."

"Cih, aku benci dinasehati, tetapi kau benar. Semangat. Apa kau butuh sesuatu?"

"Ya, aku butuh seorang murid Dolok dan Tanko."

"Tidak, aku sudah menjamin bahwa semua anak harus kembali dalam keadaan sehat sampai Archipelagos," ujar Engku Bram. "Tidak ada yang boleh dikorbankan."

"Aku tak mengorbankan mereka, Bram. Akan kujamin mereka kembali ke kapal selam."

Engku Bram hendak menolak, tetapi dia buru-buru menyadari bahwa lebih baik mengorbankan dua murid daripada tidak sama sekali. Lagi pun, Lumbang sudah menjamin mereka pulang.

"Baiklah, ingat, mereka harus pulang ..."

Suara ledakan dahsyat tiba-tiba terdengar dari pusat kerajaan. Cahaya dari api berwarna kemerahan terlihat.

"Tak ada waktu, cepat!"

"Aku dan Bastian siap membantu paman Lumbang!" Semua mata tertuju pada suara yang hampir tenggelam itu.

"Sanja, kau yakin?" tanya Engku Bram.

"Aku punya kekuatan luar-biasa."

Semua murid membenarkan. Bahkan Engku Bram pun menjadi saksi dari hebatnya kekuatan Sanja saat ujian semester lalu. Maka Engku Bram meninggalkan mereka bertiga, membawa anak muridnya melewati hutan kembali ke portal. Enola menyerang mereka, tetapi Lumbang mengeluarkan mantra bayangan burung yang membuat penglihatan Enola menjadi buram beberapa saat karena serangan bertubi-tubi.

Hanya tersisa Lumbang, Sanja dan Bastian. Mereka bertiga berdiri dalam perlindungan dan bersiap menerima serangan. Enola tak tinggal diam, dengan gesit dia menyerang lebih dulu. Membuat Sanja dan Bastian langsung terlempar. Tubuh kedua anak itu hampir saja bersandar di pohon, tetapi Lumbang dengan tubuh besarnya menangkap mereka. Sanja di tangan kanan, Bastian di tangan kiri.

"Jangan gegabah anak-anak!" seru Lumbang. "Enola punya satu kelemahan dan itulah kenapa aku membutuhkan satu murid Dolok."

"Terus kenapa Sanja juga harus ikut?" tanya Bastian bingung.

Lumbang tak menjelaskan alasan itu pada Bastian, tetapi Sanja tahu dan merasa bersyukur. Ketujuh anak terpilih harus menemui ketujuh anak terpilih sebelumnya dan Sanja tak punya waktu untuk berbincang dengan Lumbang lebih karena serangan mendadak ini.

Seperti debu yang beterbangan di udara, seperti itulah tubuh Enola berubah. Dia bisa berpindah dengan membuat tubuhnya menjadi partikel terkecil, berulangkali menghilang dan berulangkali pula dia membuat Sanja dan Bastian khawatir. Tetapi di kehidupan dahulu, Lumbang sudah bertemu dengan Enola dan hal yang membuatnya bersyukur adalah Irimbe adalah sepupunya Enola. Irimbe, anak terpilih sebelum ketujuh anak terpilih sekarang, seorang Penyihir Tanah, teman dekat Lumbang.

"Kelemahan Enola adalah udara," ucap Lumbang.

Bastian mengernyit, memasang wajah kebingungannya yang khas sambil menggaruk-garuk rambutnya dengan kesal. Seorang penyihir udara punya kelemahan udara, aneh betul. "Aku tak mengerti Paman."

"Cara membuat debu di udara berpisah adalah dengan meniupnya dengan udara lain. Tubuh Enola bisa menjadi debu dan tubuhnya bisa tidak menyatu ketika terpecah menjadi partikel-partikel kecil."

Bastian tersenyum, walaupun dia tahu kalau dirinya bukan manusia yang cerdas, kali ini dia paham apa maksud Lumbang. "Tetapi dia buronan level lima, kurasa tak semudah itu mengalahkannya."

Lumbang mengangguk. "Jelas. Itu hanyalah gambaran sederhana, Nak. Sebab partikel di tubuh Enola seperti magnet ... Ah sialan!"

Enola menyerang mereka dari bawah. Lumbang segera menjauh, menyeret kedua anak dengan sedikit kasar. "Perhatikan gerak-geriknya Bastian."

"Jangan terlalu lama membuatku menunggu, Lumbang. Mereka adalah anak terpilih, tak usah mengajarinya seperti bagaimana Archipelagos mengajarkanmu dulu."

Lumbang mengepalkan tangannya. Dia menyampaikan pada kedua anak itu untuk berjaga-jaga, sementara dia sendiri menyentuh kelat bahunya, mengucapkan sebuah mantra. Lalu tubuhnya berubah membesar.  

ARCHIPELAGOS 3 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang