"Udah, Mas! Udah! Nggak usah diungkit-ungkit lagi, Bunda udah ikhlas." Nisha mengibaskan tangan di udara.

"Lagian, Tante Acil itu pacar Papa sebelum Papa dijodohin sama Bunda. Wajar aja kalau Papa lebih sayang sama dia."

"Buna itu terlalu baik atau tolol sih?" Rey sedikit geram karena Bundanya itu memiliki hati selembut sutra.

"Mas! Udah berani ngatain Bunda tolol ya kamu?"

"Eh maafin Rey, Buna. Enggak tolol kok, Buna pinter banget." Rey memeluk lengan Sang Bunda sambil merebahkan kepalanya di bahu Nisha.

"Rey sayang sama Buna, Rey cuma nggak mau aja liat Buna disakitin terus-terusan."

"Bunda udah nggapapa sekarang. Liat kamu tumbuh dengan baik aja Bunda udah seneng, Mas. Jadi, jangan benci lagi sama Tante Acil, jangan berantem juga sama Elvan."

"Rey masih nggak trima aja kalau Rey sedarah sama cowok brengsek itu, kelakuannya sebelas-duabelas sama nyokapnya. Kalau cewek, dia pasti bakalan jadi Jalang juga--"

"Mas!" Nisha kembali memberi teguran.

"Iya, Buna. Iya. Maaf, Rey belum bisa sepenuhnya baik-baik aja, Rey masih benci sama mereka, Rey masih belum lepas sama masa lalu itu, Rey masih kesel liat Buna nangis sendirian sementara Papa selalu pergi ke Tante Acil."

"Udah, habisin ini terus makan!" titah Nisha menyodorkan susu yang dia buat.

"Rey ga nafsu makan."

"Tapi, Mas--"

"Rey ke kamar dulu ya, Buna." Rey membawa mug berisi setengah susu, dan beranjak pergi dari meja makan.

"Nggak usah belajar! Langsung istirahat!" Nisha kembali menegaskan. Pasalnya, Rey terlalu gila belajar. Nisha terkadang takut kepala Rey akan meledak jika dipaksa belajar setiap hari.

Rey tidak menjawab, ia hanya mengangguk sembari menaiki tangga. Terlihat sangat lesu, hal itu membuat Nisha semakin khawatir.

Rey memasuki kamarnya yang berada di lantai dua, lantas meletakkan mug susu di meja nakas, tidak berminat menghabiskannya detik ini juga.

Pria berkaos putih itu duduk di ranjang dengan punggung menyandar di kepala ranjang. Lampu temaram memancar di tepi langit-langit kamar, memberi kesan gelap namun sedikit elegan.

Diraihnya frame hitam dengan foto tiga orang di dalam sana, Clara, Rey, dan satu orang lainnya yang ditutup menggunakan potongan kertas novel.

Dia adalah Asa.

Sebuah foto yang sama bersandar di atas tangan seseorang, ibu jari dengan kuku sedikit panjang itu mengusap-usap pelan figur Clara di sisi kiri.

Di tengah terdapat potret Rey yang sedang tersenyum dengan satu tangan memegang medali emas. Foto itu diambil saat Rey berhasil meraih juara OSN, dia terlihat sangat bahagia.

Lalu, di ujung kanan terdapat Asa dengan wajah datar yang belum siap difoto. Matanya bahkan setengah terbuka, terlihat sangat jelek bagi Asa sendiri.

Saat itu, Rey menarik lengan Asa untuk foto bersama. Karena Asa sedikit menolak, Rey pun memeluk leher Asa dan menahannya hingga moment itu terabadikan.

Asa pikir, kejadian hari itu adalah moment biasa yang membosankan. Namun, sekarang rasanya sangat berbeda. Kematian Clara dan perubahan Rey membuatnya lupa jika mereka bertiga pernah sedekat itu.

Tok! Tok!

Ketukan pelan di kaca jendela terdengar. Asa langsung menelungkupkan foto tadi di atas meja, lalu membuka gorden jendela.

Elvan tersenyum sambil menunjukkan kantung jajan yang dia beli, pria itu berkata tanpa suara. "Bukain."

Asa membuka jendela kamarnya pelan-pelan tanpa menimbulkan suara. Lalu Elvan langsung masuk ke dalam kamar yang berada di lantai dua.

Iya, Elvan memanjat rumah Asa dengan menaiki dinding-dinding pembatas dan bergeser dari pelipir ujung ke pelipir tengah. Emang udah bakat banget jadi maling.

Dengan hati-hati, Elvan memasuki kamar Asa. Dia menyodorkan bungkus berisi hotang, kripik kentang, bakso bakar, freshmilk, dan beberapa makanan berlemak lainnya pada Asa.

"Dimakan ya, biar Nduts!" kata Elvan.

"Makasih, El." Asa tersenyum senang, dia langsung memeluk Elvan dan merebahkan kepalanya di dada bidang itu.

Suasana hatinya sedang sangat terpuruk, dan Elvan adalah satu-satunya orang yang mampu menyembuhkannya.

Setidaknya, untuk saat ini.

Elvan membelai kepala Asa. "Bokap lo marah?"

Asa mengangguk dengan kepala masih menempel di dada Elvan.

"Gara-gara bolos bimbel dan ketahuan ke warnet tadi?"

"He-em."

"Maafin gue ya." Elvan menangkup wajah Asa, kemudian mengangkatnya hingga kedua pasang mata itu bertemu. "Gue lupa belum bayar warnetnya, padahal uang lo udah gue ambil semua."

Asa menggeleng. "Nggapapa, El. Aku juga yang salah karena nggak bawa uang lebih."

Elvan mengusap pipi Asa yang sedikit memerah. "Lo dipukulin lagi?"

Asa yang sudah menahan tangisnya itu justru semakin ingin menangis karena Elvan menanyai ini itu banyak sekali.

Tidak kuat menjawab, Asa pun kembali memeluk tubuh Elvan lebih erat lagi. Gadis itu terisak di dada Elvan, lantas Elvan pun menepuk-nepuk punggung Asa menenangkan.

"Bawa aku pergi, El. Rasanya udah nggak kuat lagi kalau kelamaan di sini, aku takut kayak Clara, El."

"Hei, hei, hei, nggak bakalan sampai bunuh diri, okay? Lo masih punya gue, jangan berani-beraninya ngilang tanpa izin dari gue. Ngerti, kan?"

Elvan mendekap Asa selama beberapa saat hingga tangis Asa mereda dan suasana pun berubah sunyi.

Elvan melepas pelukannya, memegang tangan kiri Asa yang sontak membuat Asa meringis kesakitan.

Elvan membuka lengan sweater yang Asa kenakan, di sana terdapat luka goresan yang ditutup dengan plester secara asal-asalan.

"Lo," Elvan menatap Asa tegas, rasa marah, khawatir, dan cemas tercetak jelas di wajahnya.

"Udah gue bilang jangan kayak gini lagi!" Elvan mendudukan Asa di bibir ranjang, kemudian membuka perban Asa dan mengobati luka Asa dengan benar.

Sementara Asa hanya diam, menikmati segala sentuhan Elvan yang mampu membuatnya terenyuh. Hanya Elvan satu-satunya yang peduli, hanya dia yang mau mengobati Asa dengan lembut seperti ini.

"El," panggil Asa memecah keheningan.

"Hm?"

"Jangan pergi ya?"

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Jangan lupa follow akunku, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

DASA (END)Where stories live. Discover now